Dimuat di buletin Jum’at Al-Ikhtilaf, edisi 301/10 Maret 2006.
Rungkut kampunge arang godongnge
Brukut jilbabbe mletet clonone
Kutipan di atas adalah penggalan parikan (peribahasa) yang dilantunkan oleh Cak Nun –sapaan akrab Emha Ainun Nadjib dalam sebuah pementasan musik bersama Leo Cristi di sejumlah kampus setahun yang lalu. Syair tersebut tampaknya ingin menyatakan bahwa ada fenomena aneh plus lucu. Yakni, sosok perempuan muslimah yang kepalanya rapat terbalut jilbab akan tetapi bercelana dan berbaju ketat nan minim hingga-maaf-celana dalamnya (CD) tampak dari luar.
Jilbab atau kerudung adalah sehelai kain yang menutupi wilayah kepala perempuan, kecuali muka. Orang mungkin berpikir bahwa jilbab musti identik dengan Islam. Perempuan berjilbab pasti beragama Islam. Padahal, tidak hanya orang Islam yang menutup rambutnya, tetapi orang-orang Yahudi Modestinik juga melakukannya. Orang-orang Yahudi Modestinik memiliki konsep etika bahwa perempuan adalah eksistensi feminin yang unik, yang subjektivitasnya justru semakin mengemuka bila ia “tersembunyi”. Menyem-bunyikan diri dengan berjilbab (berkerudung), bagi perempuan modestinik, adalah proses meneguhkan eksistensinya yang khusus dan yang dicari.
Perintah penutup kepala (berjilbab) biasanya merujuk pada Al-Qur’an surat an-Nur ayat 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan-nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menu-tupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah atau ayah suami mereka atau putra-putri mereka atau putera-putera suami mereka atau saudara-saudara mereka atau putera-putera saudara lelaki mereka atau putera-putera saudara perempuan mereka…dan bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Atau surat az-Zumar ayat 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh-nya. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal dan oleh karenanya tidak diganggu.”
Rupa-rupanya dari sinilah, berjilbab, menutup kepala dengan sehelai kain, bagi sebagian umat Islam, menjadi semacam “syari’at” yang wajib di-lakoni. Sebenar-nya, umat Islam tidaklah satu suara dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Ada yang menafsirkan bahwa berjilbab itu hanya sekadar anjuran, tidak sampai pada tingkat wajib. Ada pula yang menganggap jilbab itu hanya bagian dari tradisi Arab, yang tidak perlu ditiru. Dan Ada yang berpendapat sebaliknya. Hal tersebut boleh dan sah-sah saja. Akan tetapi, marilah mencoba melihat dengan arif perihal fungsi dan signifikansi jilbab sehingga bisa ditemukan hikmah tersendiri darinya.
Pada awalnya, perbincangan seputar penutup kepala itu di dalam Al-Qur’an berawal dari persoalan etika bergaul antara laki-laki dan perempuan. Hampir dapat dipastikan bahwa perintah mengenakan tutup kepala muncul karena adanya kekha-watiran terhadap perempuan dari ganggung luar. Kultur sosial Arab pada saat itu sangat membuka peluang yang luas bagi terjadi pelecehan seksual (sexual harrasement) terhadap perempuan sehingga diperlukanlah simbol atau alat perlindungan berupa jilbab.
Nah, kalau sekarang, apakah berjilbab tetap perlu? Berjilbab atau tidak berjilbab memang sebuah pilihan bagi masing-masing muslimah. Akan tetapi perlindungan ter-hadap keamanan dirinya sendiri dari gangguan luar merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika per-lindungan keamanan atas dirinya sendiri diabaikan, kiranya keselamatannya akan terancam dan bencana pun menimpanya. Tidak ada orang yang tidak ingin selamat. Hanya orang gila yang menginginkan dirinya tidak selamat.
Mungkin, jilbab bisa menjadi salah satu alat untuk meminimalisir gangguang dari luar. Meskipun berjilbab memang tidak selalu berarti baik. Sebab jilbab adalah sebuah simbol luar yang tidak senantiasa menunjuk-kan kedalaman dan keelokkan sikap si penggunanya. Akan tetapi, paling tidak, ber-jilbab adalah sebuah upaya “penyem-bunyian” dan penyelamatan diri. Atau dalam bahasa sosialnya: “Saya adalah perempuan, saya adalah eksistensi yang unik karena memiliki sesu-atu yang amat pribadi, rahasia dan bermakna. Ketertutupan membuat saya berharga tinggi, am-an untuk dimiliki dan dap-at mengamankan diri saya sendiri.” Dari sinilah, mus-limah berjilbab kemudian sering dipercaya sebagai figur penyimpan dan penebar kehangatan dan rasa aman. Kepercayaan tersebut kemudian menjadi tuntutan. Logis dan mulia memang.
Jadi, berjilbab pada mulanya memiliki tujuan yang mulia, suci dan sakral. Sayang sekali jika tujuan ini diselewengkan atau ditelikung-anehnya-oleh muslimah sendiri. Jilbab adalah mahkota muslimah. Sayang sekali, jika ada muslimah yang berjilbab hanya sekadar memenuhi tuntutan modis, kecantikan luar. Sayang sekali, jika ada muslimah berjilbab tetapi masih tetap menonjolkan sesuatu yang sudah meno-njol, atau bahkan terkadang ada yang ber-kerudung dan mengenakan celana Jean dan berbaju ketat hingga celana dalamnya (CD) kelihatan, sebagaimana parikan Cak Nun di atas. Ironis, di satu sisi ada sejumlah umat Islam yang ingin menformalisasikan jilbab, tapi di sisi lain jilbab itu sendiri disalah-gunakan.
Yang seperti ini memang sudah menjadi fenomena biasa dan sudah menjadi konsumsi sehari-hari, di kampus-kampus, pasar, ataupun tempat-tempat umum lainnya. Ini menjadi tantangan bagi umat Islam sendiri. Kok, ajaran Islam disalahpahami sendiri oleh umat Islam?
Jilbab tetaplah jilbab. Ia netral, tergantung si penggunanya. Bahkan ter-kadang bisa saja jilbab tidak begitu penting dibandingkan dengan pentingnya akhlaq, baik itu diformalkan maupun tidak. Tetapi akan menjadi sebuah kombinasi yang apik, jika keduanya tetap diperhatikan: jilbab dan akhlaq yang mulia. Semoga.
Read more»»
Rungkut kampunge arang godongnge
Brukut jilbabbe mletet clonone
Kutipan di atas adalah penggalan parikan (peribahasa) yang dilantunkan oleh Cak Nun –sapaan akrab Emha Ainun Nadjib dalam sebuah pementasan musik bersama Leo Cristi di sejumlah kampus setahun yang lalu. Syair tersebut tampaknya ingin menyatakan bahwa ada fenomena aneh plus lucu. Yakni, sosok perempuan muslimah yang kepalanya rapat terbalut jilbab akan tetapi bercelana dan berbaju ketat nan minim hingga-maaf-celana dalamnya (CD) tampak dari luar.
Jilbab atau kerudung adalah sehelai kain yang menutupi wilayah kepala perempuan, kecuali muka. Orang mungkin berpikir bahwa jilbab musti identik dengan Islam. Perempuan berjilbab pasti beragama Islam. Padahal, tidak hanya orang Islam yang menutup rambutnya, tetapi orang-orang Yahudi Modestinik juga melakukannya. Orang-orang Yahudi Modestinik memiliki konsep etika bahwa perempuan adalah eksistensi feminin yang unik, yang subjektivitasnya justru semakin mengemuka bila ia “tersembunyi”. Menyem-bunyikan diri dengan berjilbab (berkerudung), bagi perempuan modestinik, adalah proses meneguhkan eksistensinya yang khusus dan yang dicari.
Perintah penutup kepala (berjilbab) biasanya merujuk pada Al-Qur’an surat an-Nur ayat 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan-nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menu-tupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah atau ayah suami mereka atau putra-putri mereka atau putera-putera suami mereka atau saudara-saudara mereka atau putera-putera saudara lelaki mereka atau putera-putera saudara perempuan mereka…dan bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Atau surat az-Zumar ayat 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh-nya. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal dan oleh karenanya tidak diganggu.”
Rupa-rupanya dari sinilah, berjilbab, menutup kepala dengan sehelai kain, bagi sebagian umat Islam, menjadi semacam “syari’at” yang wajib di-lakoni. Sebenar-nya, umat Islam tidaklah satu suara dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Ada yang menafsirkan bahwa berjilbab itu hanya sekadar anjuran, tidak sampai pada tingkat wajib. Ada pula yang menganggap jilbab itu hanya bagian dari tradisi Arab, yang tidak perlu ditiru. Dan Ada yang berpendapat sebaliknya. Hal tersebut boleh dan sah-sah saja. Akan tetapi, marilah mencoba melihat dengan arif perihal fungsi dan signifikansi jilbab sehingga bisa ditemukan hikmah tersendiri darinya.
Pada awalnya, perbincangan seputar penutup kepala itu di dalam Al-Qur’an berawal dari persoalan etika bergaul antara laki-laki dan perempuan. Hampir dapat dipastikan bahwa perintah mengenakan tutup kepala muncul karena adanya kekha-watiran terhadap perempuan dari ganggung luar. Kultur sosial Arab pada saat itu sangat membuka peluang yang luas bagi terjadi pelecehan seksual (sexual harrasement) terhadap perempuan sehingga diperlukanlah simbol atau alat perlindungan berupa jilbab.
Nah, kalau sekarang, apakah berjilbab tetap perlu? Berjilbab atau tidak berjilbab memang sebuah pilihan bagi masing-masing muslimah. Akan tetapi perlindungan ter-hadap keamanan dirinya sendiri dari gangguan luar merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika per-lindungan keamanan atas dirinya sendiri diabaikan, kiranya keselamatannya akan terancam dan bencana pun menimpanya. Tidak ada orang yang tidak ingin selamat. Hanya orang gila yang menginginkan dirinya tidak selamat.
Mungkin, jilbab bisa menjadi salah satu alat untuk meminimalisir gangguang dari luar. Meskipun berjilbab memang tidak selalu berarti baik. Sebab jilbab adalah sebuah simbol luar yang tidak senantiasa menunjuk-kan kedalaman dan keelokkan sikap si penggunanya. Akan tetapi, paling tidak, ber-jilbab adalah sebuah upaya “penyem-bunyian” dan penyelamatan diri. Atau dalam bahasa sosialnya: “Saya adalah perempuan, saya adalah eksistensi yang unik karena memiliki sesu-atu yang amat pribadi, rahasia dan bermakna. Ketertutupan membuat saya berharga tinggi, am-an untuk dimiliki dan dap-at mengamankan diri saya sendiri.” Dari sinilah, mus-limah berjilbab kemudian sering dipercaya sebagai figur penyimpan dan penebar kehangatan dan rasa aman. Kepercayaan tersebut kemudian menjadi tuntutan. Logis dan mulia memang.
Jadi, berjilbab pada mulanya memiliki tujuan yang mulia, suci dan sakral. Sayang sekali jika tujuan ini diselewengkan atau ditelikung-anehnya-oleh muslimah sendiri. Jilbab adalah mahkota muslimah. Sayang sekali, jika ada muslimah yang berjilbab hanya sekadar memenuhi tuntutan modis, kecantikan luar. Sayang sekali, jika ada muslimah berjilbab tetapi masih tetap menonjolkan sesuatu yang sudah meno-njol, atau bahkan terkadang ada yang ber-kerudung dan mengenakan celana Jean dan berbaju ketat hingga celana dalamnya (CD) kelihatan, sebagaimana parikan Cak Nun di atas. Ironis, di satu sisi ada sejumlah umat Islam yang ingin menformalisasikan jilbab, tapi di sisi lain jilbab itu sendiri disalah-gunakan.
Yang seperti ini memang sudah menjadi fenomena biasa dan sudah menjadi konsumsi sehari-hari, di kampus-kampus, pasar, ataupun tempat-tempat umum lainnya. Ini menjadi tantangan bagi umat Islam sendiri. Kok, ajaran Islam disalahpahami sendiri oleh umat Islam?
Jilbab tetaplah jilbab. Ia netral, tergantung si penggunanya. Bahkan ter-kadang bisa saja jilbab tidak begitu penting dibandingkan dengan pentingnya akhlaq, baik itu diformalkan maupun tidak. Tetapi akan menjadi sebuah kombinasi yang apik, jika keduanya tetap diperhatikan: jilbab dan akhlaq yang mulia. Semoga.