Tabloid Khalifah, edisi 66/Th III/2007/ 19 Juli-01 Agustus atau 04-07 Rajab 1428 H.
Komunikasi adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Tanpa komunikasi, manusia seakan tidak hidup. Secara sederhana, komunikasi adalah hubungan antara dua pihak (bisa manusia, hewan, benda-benda dan lainnya) di mana salah satu pihak memberikan pesan dan pihak lainnya menerima pesan. Pesan dalam komunikasi bisa berupa apapun dan bisa terjadi melalui berbagai media, baik itu media yang tampak oleh mata maupun tidak, bahkan terkadang melalui simbol-simbol yang hanya bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi saja.
Adanya komunikasi menandakan adanya hubungan. Tanpa komunikasi berarti meniadakan adanya hubungan. Komunikasi yang baik akan membangun sebuah hubungan yang baik pula. Begitu sebaliknya, komunikasi yang buruk (baik karena caranya maupun isi pesan komunikasi) akan mengakibatkan hubungan yang buruk pula.
Apabila logika tersebut ditarik ke dalam ranah hubungan antara Allah dan manusia, maka muncullah pertanyaan yang sederhana namun cukup sulit, “Mungkinkah komunikasi antara manusia dan Allah dibangun? dan bagaimana caranya?”
Jawaban dari pertanyaan pertama adalah sangat mungkin. Sebab Al Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad telah menunjukkannya. Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua adalah caranya dengan Al Qur’an. Yakni dengan menjadikan Al Qur’an sebagai ruang eksistensi atau sebuah canel komunikasi di mana Tuhan dan manusia bertemu dengan tanpa menjadi satu, maksudnya dengan tanpa memanusiakan Tuhan dan menuhankan manusia. Di sini kegiatan berkomunikasi dengan Tuhan melalui Al Qur’an bisa diwujudkan dengan kegiatan yang beragam: shalat, haji, berdoa, membaca Al Qur’an, mengucapkan kalimah tayyibah.
Artikel ini bermaksud menguraikan jawaban dari kedua pertanyaan tersebut berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan hadis.
Dari fenomena pewahyuan ini diakui adanya pertama, kehadiran Jibril (pihak pertama) dan Muhammad (pihak kedua). Kedua, adanya pesan yang ditransmisikan dan kemudian dibaca, yakni tentang Tuhan (bi ismi rabbika/ atas nama Tuhamu). Peristiwa ini sebetulnya sudah cukup untuk menunjukkan adanya komunikasi Tuhan dan manusia, meskipun melalui perantara (Jibril). Dari komunikasi tersebut muncullah istilah pesan (inspiration/wahyu) dan recitation (pembacaan).Wahyu merupakan sebuah canel temporer komunikasi antara Tuhan dan manusia di mana hanya suara manusia saja yang mengeksternalisasikan secara nyata pesan Tuhan.
Shalat sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan
Dapatkan shalat dijadikan sebagai canel komunikasi keseharian antara mukmin dengan Allah? Sangat mungkin, jika kita mau mengakui adanya dimensi lain dari wahyu, yakni dimensi aural (berkaiatan dengan pendengaran) dan oral (berkaiatan dengan pengucapan) yang ada pada saat pertama kali perjumpaan antara Muhammad dan Jibril.
Sebelum membaca, qira’a, Muhammad pasti sudah mendengar. Dalam pewahyuan berikutnya, Muhammad diperintahkan untuk tidak membaca apa yang diwahyukan kepadanya (Q.S. al-Qiyamah [75]:18), yang berarti bahwa Muhammad seharusnya pertama-tama mendengarkan kepada Malaikat dan kemudian baru membaca. Mendengarkan dengan penuh perhatian atau inshat (anshitu) atas pembacaan Al Qur’an menurut Al Qur’an merupakan sebuah jalan bagi orang beriman untuk mendapatkan rahmat Allah (Q.S. al-A’raf [7]:204).
Mendengarkan bukanlah sekadar kegiatan yang pasif, melainkan ia lebih menggambarkan kegiatan pemahaman yang bersifat perasaan hati, intim dan sangat internal. Hanya dengan mendengarkan Al Qur’an yang dibaca oleh Muhammad, sebagian jin menurut Al Qur’an telah memeluk agama Islam (Q.S.al-Ahqaf [46]:29-30; al-Jin [72]:1).
Bahkan menurut sebuah hadis, pembaca Al Qur’an dianjurkan untuk membaca Al Qur’an seolah-olah Al Qur’an itu diturunkan kepadanya. Konsekuensinya, para pendengar juga harus sadar akan kenyataan bahwa mereka sedang mendengarkan wahyu Tuhan. Di dalam shalat, orang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan oleh karena itu beraksi sebagai pembicara dan penerima (wahyu) dalam waktu yang sama.
Shalat diperkenalkan semenjak penjalanan Mi’raj Nabi ke Sidratul Muntaha. Menurut sumber-sumber Islam, shalat ditawarkan melalui komunikasi secara langsung antara Tuhan dan Muhammad, sebagaimana yang tergambar dalam Q.S. an-Najm (53). Dalam 18 ayat pertama, bisa dipahami adanya kosmik pertemuan antara Muhammad, Malaikat dan Tuhan. Begitu hebatnya pertemuan tersebut, maka sholat menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh muslim setiap hari dan ia memiliki status yang unik dibandingkan dengan ibadah yang lain, sebab shalat menjadi tiang atau fondasi agama, as-shalatu ‘imaduddin.
Pentingnya shalat telah ditegaskan di dalam sejumlah hadis. Nabi pernah bersabda bahwa Allah itu berada di kiblatnya orang yang bershalat (Allah fi Qiblati al-Mushalli). Hadis ini dengan jelas menunjukkan fungsi komunikatif shalat. Ada juga sebuah hadis yang menyatakan perbedaan antara iman dan ihsan. Ihsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah (ka anna) kamu melihat Allah dan apabila kamu tidak bisa melakukannya maka rasakanlah seolah-olah Allah melihatmu. Kata ka anna (seolah-olah) merupakan sebuah alusi untuk masuk dalam keadaan imaginasi (membayangkan) yang dengan cara tersebut memungkinkan untuk merasakan image Tuhan, dengan demikian bisa memudahkan terjadinya proses komunikasi batin.
Dalam shalat, diwajibkan membaca al-Fatihah dalam setiap raka’atnya. Sehingga setiap harinya, muslim paling tidak membaca al-Fatihan 17 kali. Jumlah ini bisa bertambah jika muslim melakukan shalat-shalat sunah. Sehingga secara singkat, setiap satu raka’at akan membuktikan bahwa sebenarnya shalat merepresentasikan sebuah canel komunikasi yang sama atau pararel dengan pola komunikasi yang khas di mana Al Qur’an diturunkan.
Kita mulai dengan konsep takbir, mengagungkan nama Tuhan. Takbir diikuti dengan istiadzah, memohon perlindungan Allah dari godaan setan. Kemudian diikuti dengan basmalah, menyebut mana Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Kemudian baru diikuti dengan membaca al-Fatihah. Lebih lanjut lagi, setiap rakaat shalat memuat takbir, dzikir, hamd, tasbih dan du’a. Sehingga sesungguhnya, shalat itu dibangun di atas bacaan-bacaan Al-Qur’an, oleh karena itu semakin menegaskan keunikannya sebagai sebuah canel komunikasi antara manusia dan Tuhan. Sedangkan konsep taslim (asslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh) merupakan bagian dari penutup komunikasi sedangkan takbir merupakan pembukaan komunikasi.
Menurut beberapa hadis Nabi, shalat itu diidentikkan dengan pembacaan surah al-Fatihah yang pada gilirannya merepresentasikan permohonan (doa) dan jawaban (istijabah) antara orang beriman dengan Tuhannya. Dalam membaca al-Fatihah, orang beriman sedang berhadapan dengan Tuhan sementara Tuhan meresponnya. Suara manusia yang secara jelas terdengar itu tak lain dan tak bukan merupakan bagian dari surah Al Qur’an. Bahkan menurut al-Gazali, al-Fatihah itu hatinya shalat. Sehingga, melakukan shalat berarti menghadirkan bentuk mikro Al Qur’an.
Dimensi aural dan oral yang ditemukan di dalam struktur pewahyuan juga dapat ditemukan di dalam shalat. Muhammad dan juga muslim pada umumnya diperintahkan untuk tidak melakukan shalat dengan bacaan yang keras maupun pelan namun dengan bacaan yang sedang (Q.S. al-Isra’ [17]:110). Melakukan shalat dengan bacaan yang keras akan menghabiskan atau mengurangi aspek aural, insat, sedangkan melakukan shalat dengan bacaan yang pelan akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap aspek oral, qiraa’at atau tartil. Mungkin ini bukanlah sesuatu yang membesar-besarkan untuk menyimpulkan bahwa di dalam shalat Al Qur’an diringkas, sehingga memberikan dan menyediakan situasi semi-wahyu yang di dalamnya seorang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan sekaligus berlaku sebagai pembicara dan penerima (wahyu) pada saat yang sama.
Haji sebagai sarana Komunikasi
Haji, berziarah ke Ka’bah merepresentasikan shalat yang berisfat makro. Jika dibandingkan dengan shalat yang bersifat mikro, haji merupakan kesempatan tahunan bagi muslim yang dikombinasikan antara hal yang berifat ketuhanan dan sekular (duniawi). Disebutkan di dalam Al Qur’an bahwa haji dimaksukan untuk muslim guna memperhatikan manfaat atau kesejahteraan hidupnya, manafi’ dan begitu juga untuk mengingat nama Tuhan di hari yang ditentukan (Q.S. al-Haj [22]:28). Sebuah elemen haji yang penting sebagai shalat makro adalah doa talbiyah. Elemen lainnya adalah thawaf mengelilingi Ka’bah, tawaf qudum, tawaf wada’ dan tawaf ifadah. Baik putaran awal maupun akhir berkesesuaian dengan takbir yang menandai awal shalat dan taslim yang menandai akhir shalat. Meskipun doa talbiyah bukan merupakan Al Qur’an namun kosakata-kosakatanya bersifat qur’anik.
Di sela-sela shalat keseharian dan kesempatan haji tahunan, ada bulan suci (Ramadhan) yang di dalam bulan tersebut Al Qur’an diturunkan (Q.S. al-Baqarah [2]:185). Pada bulan ini, di samping puasa, shalat malampun diperintahkan sebagai ibadah sunnah untuk dilakukan secara berjamaan di malam hari. Melalui shalat secara berjamaah, baik mikro maupun makro, formula Qur’anik tersebar melebihi batas-batas ibadah untuk memasuki dalam bahan pembicaraan sehari-hari. Ini terjadi hampir di seluruh bahasa di dalam dunia Muslim sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.
Membaca Al Qur’an sebagai sebuah disiplin
Membaca Al Qur’an menjadi hati makro dan mikro shalat itu sendiri dan oleh karenanya menjadi medium komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Kini, membaca Al Qur’an telah berkembang menjadi sebuah disiplin yang independent dengan aturan-aturan dan metode-metodenya tersendiri. Pembaca Al Qur’an yang profesional (qari’) akan membaca Al Qur’an dengan cara yang lebih teratur yang disebut dengan tartil, sebuah istilah yang digunakan dua kali di dalam Al Qur’an untuk menunjukkan makna bacaan (Q.S. al-Furqan [25]:33 dan al-Muzammil [73]:4). Ada sebuah hadis yang menyatakan perintah untuk memperindah bacaan Al Qur’an dengan suara. Ada juga yang menyatakan barang siapa yang membaca Al Qur’an dengan suara yang tidak merdu bukanlah golonganku (Nabi Muhammad).
Aturan-aturan bacaan dengan keindahan tartil menjadi sebuah disiplin yang disebut dengan tajwid. Tajwid merupakan sebuah wilayah pengetahuan yang inter-disiplinary yang terdiri dari liguistik, penguasan seni perfomance yang berhubungan dengan musikal Qira’at dan berbagai vokalisasi Al Qur’an.
Membaca dan menghafal Al Qur’an telah menjadi komponen tradisional yang penting dalam pendidikan muslim. Langkah pertama dalam pendidikan anak-anak adalah menghafalkan ayat-ayat pendek seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, Mu’awidatain dan seterusnya. Kegiatan pembelajaran itu sendiri terhadap sebuah teks dengan cara menghafal, menginternalisasikan, sebab dengan cara tersebut kedekatan dengan sebuah kitab suci yang sering dibaca bisa terbangun dengan baik.
Tahfiz atau menghafal Al Qur’an secara khusus merupakan cara mendekati teks secara tepat, dan kemampuan untuk mengutip atau membaca sebuah teks dari hafalannya merupakan sebuah sumber spiritual yang akan tersadap (jw. Mak cek) secara otomatis dalam setiap refleksi perbuatan: beribadah, pertimbangan moral, begitu juga ketika memutuskan persoalan-persoalan personal maupun komunal.
Kalimah Tayyibah Keseharian
Seberapa jauh al-Quran memiliki pengaruh dalam bahasa keseharian kita? Penulis hanya ingin memberikan beberapa—karena keterbatasan ruang—contoh yang mengindikasikan seberapa jauh frase, ekpresi, formula dan kosa-kata Al Qur’an menjadi komponen esensial dari fondasi—tidak hanya bahasa Arab tetapi hampir semua—bahasa di negara-negara muslim juga.
Bahkan sebagian bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Malaysia, Indonesia dan sebagainya telah dipengaruhi dengan Al Qur’an atau paling tidak membawa bahasa serapan dari Qur’an. Ini merupakan akibat dari perngaruh karakteristik oral dan aural Al Qur’an itu sendiri.
Beberapa frase dan kalimat Al Qur’an ditemukan dalam setiap bahasa keseharian muslim, di antaranya, pertama adalah nama Tuhan (Allah) yang hadir dalam setiap. Kedua, la ilaha illallah seringkali digunakan untuk menyebutkan nuasa yang berbeda-beda. Biasanya digunakan untuk mengekpresikan kesedihan ketika mendengarkan berita yang buruk tentang seseorang. Reaksi atas berita duka biasanya diekpresikan dengan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Q.S. al-Baqarah [2]:156; ali ‘Imaran [3]:83; al-An’am [6]:36; Maryam [19]:4; an-Nur [24]:64; al-Qasas [28]:39; al-Mukmin [40]:77 dan al-‘Alaq [96]:8.). Kalimat ini biasanya juga digunakan untuk mengekpresikan kemarahan atau kekecewaan ketika menghadapi dilema tertentu yang tidak diharapkan.
Ketiga, kata-kata Allahu Akbar yang merupakan tanda pertama masuk ke dalam mood shalat yang biasanya disebut tabiratul ikram. Takbir juga digunakan untuk mengekpresikan ketidakpuasan dalam sebuah situasi oleh seseorang yang bersikap heroik-arogan. Keempat, isti’adzah, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Kelima, istighfar (astaghfirullah al-Azim) disebutkan di dalam Al Qur’an lebih dari 50 kali. Istighfar biasanya diekpresikan untuk menyesali setelah marah atau membujuk orang yang marah agar tenang. Keenam, basmalah. Basamalah merepresentasikan dimensi positif mencari keberkahan atau rahmat dari Allah. Basmalah mungkin lebih sering digunakan dalam keseharian. Ketujuh, sapaan islami, yakni assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh memiliki dasar di dalam Al Qur’an (Q.S. al-An’am [6]:54; al-A’raf [7]:46; Yunus [10]:10; ar-Ra’d [13]:24; Ibrahim [14]:23; al-Hijr [15]:46; Maryam [19]:62; al-Waqi’ah [56]:26).
Dan kini, tampaknya kesadaran tersebut perlu ditumbuhkan guna meningkatkan ketaqwaan dan keimanaan seorang muslim kepada Allah. Dan kiranya, dalam kerangka inilah, Tabloid Khalifah telah mengajak pembaca untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Komunikasi adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Tanpa komunikasi, manusia seakan tidak hidup. Secara sederhana, komunikasi adalah hubungan antara dua pihak (bisa manusia, hewan, benda-benda dan lainnya) di mana salah satu pihak memberikan pesan dan pihak lainnya menerima pesan. Pesan dalam komunikasi bisa berupa apapun dan bisa terjadi melalui berbagai media, baik itu media yang tampak oleh mata maupun tidak, bahkan terkadang melalui simbol-simbol yang hanya bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi saja.
Adanya komunikasi menandakan adanya hubungan. Tanpa komunikasi berarti meniadakan adanya hubungan. Komunikasi yang baik akan membangun sebuah hubungan yang baik pula. Begitu sebaliknya, komunikasi yang buruk (baik karena caranya maupun isi pesan komunikasi) akan mengakibatkan hubungan yang buruk pula.
Apabila logika tersebut ditarik ke dalam ranah hubungan antara Allah dan manusia, maka muncullah pertanyaan yang sederhana namun cukup sulit, “Mungkinkah komunikasi antara manusia dan Allah dibangun? dan bagaimana caranya?”
Jawaban dari pertanyaan pertama adalah sangat mungkin. Sebab Al Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad telah menunjukkannya. Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua adalah caranya dengan Al Qur’an. Yakni dengan menjadikan Al Qur’an sebagai ruang eksistensi atau sebuah canel komunikasi di mana Tuhan dan manusia bertemu dengan tanpa menjadi satu, maksudnya dengan tanpa memanusiakan Tuhan dan menuhankan manusia. Di sini kegiatan berkomunikasi dengan Tuhan melalui Al Qur’an bisa diwujudkan dengan kegiatan yang beragam: shalat, haji, berdoa, membaca Al Qur’an, mengucapkan kalimah tayyibah.
Artikel ini bermaksud menguraikan jawaban dari kedua pertanyaan tersebut berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan hadis.
***
Mari kembali kepada Al Qur’an. Pertemuan antara Muhammad dan Malaikat Jibril di mana wahyu Q.S. al-‘Alaq (96) Iqra’ diturunkan merupakan salah satu model komunikasi antara manusia dan Tuhan. Dalam surah ini terdapat percakapan antara Muhammad dan Jibril. Jibril menyuruh Muhammad untuk ‘bacalah’ (iqra’). Dengan segera Muhammad menjawab ma ana bi qari’ (aku tidak akan membaca) dan seterusnya.Dari fenomena pewahyuan ini diakui adanya pertama, kehadiran Jibril (pihak pertama) dan Muhammad (pihak kedua). Kedua, adanya pesan yang ditransmisikan dan kemudian dibaca, yakni tentang Tuhan (bi ismi rabbika/ atas nama Tuhamu). Peristiwa ini sebetulnya sudah cukup untuk menunjukkan adanya komunikasi Tuhan dan manusia, meskipun melalui perantara (Jibril). Dari komunikasi tersebut muncullah istilah pesan (inspiration/wahyu) dan recitation (pembacaan).Wahyu merupakan sebuah canel temporer komunikasi antara Tuhan dan manusia di mana hanya suara manusia saja yang mengeksternalisasikan secara nyata pesan Tuhan.
Shalat sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan
Dapatkan shalat dijadikan sebagai canel komunikasi keseharian antara mukmin dengan Allah? Sangat mungkin, jika kita mau mengakui adanya dimensi lain dari wahyu, yakni dimensi aural (berkaiatan dengan pendengaran) dan oral (berkaiatan dengan pengucapan) yang ada pada saat pertama kali perjumpaan antara Muhammad dan Jibril.
Sebelum membaca, qira’a, Muhammad pasti sudah mendengar. Dalam pewahyuan berikutnya, Muhammad diperintahkan untuk tidak membaca apa yang diwahyukan kepadanya (Q.S. al-Qiyamah [75]:18), yang berarti bahwa Muhammad seharusnya pertama-tama mendengarkan kepada Malaikat dan kemudian baru membaca. Mendengarkan dengan penuh perhatian atau inshat (anshitu) atas pembacaan Al Qur’an menurut Al Qur’an merupakan sebuah jalan bagi orang beriman untuk mendapatkan rahmat Allah (Q.S. al-A’raf [7]:204).
Mendengarkan bukanlah sekadar kegiatan yang pasif, melainkan ia lebih menggambarkan kegiatan pemahaman yang bersifat perasaan hati, intim dan sangat internal. Hanya dengan mendengarkan Al Qur’an yang dibaca oleh Muhammad, sebagian jin menurut Al Qur’an telah memeluk agama Islam (Q.S.al-Ahqaf [46]:29-30; al-Jin [72]:1).
Bahkan menurut sebuah hadis, pembaca Al Qur’an dianjurkan untuk membaca Al Qur’an seolah-olah Al Qur’an itu diturunkan kepadanya. Konsekuensinya, para pendengar juga harus sadar akan kenyataan bahwa mereka sedang mendengarkan wahyu Tuhan. Di dalam shalat, orang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan oleh karena itu beraksi sebagai pembicara dan penerima (wahyu) dalam waktu yang sama.
Shalat diperkenalkan semenjak penjalanan Mi’raj Nabi ke Sidratul Muntaha. Menurut sumber-sumber Islam, shalat ditawarkan melalui komunikasi secara langsung antara Tuhan dan Muhammad, sebagaimana yang tergambar dalam Q.S. an-Najm (53). Dalam 18 ayat pertama, bisa dipahami adanya kosmik pertemuan antara Muhammad, Malaikat dan Tuhan. Begitu hebatnya pertemuan tersebut, maka sholat menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh muslim setiap hari dan ia memiliki status yang unik dibandingkan dengan ibadah yang lain, sebab shalat menjadi tiang atau fondasi agama, as-shalatu ‘imaduddin.
Pentingnya shalat telah ditegaskan di dalam sejumlah hadis. Nabi pernah bersabda bahwa Allah itu berada di kiblatnya orang yang bershalat (Allah fi Qiblati al-Mushalli). Hadis ini dengan jelas menunjukkan fungsi komunikatif shalat. Ada juga sebuah hadis yang menyatakan perbedaan antara iman dan ihsan. Ihsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah (ka anna) kamu melihat Allah dan apabila kamu tidak bisa melakukannya maka rasakanlah seolah-olah Allah melihatmu. Kata ka anna (seolah-olah) merupakan sebuah alusi untuk masuk dalam keadaan imaginasi (membayangkan) yang dengan cara tersebut memungkinkan untuk merasakan image Tuhan, dengan demikian bisa memudahkan terjadinya proses komunikasi batin.
Dalam shalat, diwajibkan membaca al-Fatihah dalam setiap raka’atnya. Sehingga setiap harinya, muslim paling tidak membaca al-Fatihan 17 kali. Jumlah ini bisa bertambah jika muslim melakukan shalat-shalat sunah. Sehingga secara singkat, setiap satu raka’at akan membuktikan bahwa sebenarnya shalat merepresentasikan sebuah canel komunikasi yang sama atau pararel dengan pola komunikasi yang khas di mana Al Qur’an diturunkan.
Kita mulai dengan konsep takbir, mengagungkan nama Tuhan. Takbir diikuti dengan istiadzah, memohon perlindungan Allah dari godaan setan. Kemudian diikuti dengan basmalah, menyebut mana Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Kemudian baru diikuti dengan membaca al-Fatihah. Lebih lanjut lagi, setiap rakaat shalat memuat takbir, dzikir, hamd, tasbih dan du’a. Sehingga sesungguhnya, shalat itu dibangun di atas bacaan-bacaan Al-Qur’an, oleh karena itu semakin menegaskan keunikannya sebagai sebuah canel komunikasi antara manusia dan Tuhan. Sedangkan konsep taslim (asslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh) merupakan bagian dari penutup komunikasi sedangkan takbir merupakan pembukaan komunikasi.
Menurut beberapa hadis Nabi, shalat itu diidentikkan dengan pembacaan surah al-Fatihah yang pada gilirannya merepresentasikan permohonan (doa) dan jawaban (istijabah) antara orang beriman dengan Tuhannya. Dalam membaca al-Fatihah, orang beriman sedang berhadapan dengan Tuhan sementara Tuhan meresponnya. Suara manusia yang secara jelas terdengar itu tak lain dan tak bukan merupakan bagian dari surah Al Qur’an. Bahkan menurut al-Gazali, al-Fatihah itu hatinya shalat. Sehingga, melakukan shalat berarti menghadirkan bentuk mikro Al Qur’an.
Dimensi aural dan oral yang ditemukan di dalam struktur pewahyuan juga dapat ditemukan di dalam shalat. Muhammad dan juga muslim pada umumnya diperintahkan untuk tidak melakukan shalat dengan bacaan yang keras maupun pelan namun dengan bacaan yang sedang (Q.S. al-Isra’ [17]:110). Melakukan shalat dengan bacaan yang keras akan menghabiskan atau mengurangi aspek aural, insat, sedangkan melakukan shalat dengan bacaan yang pelan akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap aspek oral, qiraa’at atau tartil. Mungkin ini bukanlah sesuatu yang membesar-besarkan untuk menyimpulkan bahwa di dalam shalat Al Qur’an diringkas, sehingga memberikan dan menyediakan situasi semi-wahyu yang di dalamnya seorang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan sekaligus berlaku sebagai pembicara dan penerima (wahyu) pada saat yang sama.
Haji sebagai sarana Komunikasi
Haji, berziarah ke Ka’bah merepresentasikan shalat yang berisfat makro. Jika dibandingkan dengan shalat yang bersifat mikro, haji merupakan kesempatan tahunan bagi muslim yang dikombinasikan antara hal yang berifat ketuhanan dan sekular (duniawi). Disebutkan di dalam Al Qur’an bahwa haji dimaksukan untuk muslim guna memperhatikan manfaat atau kesejahteraan hidupnya, manafi’ dan begitu juga untuk mengingat nama Tuhan di hari yang ditentukan (Q.S. al-Haj [22]:28). Sebuah elemen haji yang penting sebagai shalat makro adalah doa talbiyah. Elemen lainnya adalah thawaf mengelilingi Ka’bah, tawaf qudum, tawaf wada’ dan tawaf ifadah. Baik putaran awal maupun akhir berkesesuaian dengan takbir yang menandai awal shalat dan taslim yang menandai akhir shalat. Meskipun doa talbiyah bukan merupakan Al Qur’an namun kosakata-kosakatanya bersifat qur’anik.
Di sela-sela shalat keseharian dan kesempatan haji tahunan, ada bulan suci (Ramadhan) yang di dalam bulan tersebut Al Qur’an diturunkan (Q.S. al-Baqarah [2]:185). Pada bulan ini, di samping puasa, shalat malampun diperintahkan sebagai ibadah sunnah untuk dilakukan secara berjamaan di malam hari. Melalui shalat secara berjamaah, baik mikro maupun makro, formula Qur’anik tersebar melebihi batas-batas ibadah untuk memasuki dalam bahan pembicaraan sehari-hari. Ini terjadi hampir di seluruh bahasa di dalam dunia Muslim sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.
Membaca Al Qur’an sebagai sebuah disiplin
Membaca Al Qur’an menjadi hati makro dan mikro shalat itu sendiri dan oleh karenanya menjadi medium komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Kini, membaca Al Qur’an telah berkembang menjadi sebuah disiplin yang independent dengan aturan-aturan dan metode-metodenya tersendiri. Pembaca Al Qur’an yang profesional (qari’) akan membaca Al Qur’an dengan cara yang lebih teratur yang disebut dengan tartil, sebuah istilah yang digunakan dua kali di dalam Al Qur’an untuk menunjukkan makna bacaan (Q.S. al-Furqan [25]:33 dan al-Muzammil [73]:4). Ada sebuah hadis yang menyatakan perintah untuk memperindah bacaan Al Qur’an dengan suara. Ada juga yang menyatakan barang siapa yang membaca Al Qur’an dengan suara yang tidak merdu bukanlah golonganku (Nabi Muhammad).
Aturan-aturan bacaan dengan keindahan tartil menjadi sebuah disiplin yang disebut dengan tajwid. Tajwid merupakan sebuah wilayah pengetahuan yang inter-disiplinary yang terdiri dari liguistik, penguasan seni perfomance yang berhubungan dengan musikal Qira’at dan berbagai vokalisasi Al Qur’an.
Membaca dan menghafal Al Qur’an telah menjadi komponen tradisional yang penting dalam pendidikan muslim. Langkah pertama dalam pendidikan anak-anak adalah menghafalkan ayat-ayat pendek seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, Mu’awidatain dan seterusnya. Kegiatan pembelajaran itu sendiri terhadap sebuah teks dengan cara menghafal, menginternalisasikan, sebab dengan cara tersebut kedekatan dengan sebuah kitab suci yang sering dibaca bisa terbangun dengan baik.
Tahfiz atau menghafal Al Qur’an secara khusus merupakan cara mendekati teks secara tepat, dan kemampuan untuk mengutip atau membaca sebuah teks dari hafalannya merupakan sebuah sumber spiritual yang akan tersadap (jw. Mak cek) secara otomatis dalam setiap refleksi perbuatan: beribadah, pertimbangan moral, begitu juga ketika memutuskan persoalan-persoalan personal maupun komunal.
Kalimah Tayyibah Keseharian
Seberapa jauh al-Quran memiliki pengaruh dalam bahasa keseharian kita? Penulis hanya ingin memberikan beberapa—karena keterbatasan ruang—contoh yang mengindikasikan seberapa jauh frase, ekpresi, formula dan kosa-kata Al Qur’an menjadi komponen esensial dari fondasi—tidak hanya bahasa Arab tetapi hampir semua—bahasa di negara-negara muslim juga.
Bahkan sebagian bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Malaysia, Indonesia dan sebagainya telah dipengaruhi dengan Al Qur’an atau paling tidak membawa bahasa serapan dari Qur’an. Ini merupakan akibat dari perngaruh karakteristik oral dan aural Al Qur’an itu sendiri.
Beberapa frase dan kalimat Al Qur’an ditemukan dalam setiap bahasa keseharian muslim, di antaranya, pertama adalah nama Tuhan (Allah) yang hadir dalam setiap. Kedua, la ilaha illallah seringkali digunakan untuk menyebutkan nuasa yang berbeda-beda. Biasanya digunakan untuk mengekpresikan kesedihan ketika mendengarkan berita yang buruk tentang seseorang. Reaksi atas berita duka biasanya diekpresikan dengan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Q.S. al-Baqarah [2]:156; ali ‘Imaran [3]:83; al-An’am [6]:36; Maryam [19]:4; an-Nur [24]:64; al-Qasas [28]:39; al-Mukmin [40]:77 dan al-‘Alaq [96]:8.). Kalimat ini biasanya juga digunakan untuk mengekpresikan kemarahan atau kekecewaan ketika menghadapi dilema tertentu yang tidak diharapkan.
Ketiga, kata-kata Allahu Akbar yang merupakan tanda pertama masuk ke dalam mood shalat yang biasanya disebut tabiratul ikram. Takbir juga digunakan untuk mengekpresikan ketidakpuasan dalam sebuah situasi oleh seseorang yang bersikap heroik-arogan. Keempat, isti’adzah, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Kelima, istighfar (astaghfirullah al-Azim) disebutkan di dalam Al Qur’an lebih dari 50 kali. Istighfar biasanya diekpresikan untuk menyesali setelah marah atau membujuk orang yang marah agar tenang. Keenam, basmalah. Basamalah merepresentasikan dimensi positif mencari keberkahan atau rahmat dari Allah. Basmalah mungkin lebih sering digunakan dalam keseharian. Ketujuh, sapaan islami, yakni assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh memiliki dasar di dalam Al Qur’an (Q.S. al-An’am [6]:54; al-A’raf [7]:46; Yunus [10]:10; ar-Ra’d [13]:24; Ibrahim [14]:23; al-Hijr [15]:46; Maryam [19]:62; al-Waqi’ah [56]:26).
***
Semua itu merupakan cara membangun komunikasi dengan Tuhan tanpa menjadi satu dengan Tuhan, tanpa ber-‘empatmata’ dengan Tuhan, tanpa ‘memanusiakan’ Tuhan (maksudnya Tuhan dipersonifikasikan sebagaimana makhluk yang bisa dilihat dan disentuh). Namun, sayangnya sedikit di antara kita yang menyadari akan hal tersebut.Dan kini, tampaknya kesadaran tersebut perlu ditumbuhkan guna meningkatkan ketaqwaan dan keimanaan seorang muslim kepada Allah. Dan kiranya, dalam kerangka inilah, Tabloid Khalifah telah mengajak pembaca untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar