SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil: Manusia Menggauli Al-Qur'an

Manusia Menggauli Al-Qur'an

Dimuat di Tabloid Khalifah, Edisi 58/th III/2007/29 Maret-11 April 2007/10-23 Rabi’ul Awal 1428 H.

Hampir dapat dipastikan semua umat beragama di bumi ini mengetahui al-Qur'an. Yakni, kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur, dan dinyakini menjadi ibadah bagi mereka yang membacanya. Karena hampir semua umat mengetahui al-Qur'an, maka dapat dipastikan mereka pernah berinteraksi dengan al-Qur'an dalam model dan kapasitas interaksi yang berbeda-beda.

Memetakan bagaimana interaksi umat beragama terhadap al-Qur'an bukanlah pekerjaan mudah. Meskipun begitu, tidaklah salah kiranya melakukan pemetakan awal sebagai langkah untuk mengetahui secara jelas posisi-posisi bagaimana manusia (umat beragama) berinteraksi dengan al-Qur'an. Mengingat, tidak hanya umat Islam saja yang berinteraksi dengan al-Qur'an melainkan juga umat-umat non-Islam.
***
Dalam sejarah studi al-Qur'an-sejauh pengetahuan penulis-hanya ada dua sarjana yang berusaha melakukan pemetakaan ini, yakni almarhum Fazlur Rahman, intelektual muslim kelahiran Pakistan dan Farid Esack, doktor bidang ilmu Tafsir al-Qur'an berkulit hitam asal Afrika Selatan.

Dalam pemetakaannya, Fazlur Rahman menggunakan analogi sebuah negara. Menurut pengamatannya, ada tiga kelompok besar pengkaji al-Qur'an, yakni citizents (penduduk asli, umat Islam), foreigners (kelompok asing/non-muslim yang mengkaji al-Qur'an) dan invanders (penjajah, kelompok yang ingin menghancurkan al-Qur'an).

Sedangkan pemetakaan yang dilakukan oleh Farid Esack dalam bukunya The Qur'an: a Short Introduction (2002) agak jauh berbeda dan lebih mendetail. Dalam hal ini, Farid Esack menggunakan analogi interaksi antara seorang pecinta (lover), kelompok yang berinteraksi dengan al-Qur'an dan yang dicinta (beloved), yakni al-Qur'an.

Pemetakaan tidak berpretensi menilai (evaluative) bahwa cara interaksi suatu kelompok tertentu itu lebih baik ketimbang kelompok yang lain. Namun, pemetakan ini lebih ditujukan sebagai sebuah gambaran (descriptive) umum saja, tidak ada penilaian (evaluation) di dalamnya, sebagaimana yang diungkapkan di dalam buku tersebut.

Secara garis besar, ada dua bagian besar yang masing-masing bagian itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Bagian pertama adalah umat Islam sendiri. Dan bagian kedua adalah non-muslim.

Bagian pertama ini memuat tiga kelompok. Kelompok pertama disebut dengan uncritical lover (pecinta tak kritis). Kelompok ini adalah orang-orang muslim awam (ordinary muslims). Kelompok ini berinteraksi dengan kekasihnya (baca: al-Qur'an) secara 'buta', bahwa kekasihnya, al-Qur'an adalah segala-galanya, tanpa pernah mencoba meragukan atau menanyakan tentang al-Qur'an. Bahkan, keindahan dan keagungan al-Qur'an bisa menjadikan mereka mengalami sebuah pengalaman spiritual yang hebat.

Dalam kelompok ini, al-Qur'an menjadi sebuah entitas yang bernilai dengan sendirinya dan memberikan pengaruh kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Al-Qur’an dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Al-Qur’an dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an.

Di Jogjakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Al-Qur’an mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Al-Qur’an di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jw: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Al-Qur’an pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Al-Qur’an. Di sini, teks Al-Qur’an ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.

Kelompok kedua adalah scholarly lover, yakni sarjana muslim konvensional. Mereka ini adalah pecinta al-Qur’an yang berusaha menjelaskan kepada dunia mengapa al-Qur’an bisa disebut sebagai wahyu dari Tuhan Allah yang membawa kebenaran dan oleh karenanya perlu diterima dan dijadikan sebagai pegangan hidup. Para pecinta ini menjelaskan kehebatan atau I'jaz al-Qur’an secara ilmiah dengan piranti-piranti keilmuan yang sudah mapan, yakni ilmu tafsir (ulum al-Qur’an).

Ulama-ulama yang termasuk kelompok ini di antaranya adalah Abu al-'Ala al-Maududi dengan Tafhimul Qur'an, Amin Ahsan Islahi dengan Tadabbur al-Qur'an, Husain Taba'tabai dengan Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Aishah 'Abdurrahman (Bintu Shati') dengan Al-Tafsir al-Bayan li Qur'an al-Karim, Abu al-Kasim al-Khu'i dengan Al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an dan masih banyak lagi lainnya.

Kelompok ketiga adalah critical lover, pecinta yang kritis. Mereka berusaha bertanya tentang sifat-sifat, asal-usul (otentisitas) dan bahasa kekasihnya (al-Qur’an), sebagai refleksi kedalaman cinta. Di antara sarjana muslim yang termasuk kelompok ini adalah Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Arkoun.

Bagian kedua yang memuat non-muslim terbagi menjadi tiga kelompok juga. Kelompok pertama dinamai The Friend of Lover, teman pecinta. Kelompok ini berbeda tipis dengan kelompok critical lover. Yang membedakan hanyalh identitas keagamaan, yakni non-muslim. Biasanya kelompok ini dihuni oleh para orientalis (outsider) yang ‘baik’, di antara mereka adalah Kenneth Cragg dengan karyanya The Event of the Qur’an—Islam and its Scripture; Reading in the Qur’an, Montgomery Watt dengan karyanya Campanion to the Qur’an, William Graham dengan karyanyaDivine Word and Prophetic World in Early Islam.

Kelompok kedua sering disebut dengan revisionist. Kelompok non-muslim ini acap kali ingin melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya merevisi al-Qur’an beserta aspek-aspek inherennya. Dan juga berusaha melemahkan al-Qur’an dengan bukti-bukti akademis. Kasus terbaru yang termasuk dalam kelompok ini adalah ulah Christoph Lexenborg (nama samaran) yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu sebenarnya berasal dari bahasa Aramaik-Syiria. Sebelum dia, juga ada beberapa orientalis yang memiliki kecenderungan yang sama, di antaranya adalah Patricia Crone dan Michael Cook.

Kelompok ketiga adalah polemicist, yakni non-muslim yang menolak al-Qur’an secara membabi-buta. Model kelompok ketiga ini termasuk bentuk interaksi terhadap al-Qur’an.
***

Kiranya, pemetaan baru ini atau lebih tepatnya tipologi interaksi manusia terhadap al-Qur’an perlu diperkenalkan kepada umat Islam sebagai khasanah dan frame dalam melihat begitu banyaknya gaya dan model interaksi manusia terhadap al-Qur’an. Dari sini penulis ingin mengajukan pertanyaan berkaitan dengan cara dan model interaksi Tabloid Khalifah (yang berbasiskan al-Qur’an dan hadis) terhadap al-Qur’an. Kira-kira dengan dasar kerangka tipologi di atas, Tabloid Khalifah masuk dalam tipologi mana? Ataukah harus ada tipologi baru untuk mewadahi cara dan model interaksi Tabloid Khalifah dengan al-Qur’an? Pembaca berkuasa atas jawaban, apapun jawabannya.

Sebagai penutup, ada sebuah kisah menarik yang diriwayatkan oleh Hujjatul Islam, al-Ghazali. Kisah ini beliau dapat dari Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad Ibn Hanbal pernah bermimpi bertemu Tuhan. Ahmad Ibn Hanbal bertanya tentang orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan dan bagaimana mereka bisa menraih kedekatan tersebut. Tuhan menjawab: “Dengan firmanku, wahai Ahmad.” Ahmad Ibn Hanbal mengejar lagi dengan mengajukan pertanyaan selanjutnya: “Dengan memahami makna firmanmu atau tanpa memehaminya?” Terhadap pertanyaan ini, Tuhan menjawab: “Baik dengan memahaminya maupun tidak.” Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar