SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil

Berjilbab

Dimuat di buletin Jum’at Al-Ikhtilaf, edisi 301/10 Maret 2006.

Rungkut kampunge arang godongnge
Brukut jilbabbe mletet clonone

Kutipan di atas adalah penggalan parikan (peribahasa) yang dilantunkan oleh Cak Nun –sapaan akrab Emha Ainun Nadjib dalam sebuah pementasan musik bersama Leo Cristi di sejumlah kampus setahun yang lalu. Syair tersebut tampaknya ingin menyatakan bahwa ada fenomena aneh plus lucu. Yakni, sosok perempuan muslimah yang kepalanya rapat terbalut jilbab akan tetapi bercelana dan berbaju ketat nan minim hingga-maaf-celana dalamnya (CD) tampak dari luar.

Jilbab atau kerudung adalah sehelai kain yang menutupi wilayah kepala perempuan, kecuali muka. Orang mungkin berpikir bahwa jilbab musti identik dengan Islam. Perempuan berjilbab pasti beragama Islam. Padahal, tidak hanya orang Islam yang menutup rambutnya, tetapi orang-orang Yahudi Modestinik juga melakukannya. Orang-orang Yahudi Modestinik memiliki konsep etika bahwa perempuan adalah eksistensi feminin yang unik, yang subjektivitasnya justru semakin mengemuka bila ia “tersembunyi”. Menyem-bunyikan diri dengan berjilbab (berkerudung), bagi perempuan modestinik, adalah proses meneguhkan eksistensinya yang khusus dan yang dicari.

Perintah penutup kepala (berjilbab) biasanya merujuk pada Al-Qur’an surat an-Nur ayat 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan-nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menu-tupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah atau ayah suami mereka atau putra-putri mereka atau putera-putera suami mereka atau saudara-saudara mereka atau putera-putera saudara lelaki mereka atau putera-putera saudara perempuan mereka…dan bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Atau surat az-Zumar ayat 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh-nya. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal dan oleh karenanya tidak diganggu.”

Rupa-rupanya dari sinilah, berjilbab, menutup kepala dengan sehelai kain, bagi sebagian umat Islam, menjadi semacam “syari’at” yang wajib di-lakoni. Sebenar-nya, umat Islam tidaklah satu suara dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Ada yang menafsirkan bahwa berjilbab itu hanya sekadar anjuran, tidak sampai pada tingkat wajib. Ada pula yang menganggap jilbab itu hanya bagian dari tradisi Arab, yang tidak perlu ditiru. Dan Ada yang berpendapat sebaliknya. Hal tersebut boleh dan sah-sah saja. Akan tetapi, marilah mencoba melihat dengan arif perihal fungsi dan signifikansi jilbab sehingga bisa ditemukan hikmah tersendiri darinya.

Pada awalnya, perbincangan seputar penutup kepala itu di dalam Al-Qur’an berawal dari persoalan etika bergaul antara laki-laki dan perempuan. Hampir dapat dipastikan bahwa perintah mengenakan tutup kepala muncul karena adanya kekha-watiran terhadap perempuan dari ganggung luar. Kultur sosial Arab pada saat itu sangat membuka peluang yang luas bagi terjadi pelecehan seksual (sexual harrasement) terhadap perempuan sehingga diperlukanlah simbol atau alat perlindungan berupa jilbab.

Nah, kalau sekarang, apakah berjilbab tetap perlu? Berjilbab atau tidak berjilbab memang sebuah pilihan bagi masing-masing muslimah. Akan tetapi perlindungan ter-hadap keamanan dirinya sendiri dari gangguan luar merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika per-lindungan keamanan atas dirinya sendiri diabaikan, kiranya keselamatannya akan terancam dan bencana pun menimpanya. Tidak ada orang yang tidak ingin selamat. Hanya orang gila yang menginginkan dirinya tidak selamat.

Mungkin, jilbab bisa menjadi salah satu alat untuk meminimalisir gangguang dari luar. Meskipun berjilbab memang tidak selalu berarti baik. Sebab jilbab adalah sebuah simbol luar yang tidak senantiasa menunjuk-kan kedalaman dan keelokkan sikap si penggunanya. Akan tetapi, paling tidak, ber-jilbab adalah sebuah upaya “penyem-bunyian” dan penyelamatan diri. Atau dalam bahasa sosialnya: “Saya adalah perempuan, saya adalah eksistensi yang unik karena memiliki sesu-atu yang amat pribadi, rahasia dan bermakna. Ketertutupan membuat saya berharga tinggi, am-an untuk dimiliki dan dap-at mengamankan diri saya sendiri.” Dari sinilah, mus-limah berjilbab kemudian sering dipercaya sebagai figur penyimpan dan penebar kehangatan dan rasa aman. Kepercayaan tersebut kemudian menjadi tuntutan. Logis dan mulia memang.

Jadi, berjilbab pada mulanya memiliki tujuan yang mulia, suci dan sakral. Sayang sekali jika tujuan ini diselewengkan atau ditelikung-anehnya-oleh muslimah sendiri. Jilbab adalah mahkota muslimah. Sayang sekali, jika ada muslimah yang berjilbab hanya sekadar memenuhi tuntutan modis, kecantikan luar. Sayang sekali, jika ada muslimah berjilbab tetapi masih tetap menonjolkan sesuatu yang sudah meno-njol, atau bahkan terkadang ada yang ber-kerudung dan mengenakan celana Jean dan berbaju ketat hingga celana dalamnya (CD) kelihatan, sebagaimana parikan Cak Nun di atas. Ironis, di satu sisi ada sejumlah umat Islam yang ingin menformalisasikan jilbab, tapi di sisi lain jilbab itu sendiri disalah-gunakan.

Yang seperti ini memang sudah menjadi fenomena biasa dan sudah menjadi konsumsi sehari-hari, di kampus-kampus, pasar, ataupun tempat-tempat umum lainnya. Ini menjadi tantangan bagi umat Islam sendiri. Kok, ajaran Islam disalahpahami sendiri oleh umat Islam?

Jilbab tetaplah jilbab. Ia netral, tergantung si penggunanya. Bahkan ter-kadang bisa saja jilbab tidak begitu penting dibandingkan dengan pentingnya akhlaq, baik itu diformalkan maupun tidak. Tetapi akan menjadi sebuah kombinasi yang apik, jika keduanya tetap diperhatikan: jilbab dan akhlaq yang mulia. Semoga.

Read more»»

Berkomunikasi Dengan Allah Via Al-Qur'an

Tabloid Khalifah, edisi 66/Th III/2007/ 19 Juli-01 Agustus atau 04-07 Rajab 1428 H.

Komunikasi adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Tanpa komunikasi, manusia seakan tidak hidup. Secara sederhana, komunikasi adalah hubungan antara dua pihak (bisa manusia, hewan, benda-benda dan lainnya) di mana salah satu pihak memberikan pesan dan pihak lainnya menerima pesan. Pesan dalam komunikasi bisa berupa apapun dan bisa terjadi melalui berbagai media, baik itu media yang tampak oleh mata maupun tidak, bahkan terkadang melalui simbol-simbol yang hanya bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi saja.

Adanya komunikasi menandakan adanya hubungan. Tanpa komunikasi berarti meniadakan adanya hubungan. Komunikasi yang baik akan membangun sebuah hubungan yang baik pula. Begitu sebaliknya, komunikasi yang buruk (baik karena caranya maupun isi pesan komunikasi) akan mengakibatkan hubungan yang buruk pula.

Apabila logika tersebut ditarik ke dalam ranah hubungan antara Allah dan manusia, maka muncullah pertanyaan yang sederhana namun cukup sulit, “Mungkinkah komunikasi antara manusia dan Allah dibangun? dan bagaimana caranya?”

Jawaban dari pertanyaan pertama adalah sangat mungkin. Sebab Al Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad telah menunjukkannya. Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua adalah caranya dengan Al Qur’an. Yakni dengan menjadikan Al Qur’an sebagai ruang eksistensi atau sebuah canel komunikasi di mana Tuhan dan manusia bertemu dengan tanpa menjadi satu, maksudnya dengan tanpa memanusiakan Tuhan dan menuhankan manusia. Di sini kegiatan berkomunikasi dengan Tuhan melalui Al Qur’an bisa diwujudkan dengan kegiatan yang beragam: shalat, haji, berdoa, membaca Al Qur’an, mengucapkan kalimah tayyibah.

Artikel ini bermaksud menguraikan jawaban dari kedua pertanyaan tersebut berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan hadis.

***
Mari kembali kepada Al Qur’an. Pertemuan antara Muhammad dan Malaikat Jibril di mana wahyu Q.S. al-‘Alaq (96) Iqra’ diturunkan merupakan salah satu model komunikasi antara manusia dan Tuhan. Dalam surah ini terdapat percakapan antara Muhammad dan Jibril. Jibril menyuruh Muhammad untuk ‘bacalah’ (iqra’). Dengan segera Muhammad menjawab ma ana bi qari’ (aku tidak akan membaca) dan seterusnya.

Dari fenomena pewahyuan ini diakui adanya pertama, kehadiran Jibril (pihak pertama) dan Muhammad (pihak kedua). Kedua, adanya pesan yang ditransmisikan dan kemudian dibaca, yakni tentang Tuhan (bi ismi rabbika/ atas nama Tuhamu). Peristiwa ini sebetulnya sudah cukup untuk menunjukkan adanya komunikasi Tuhan dan manusia, meskipun melalui perantara (Jibril). Dari komunikasi tersebut muncullah istilah pesan (inspiration/wahyu) dan recitation (pembacaan).Wahyu merupakan sebuah canel temporer komunikasi antara Tuhan dan manusia di mana hanya suara manusia saja yang mengeksternalisasikan secara nyata pesan Tuhan.

Shalat sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan

Dapatkan shalat dijadikan sebagai canel komunikasi keseharian antara mukmin dengan Allah? Sangat mungkin, jika kita mau mengakui adanya dimensi lain dari wahyu, yakni dimensi aural (berkaiatan dengan pendengaran) dan oral (berkaiatan dengan pengucapan) yang ada pada saat pertama kali perjumpaan antara Muhammad dan Jibril.

Sebelum membaca, qira’a, Muhammad pasti sudah mendengar. Dalam pewahyuan berikutnya, Muhammad diperintahkan untuk tidak membaca apa yang diwahyukan kepadanya (Q.S. al-Qiyamah [75]:18), yang berarti bahwa Muhammad seharusnya pertama-tama mendengarkan kepada Malaikat dan kemudian baru membaca. Mendengarkan dengan penuh perhatian atau inshat (anshitu) atas pembacaan Al Qur’an menurut Al Qur’an merupakan sebuah jalan bagi orang beriman untuk mendapatkan rahmat Allah (Q.S. al-A’raf [7]:204).

Mendengarkan bukanlah sekadar kegiatan yang pasif, melainkan ia lebih menggambarkan kegiatan pemahaman yang bersifat perasaan hati, intim dan sangat internal. Hanya dengan mendengarkan Al Qur’an yang dibaca oleh Muhammad, sebagian jin menurut Al Qur’an telah memeluk agama Islam (Q.S.al-Ahqaf [46]:29-30; al-Jin [72]:1).

Bahkan menurut sebuah hadis, pembaca Al Qur’an dianjurkan untuk membaca Al Qur’an seolah-olah Al Qur’an itu diturunkan kepadanya. Konsekuensinya, para pendengar juga harus sadar akan kenyataan bahwa mereka sedang mendengarkan wahyu Tuhan. Di dalam shalat, orang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan oleh karena itu beraksi sebagai pembicara dan penerima (wahyu) dalam waktu yang sama.

Shalat diperkenalkan semenjak penjalanan Mi’raj Nabi ke Sidratul Muntaha. Menurut sumber-sumber Islam, shalat ditawarkan melalui komunikasi secara langsung antara Tuhan dan Muhammad, sebagaimana yang tergambar dalam Q.S. an-Najm (53). Dalam 18 ayat pertama, bisa dipahami adanya kosmik pertemuan antara Muhammad, Malaikat dan Tuhan. Begitu hebatnya pertemuan tersebut, maka sholat menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh muslim setiap hari dan ia memiliki status yang unik dibandingkan dengan ibadah yang lain, sebab shalat menjadi tiang atau fondasi agama, as-shalatu ‘imaduddin.

Pentingnya shalat telah ditegaskan di dalam sejumlah hadis. Nabi pernah bersabda bahwa Allah itu berada di kiblatnya orang yang bershalat (Allah fi Qiblati al-Mushalli). Hadis ini dengan jelas menunjukkan fungsi komunikatif shalat. Ada juga sebuah hadis yang menyatakan perbedaan antara iman dan ihsan. Ihsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah (ka anna) kamu melihat Allah dan apabila kamu tidak bisa melakukannya maka rasakanlah seolah-olah Allah melihatmu. Kata ka anna (seolah-olah) merupakan sebuah alusi untuk masuk dalam keadaan imaginasi (membayangkan) yang dengan cara tersebut memungkinkan untuk merasakan image Tuhan, dengan demikian bisa memudahkan terjadinya proses komunikasi batin.

Dalam shalat, diwajibkan membaca al-Fatihah dalam setiap raka’atnya. Sehingga setiap harinya, muslim paling tidak membaca al-Fatihan 17 kali. Jumlah ini bisa bertambah jika muslim melakukan shalat-shalat sunah. Sehingga secara singkat, setiap satu raka’at akan membuktikan bahwa sebenarnya shalat merepresentasikan sebuah canel komunikasi yang sama atau pararel dengan pola komunikasi yang khas di mana Al Qur’an diturunkan.

Kita mulai dengan konsep takbir, mengagungkan nama Tuhan. Takbir diikuti dengan istiadzah, memohon perlindungan Allah dari godaan setan. Kemudian diikuti dengan basmalah, menyebut mana Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Kemudian baru diikuti dengan membaca al-Fatihah. Lebih lanjut lagi, setiap rakaat shalat memuat takbir, dzikir, hamd, tasbih dan du’a. Sehingga sesungguhnya, shalat itu dibangun di atas bacaan-bacaan Al-Qur’an, oleh karena itu semakin menegaskan keunikannya sebagai sebuah canel komunikasi antara manusia dan Tuhan. Sedangkan konsep taslim (asslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh) merupakan bagian dari penutup komunikasi sedangkan takbir merupakan pembukaan komunikasi.

Menurut beberapa hadis Nabi, shalat itu diidentikkan dengan pembacaan surah al-Fatihah yang pada gilirannya merepresentasikan permohonan (doa) dan jawaban (istijabah) antara orang beriman dengan Tuhannya. Dalam membaca al-Fatihah, orang beriman sedang berhadapan dengan Tuhan sementara Tuhan meresponnya. Suara manusia yang secara jelas terdengar itu tak lain dan tak bukan merupakan bagian dari surah Al Qur’an. Bahkan menurut al-Gazali, al-Fatihah itu hatinya shalat. Sehingga, melakukan shalat berarti menghadirkan bentuk mikro Al Qur’an.

Dimensi aural dan oral yang ditemukan di dalam struktur pewahyuan juga dapat ditemukan di dalam shalat. Muhammad dan juga muslim pada umumnya diperintahkan untuk tidak melakukan shalat dengan bacaan yang keras maupun pelan namun dengan bacaan yang sedang (Q.S. al-Isra’ [17]:110). Melakukan shalat dengan bacaan yang keras akan menghabiskan atau mengurangi aspek aural, insat, sedangkan melakukan shalat dengan bacaan yang pelan akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap aspek oral, qiraa’at atau tartil. Mungkin ini bukanlah sesuatu yang membesar-besarkan untuk menyimpulkan bahwa di dalam shalat Al Qur’an diringkas, sehingga memberikan dan menyediakan situasi semi-wahyu yang di dalamnya seorang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan sekaligus berlaku sebagai pembicara dan penerima (wahyu) pada saat yang sama.

Haji sebagai sarana Komunikasi

Haji, berziarah ke Ka’bah merepresentasikan shalat yang berisfat makro. Jika dibandingkan dengan shalat yang bersifat mikro, haji merupakan kesempatan tahunan bagi muslim yang dikombinasikan antara hal yang berifat ketuhanan dan sekular (duniawi). Disebutkan di dalam Al Qur’an bahwa haji dimaksukan untuk muslim guna memperhatikan manfaat atau kesejahteraan hidupnya, manafi’ dan begitu juga untuk mengingat nama Tuhan di hari yang ditentukan (Q.S. al-Haj [22]:28). Sebuah elemen haji yang penting sebagai shalat makro adalah doa talbiyah. Elemen lainnya adalah thawaf mengelilingi Ka’bah, tawaf qudum, tawaf wada’ dan tawaf ifadah. Baik putaran awal maupun akhir berkesesuaian dengan takbir yang menandai awal shalat dan taslim yang menandai akhir shalat. Meskipun doa talbiyah bukan merupakan Al Qur’an namun kosakata-kosakatanya bersifat qur’anik.

Di sela-sela shalat keseharian dan kesempatan haji tahunan, ada bulan suci (Ramadhan) yang di dalam bulan tersebut Al Qur’an diturunkan (Q.S. al-Baqarah [2]:185). Pada bulan ini, di samping puasa, shalat malampun diperintahkan sebagai ibadah sunnah untuk dilakukan secara berjamaan di malam hari. Melalui shalat secara berjamaah, baik mikro maupun makro, formula Qur’anik tersebar melebihi batas-batas ibadah untuk memasuki dalam bahan pembicaraan sehari-hari. Ini terjadi hampir di seluruh bahasa di dalam dunia Muslim sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.

Membaca Al Qur’an sebagai sebuah disiplin

Membaca Al Qur’an menjadi hati makro dan mikro shalat itu sendiri dan oleh karenanya menjadi medium komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Kini, membaca Al Qur’an telah berkembang menjadi sebuah disiplin yang independent dengan aturan-aturan dan metode-metodenya tersendiri. Pembaca Al Qur’an yang profesional (qari’) akan membaca Al Qur’an dengan cara yang lebih teratur yang disebut dengan tartil, sebuah istilah yang digunakan dua kali di dalam Al Qur’an untuk menunjukkan makna bacaan (Q.S. al-Furqan [25]:33 dan al-Muzammil [73]:4). Ada sebuah hadis yang menyatakan perintah untuk memperindah bacaan Al Qur’an dengan suara. Ada juga yang menyatakan barang siapa yang membaca Al Qur’an dengan suara yang tidak merdu bukanlah golonganku (Nabi Muhammad).

Aturan-aturan bacaan dengan keindahan tartil menjadi sebuah disiplin yang disebut dengan tajwid. Tajwid merupakan sebuah wilayah pengetahuan yang inter-disiplinary yang terdiri dari liguistik, penguasan seni perfomance yang berhubungan dengan musikal Qira’at dan berbagai vokalisasi Al Qur’an.

Membaca dan menghafal Al Qur’an telah menjadi komponen tradisional yang penting dalam pendidikan muslim. Langkah pertama dalam pendidikan anak-anak adalah menghafalkan ayat-ayat pendek seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, Mu’awidatain dan seterusnya. Kegiatan pembelajaran itu sendiri terhadap sebuah teks dengan cara menghafal, menginternalisasikan, sebab dengan cara tersebut kedekatan dengan sebuah kitab suci yang sering dibaca bisa terbangun dengan baik.

Tahfiz atau menghafal Al Qur’an secara khusus merupakan cara mendekati teks secara tepat, dan kemampuan untuk mengutip atau membaca sebuah teks dari hafalannya merupakan sebuah sumber spiritual yang akan tersadap (jw. Mak cek) secara otomatis dalam setiap refleksi perbuatan: beribadah, pertimbangan moral, begitu juga ketika memutuskan persoalan-persoalan personal maupun komunal.

Kalimah Tayyibah Keseharian

Seberapa jauh al-Quran memiliki pengaruh dalam bahasa keseharian kita? Penulis hanya ingin memberikan beberapa—karena keterbatasan ruang—contoh yang mengindikasikan seberapa jauh frase, ekpresi, formula dan kosa-kata Al Qur’an menjadi komponen esensial dari fondasi—tidak hanya bahasa Arab tetapi hampir semua—bahasa di negara-negara muslim juga.

Bahkan sebagian bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Malaysia, Indonesia dan sebagainya telah dipengaruhi dengan Al Qur’an atau paling tidak membawa bahasa serapan dari Qur’an. Ini merupakan akibat dari perngaruh karakteristik oral dan aural Al Qur’an itu sendiri.

Beberapa frase dan kalimat Al Qur’an ditemukan dalam setiap bahasa keseharian muslim, di antaranya, pertama adalah nama Tuhan (Allah) yang hadir dalam setiap. Kedua, la ilaha illallah seringkali digunakan untuk menyebutkan nuasa yang berbeda-beda. Biasanya digunakan untuk mengekpresikan kesedihan ketika mendengarkan berita yang buruk tentang seseorang. Reaksi atas berita duka biasanya diekpresikan dengan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Q.S. al-Baqarah [2]:156; ali ‘Imaran [3]:83; al-An’am [6]:36; Maryam [19]:4; an-Nur [24]:64; al-Qasas [28]:39; al-Mukmin [40]:77 dan al-‘Alaq [96]:8.). Kalimat ini biasanya juga digunakan untuk mengekpresikan kemarahan atau kekecewaan ketika menghadapi dilema tertentu yang tidak diharapkan.

Ketiga, kata-kata Allahu Akbar yang merupakan tanda pertama masuk ke dalam mood shalat yang biasanya disebut tabiratul ikram. Takbir juga digunakan untuk mengekpresikan ketidakpuasan dalam sebuah situasi oleh seseorang yang bersikap heroik-arogan. Keempat, isti’adzah, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Kelima, istighfar (astaghfirullah al-Azim) disebutkan di dalam Al Qur’an lebih dari 50 kali. Istighfar biasanya diekpresikan untuk menyesali setelah marah atau membujuk orang yang marah agar tenang. Keenam, basmalah. Basamalah merepresentasikan dimensi positif mencari keberkahan atau rahmat dari Allah. Basmalah mungkin lebih sering digunakan dalam keseharian. Ketujuh, sapaan islami, yakni assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh memiliki dasar di dalam Al Qur’an (Q.S. al-An’am [6]:54; al-A’raf [7]:46; Yunus [10]:10; ar-Ra’d [13]:24; Ibrahim [14]:23; al-Hijr [15]:46; Maryam [19]:62; al-Waqi’ah [56]:26).

***
Semua itu merupakan cara membangun komunikasi dengan Tuhan tanpa menjadi satu dengan Tuhan, tanpa ber-‘empatmata’ dengan Tuhan, tanpa ‘memanusiakan’ Tuhan (maksudnya Tuhan dipersonifikasikan sebagaimana makhluk yang bisa dilihat dan disentuh). Namun, sayangnya sedikit di antara kita yang menyadari akan hal tersebut.

Dan kini, tampaknya kesadaran tersebut perlu ditumbuhkan guna meningkatkan ketaqwaan dan keimanaan seorang muslim kepada Allah. Dan kiranya, dalam kerangka inilah, Tabloid Khalifah telah mengajak pembaca untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Read more»»

Al-Qur'an Mengobati Stres

Dimuat di Tabloid Khalifah Edisi 87/ Th IV|08 Mei-21 Juni 2008/02-15 Jumadil Awal 1420 H.

Stress adalah penyakit yang paling umum kita jumpai di zaman modern ini. Lazimnya, stress diakibatkan karena penyakit perut, penyakit hati koroner, depresi, hipertensi, diabeter bahkan kanker. Dalam bentuk yang lebih ringan, stress biasanya ditunjukkan dalam bentuk kegelisahan, kekerasan di kantor, sekolah dan rumah. Masalah-masalah medis yang umum seperti sakit kepala, insomnia dan obesitas terkadang juga dihubungkan dengan stress.

Di zaman modern ini, dimana mobilitas sosial begitu cepat, rasanya sulit seorang bisa terhindar dari stress. Tampaknya, yang bisa dilakukan bukanlah menghindari stress namun mengelolanya secara lebih baik.

Biasanya stress berasal dari faktor-faktor berikut ini, pertama, adanya rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui dan mencoba untuk menentukan serta mngendalikan nasib. Kedua, kehilangan orang-orang dan harta benda yang dicintai serta tidak adanya kemampuan untuk bangkit kembali (recovery) atas kehilangan tersebut. Ketiga, terjadinya konflik batin antara hati dan pikiran, antara apa yang diketahui sebagai kebenaran dan menerima kegagalan sebagai kebenaran. Menerima kebenaran mungkin perlu mengubah kebiasaan-kebiasaan kita dan cara hidup kita yang mungkin kita ikuti karena alasan tertentu seperti kepuasan, kebahagiaan, rasa, bangga suku atau kebuadayaan dan sebagainya.

Mari kita perhatikan bagaimana al-Qur’an mengajarkan kepada kita pada situasi-situasi yang semacam ini. Kehilangan atau kegagalan merupakan sebuah cobaan bagi kita, sebagaimana diungkapkan di dalam Q.S. al-Baqarah (2): 155 “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Jadi, di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan harta benda dan kehidupan. Segala sesuatu hanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jika kita tidak memiliki sesuatu itu, mengapa kita musti merasa berduka cita atas kehilangan tersebut? Allah hanya memberikan hak pakai kepada manusia atas apa yang telah diberikan. dan sewaktu-waktu Allah berhak mengambilnya dengan berbagai cara.

Nasib kita telah ditetapkan sebelumnya. Kita tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur bagian ini. Apa yang kita miliki adalah sebuah kehendak bebas yang terbatas (limited free will), yakni perbuatan kita, pilihan kita untuk melakukan hal yang baik dan buruk, untuk beriman kepada Allah atau tidak beriman. Namun kita tidak bisa mengendalikan kejadian-kejadian besok yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan kita sekarang. Misalnya apakah istri saya akan memiliki anak laki-laki atau perempuan, apakah matanya berwarna hitam atau coklat atau apakah saya akan sengsara besok atau tidak. Itu semua ada di luar diri kita.

Menolak keimanan di dalam al-Qur’an disebut sebagai sebuah penyakit. Penolakan kepada kebenaran ini disebabkan oleh kesombongan, sebagaimana diungkapkan di dalam Q.S. al-Baqarah (2):10 “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”

Oleh karena itu, setelah berdusta kepada diri kita, kita menumbukan sebuah konflik internal—antara hati dan pikiran. Untuk mewadahi konflik tersebut, pikiran mengirimkan signal-signal kepada kelenjar-kelenjar guna melakukan sekresi hormon-hormon seperti adrenalin yang mengakibatkan aliran darah yang cepat, keringat, dan gemetar. Konflik dusta dapat disebabkan karena dosa yang “KECIL” seperti mencuri dan berzina atau dosa besar seperti tidak beriman kepada Allah.

Dalam menghadapi situasi-situasi seperti itu, tampaknya manusia harus mengetahui beragama jiwa atau kondisi kejiwaan di dalam dirinya. Al-Qur’an menyebutkan jenis-jenis kondisi kejiwaan tersebut. Pertama adalah Nafs al-Ammarah atau kita sering mendengarnya dengan istilah nafsu amarah. Nasfu ini lebih cenderung pada kepuasan seksual, gairah dan egoisme diri, kemarahan, cemburu, rakus, sombong. Perhatiannya hanya pada kepuasan tubuh, kepuasan nasfu fisik dan ego.

Nafsu inilah yang paling nyata menjadi musuh manusia. nafsu inilah yang harus dikendalikan. Nabi Muhammad pernah bersabda: “Musuhmu yang paling nyata adalah kejahatan dirimu yang ada di dalam tubuhmu” (H.R.Bukhari). Jika nafs kejahatan ini tidak diketahui, ini bisa mengakibatkan stres yang luar biasa dan melahirkan efek-efek yang berbahaya.

Kedua, Nafs al-Lawwamah. Jiwa ini menyadari akan kejahatan, menetangnya, memhon perlindungan Allah dan ampunan, taubat dan mencoba untuk berharap mendapatkan keselamatan. Sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. at-Taubah (9):102, Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berkaiatan dengan Nafs al-Lawwamah, Nabi Muhammad pernah bersabada, “Di dalam diri kita ada dorongan hati. Satu semangat yang mendorong kepada kebaikan dan kebenaran. Barang siapa yang merasakan dorongan ini harus mengatahui bahwa ini datang dari Allah. dorongan lain datang dari setan yang mengantarkan pada keraguan dan menyakini ketidakbenaran dan mendorong pada kejahatan. Barang siapa yang merasakan ini, mintalah perlindungan Allah dari setan yang terkutuk.”

Jiwa ini memperingatkan orang-orang akan nafsu kesia-siaaan mereka dan membukan pintu untuk kebajikan dan kebaikan. Ini merupakan langkah yang positif dalam pertumbuhan spiritual.

Ketiga, Nafs al-Mutma’innah (Jiwa yang tenang) sebagaimana yang disebutkan di dalam Q.S. (89) 27-30 “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.”

Ini adalah keadaan perkembangan spiritual, jiwa yang terpuasakan. Yakni jiwa dalam keadaan kebahagiaan, penuh dan damai. Jiwa ini berada pada keadaan damai sebab dia mengetahui bahwa sebagai ganti kegagalan di dunia, jiwa ini akan kembali kepada Allah. Tensi yang dibersihkan ini muncul dari perjuangan dengan halangan-halangan yang menutup-nutupi kedamaian pikiran dan hati.

Apa yang seharusnya kita lakukan dalam keadaan panik dan putus asa?
Dalam keadaan panik, orang yang tidak beriman berperilaku berbeda dengan orang yang beriman. Mereka tidak punya sesuatu yang harus dimintai tolong, ampunan dan berkah, kehidupan mereka adalah kehidupan ini, yang mereka sendiri tidak bisa mengaturnya. Jadi mereka akan lebih tertekan dan melakukan kesalahan terus menerus.

Dalam keadaan seperti di atas seorang yang beriman akan melakukan hal berikut ini. Pertama, meningkat Dzikir sebagaimana Q.S. Al-Ra’d (13):28 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Kedua, meningkatkan Sholat, sebagaimana disinggung dalam Q.S. al-Baqarah (2):153.Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Ketiga, beristigfar sebagaimana perintah Allah dalam Q.S. Nuh (71):10. Maka Aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun’. Keempat, si samping itu, kita juga harus terus menerus berjuang untuk memperbaiki diri kita sebagaimana disinyalir dalam Q.S. al-Ra’d (13):11 Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Walhasil, saya berkesimpulam bahwa stress itu berasal dari ketidakmampuan mengatasi konflik batin atau absennya kedamaian batin karena konflik-konflik di dalam diri sehingga mengakibatkan gangguan-gangguan eksternal di dalam sikap dan kesehatan. Kedamaian batin hanya bisa dicapai dengan beriman kepada Allah dan mengingatnya secara terus menerus dan meminta perlindungan dan ampunan berkali-kali dalam keadaan sesulit apapun. Wallahu’alam.

Read more»»

Manusia Menggauli Al-Qur'an

Dimuat di Tabloid Khalifah, Edisi 58/th III/2007/29 Maret-11 April 2007/10-23 Rabi’ul Awal 1428 H.

Hampir dapat dipastikan semua umat beragama di bumi ini mengetahui al-Qur'an. Yakni, kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur, dan dinyakini menjadi ibadah bagi mereka yang membacanya. Karena hampir semua umat mengetahui al-Qur'an, maka dapat dipastikan mereka pernah berinteraksi dengan al-Qur'an dalam model dan kapasitas interaksi yang berbeda-beda.

Memetakan bagaimana interaksi umat beragama terhadap al-Qur'an bukanlah pekerjaan mudah. Meskipun begitu, tidaklah salah kiranya melakukan pemetakan awal sebagai langkah untuk mengetahui secara jelas posisi-posisi bagaimana manusia (umat beragama) berinteraksi dengan al-Qur'an. Mengingat, tidak hanya umat Islam saja yang berinteraksi dengan al-Qur'an melainkan juga umat-umat non-Islam.
***
Dalam sejarah studi al-Qur'an-sejauh pengetahuan penulis-hanya ada dua sarjana yang berusaha melakukan pemetakaan ini, yakni almarhum Fazlur Rahman, intelektual muslim kelahiran Pakistan dan Farid Esack, doktor bidang ilmu Tafsir al-Qur'an berkulit hitam asal Afrika Selatan.

Dalam pemetakaannya, Fazlur Rahman menggunakan analogi sebuah negara. Menurut pengamatannya, ada tiga kelompok besar pengkaji al-Qur'an, yakni citizents (penduduk asli, umat Islam), foreigners (kelompok asing/non-muslim yang mengkaji al-Qur'an) dan invanders (penjajah, kelompok yang ingin menghancurkan al-Qur'an).

Sedangkan pemetakaan yang dilakukan oleh Farid Esack dalam bukunya The Qur'an: a Short Introduction (2002) agak jauh berbeda dan lebih mendetail. Dalam hal ini, Farid Esack menggunakan analogi interaksi antara seorang pecinta (lover), kelompok yang berinteraksi dengan al-Qur'an dan yang dicinta (beloved), yakni al-Qur'an.

Pemetakaan tidak berpretensi menilai (evaluative) bahwa cara interaksi suatu kelompok tertentu itu lebih baik ketimbang kelompok yang lain. Namun, pemetakan ini lebih ditujukan sebagai sebuah gambaran (descriptive) umum saja, tidak ada penilaian (evaluation) di dalamnya, sebagaimana yang diungkapkan di dalam buku tersebut.

Secara garis besar, ada dua bagian besar yang masing-masing bagian itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Bagian pertama adalah umat Islam sendiri. Dan bagian kedua adalah non-muslim.

Bagian pertama ini memuat tiga kelompok. Kelompok pertama disebut dengan uncritical lover (pecinta tak kritis). Kelompok ini adalah orang-orang muslim awam (ordinary muslims). Kelompok ini berinteraksi dengan kekasihnya (baca: al-Qur'an) secara 'buta', bahwa kekasihnya, al-Qur'an adalah segala-galanya, tanpa pernah mencoba meragukan atau menanyakan tentang al-Qur'an. Bahkan, keindahan dan keagungan al-Qur'an bisa menjadikan mereka mengalami sebuah pengalaman spiritual yang hebat.

Dalam kelompok ini, al-Qur'an menjadi sebuah entitas yang bernilai dengan sendirinya dan memberikan pengaruh kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Al-Qur’an dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Al-Qur’an dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an.

Di Jogjakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Al-Qur’an mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Al-Qur’an di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jw: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Al-Qur’an pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Al-Qur’an. Di sini, teks Al-Qur’an ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.

Kelompok kedua adalah scholarly lover, yakni sarjana muslim konvensional. Mereka ini adalah pecinta al-Qur’an yang berusaha menjelaskan kepada dunia mengapa al-Qur’an bisa disebut sebagai wahyu dari Tuhan Allah yang membawa kebenaran dan oleh karenanya perlu diterima dan dijadikan sebagai pegangan hidup. Para pecinta ini menjelaskan kehebatan atau I'jaz al-Qur’an secara ilmiah dengan piranti-piranti keilmuan yang sudah mapan, yakni ilmu tafsir (ulum al-Qur’an).

Ulama-ulama yang termasuk kelompok ini di antaranya adalah Abu al-'Ala al-Maududi dengan Tafhimul Qur'an, Amin Ahsan Islahi dengan Tadabbur al-Qur'an, Husain Taba'tabai dengan Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Aishah 'Abdurrahman (Bintu Shati') dengan Al-Tafsir al-Bayan li Qur'an al-Karim, Abu al-Kasim al-Khu'i dengan Al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an dan masih banyak lagi lainnya.

Kelompok ketiga adalah critical lover, pecinta yang kritis. Mereka berusaha bertanya tentang sifat-sifat, asal-usul (otentisitas) dan bahasa kekasihnya (al-Qur’an), sebagai refleksi kedalaman cinta. Di antara sarjana muslim yang termasuk kelompok ini adalah Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Arkoun.

Bagian kedua yang memuat non-muslim terbagi menjadi tiga kelompok juga. Kelompok pertama dinamai The Friend of Lover, teman pecinta. Kelompok ini berbeda tipis dengan kelompok critical lover. Yang membedakan hanyalh identitas keagamaan, yakni non-muslim. Biasanya kelompok ini dihuni oleh para orientalis (outsider) yang ‘baik’, di antara mereka adalah Kenneth Cragg dengan karyanya The Event of the Qur’an—Islam and its Scripture; Reading in the Qur’an, Montgomery Watt dengan karyanya Campanion to the Qur’an, William Graham dengan karyanyaDivine Word and Prophetic World in Early Islam.

Kelompok kedua sering disebut dengan revisionist. Kelompok non-muslim ini acap kali ingin melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya merevisi al-Qur’an beserta aspek-aspek inherennya. Dan juga berusaha melemahkan al-Qur’an dengan bukti-bukti akademis. Kasus terbaru yang termasuk dalam kelompok ini adalah ulah Christoph Lexenborg (nama samaran) yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu sebenarnya berasal dari bahasa Aramaik-Syiria. Sebelum dia, juga ada beberapa orientalis yang memiliki kecenderungan yang sama, di antaranya adalah Patricia Crone dan Michael Cook.

Kelompok ketiga adalah polemicist, yakni non-muslim yang menolak al-Qur’an secara membabi-buta. Model kelompok ketiga ini termasuk bentuk interaksi terhadap al-Qur’an.
***

Kiranya, pemetaan baru ini atau lebih tepatnya tipologi interaksi manusia terhadap al-Qur’an perlu diperkenalkan kepada umat Islam sebagai khasanah dan frame dalam melihat begitu banyaknya gaya dan model interaksi manusia terhadap al-Qur’an. Dari sini penulis ingin mengajukan pertanyaan berkaitan dengan cara dan model interaksi Tabloid Khalifah (yang berbasiskan al-Qur’an dan hadis) terhadap al-Qur’an. Kira-kira dengan dasar kerangka tipologi di atas, Tabloid Khalifah masuk dalam tipologi mana? Ataukah harus ada tipologi baru untuk mewadahi cara dan model interaksi Tabloid Khalifah dengan al-Qur’an? Pembaca berkuasa atas jawaban, apapun jawabannya.

Sebagai penutup, ada sebuah kisah menarik yang diriwayatkan oleh Hujjatul Islam, al-Ghazali. Kisah ini beliau dapat dari Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad Ibn Hanbal pernah bermimpi bertemu Tuhan. Ahmad Ibn Hanbal bertanya tentang orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan dan bagaimana mereka bisa menraih kedekatan tersebut. Tuhan menjawab: “Dengan firmanku, wahai Ahmad.” Ahmad Ibn Hanbal mengejar lagi dengan mengajukan pertanyaan selanjutnya: “Dengan memahami makna firmanmu atau tanpa memehaminya?” Terhadap pertanyaan ini, Tuhan menjawab: “Baik dengan memahaminya maupun tidak.” Wallahua’lam.

Read more»»

Living Quran, Sebuah Tawaran

Dimuat di Jawa Pos Minggu 10 Januari 2005.

Dalam bukunya, Al-Quran: a Short Introduction (2002), Farid Esack menyatakan bahwa al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims. Alquran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Alquran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa?) atau penyelamat dari malapetaka. Dari fungsi-fungsi itu, mulai nyatalah bahwa Alquran benar-benar memberikan makna yang konkret dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, hingga kini, Alquran tetap dijadikan pegangan hidup.

Banyak sekali cara interaksi yang digunakan oleh setiap muslim dalam merengkuh dan menggali makna Alquran sehingga bisa berarti dan bermakna dalam kehidupannya. Sejauh ini, ada dua cara interaksi. Pertama, cara interaksi muslim terhadap Alquran melalui pendekatan atau kajian teks Alquran. Cara yang pertama ini telah lama dilakukan oleh para mufasir klasik maupun kontemporer, yang kemudian menghasilkan beberapa produk kitab tafsir.

Dalam cara tersebut, teks Alquran diperlakukan sebagai objek kajian. Mau tak mau, ia harus tunduk pada pengkajinya (subjek). Sebab, sebesar apa pun kekuatan teks tetap akan ditafsirkan oleh penafsirnya. Di sinilah sebenarnya berbagai wacana kepentingan bisa masuk dan berjalin kelindan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter penafsiran tersebut.

Dengan begitu, tak mengherankan bermunculan tafsir dengan karakter teologis, filosofis, fiqhi, sufi, dan sebagainya. Sebetulnya, berbagai corak itu akan memperkaya khazanah tafsir. Akan tetapi, di balik itu semua tersimpan bahaya laten, yakni "manipulasi" dalam pemaknaan teks. Teks Alquran akan diseret dan dipermainkan sejauh keinginan penafsir. Ini terjadi dalam sejarah Islam, terutama dalam konteks konflik antara kaum Mu?tazilah dan anti-Mu’tazilah. Tampaknya, kecenderungan seperti itu masih saja terjadi hingga kini.

Cara yang pertama tersebut, rupa-rupanya, mendominasi dan menjadi semacam mainstream dalam kajian Alquran. Dan, cara ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan memahami bahasa agama hanya bisa mengekor pada figur kepercayaannya, misalnya kiai atau ulama.

Akan tetapi, anehnya, orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran -di samping mengekor pada tokoh kepercayaannya- juga mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan atau berinteraksi dengan Alquran. Hal ini, sekali lagi, dilakukan hanya semata ingin menemukan signifikansi Alquran terhadap kehidupan mereka. Cara yang tersendiri itu memang jauh berbeda dengan cara pertama.

Cara kedua tersebut tidak melalui pendekatan teks atau bahasa Alquran. Sebab, mereka (orang-orang yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan tidak mempunyai kemampuan dalam memahami bahasa Alquran) tidak pernah melakukan pendekatan terhadap bahasa atau teks Alquran. Mereka hanya mencoba secara langsung beinteraksi, memperlakukan, dan menerapkan Alquran dalam kehidupan sehari-hari mereka secara praktis.

Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Alquran dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Alquran dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Alquran.

Di Jogjakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Alquran mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Alquran di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jw: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Alquran. Di sini, teks Alquran ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.

Nah, cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran seperti di atas, di Indonesia khususnya, belum benar-benar mendapat perhatian serius oleh pengkaji Alquran. Padahal, cara seperti itu pada intinya sama dengan menafsirkan Alquran dengan melalui teks, yakni sama-sama mencari makna Alquran sehingga Alquran bisa bermakna dan berarti dalam kehidupan.

Keterluputan perhatian itu, bagi penulis, paling tidak disebabkan oleh, pertama, anggapan bahwa cara berinteraksi terhadap Alquran sebagaimana di atas bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Alquran atau tafsir. Atau, kedua, anggapan bahwa cara tersebut memang sesat, bid?ah, khurafat, atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tafsir pada umumnya.

Perlu dicatat, interaksi terhadap Alquran semacam itu sudah menjadi budaya atau lebih tepatnya sudah mendarah daging bagi mereka, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka terhadap objek yang dihadapi, yakni Alquran. Asumsi-asumsi inilah yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir).

Yang jelas, bagi pelakunya, cara interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan mempengaruhi banget sisi psikologis si pelaku. Bagaimana hal yang seperti itu luput dari perhatian atau bahkan dicap sesat? Bukankah cara interaksi yang seperti itu masuk dalam jenis tafsir anagogik? Juga, bukankah cara seperti itu pantas disebut sebagai Alquran yang hidup dalam fenomena sosial-budaya masyarakat atau Living Quran? Wallahu’alam.

Read more»»