Dimuat di Jawa Pos Minggu 10 Januari 2005.
Dalam bukunya, Al-Quran: a Short Introduction (2002), Farid Esack menyatakan bahwa al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims. Alquran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Alquran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa?) atau penyelamat dari malapetaka. Dari fungsi-fungsi itu, mulai nyatalah bahwa Alquran benar-benar memberikan makna yang konkret dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, hingga kini, Alquran tetap dijadikan pegangan hidup.
Banyak sekali cara interaksi yang digunakan oleh setiap muslim dalam merengkuh dan menggali makna Alquran sehingga bisa berarti dan bermakna dalam kehidupannya. Sejauh ini, ada dua cara interaksi. Pertama, cara interaksi muslim terhadap Alquran melalui pendekatan atau kajian teks Alquran. Cara yang pertama ini telah lama dilakukan oleh para mufasir klasik maupun kontemporer, yang kemudian menghasilkan beberapa produk kitab tafsir.
Dalam cara tersebut, teks Alquran diperlakukan sebagai objek kajian. Mau tak mau, ia harus tunduk pada pengkajinya (subjek). Sebab, sebesar apa pun kekuatan teks tetap akan ditafsirkan oleh penafsirnya. Di sinilah sebenarnya berbagai wacana kepentingan bisa masuk dan berjalin kelindan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter penafsiran tersebut.
Dengan begitu, tak mengherankan bermunculan tafsir dengan karakter teologis, filosofis, fiqhi, sufi, dan sebagainya. Sebetulnya, berbagai corak itu akan memperkaya khazanah tafsir. Akan tetapi, di balik itu semua tersimpan bahaya laten, yakni "manipulasi" dalam pemaknaan teks. Teks Alquran akan diseret dan dipermainkan sejauh keinginan penafsir. Ini terjadi dalam sejarah Islam, terutama dalam konteks konflik antara kaum Mu?tazilah dan anti-Mu’tazilah. Tampaknya, kecenderungan seperti itu masih saja terjadi hingga kini.
Cara yang pertama tersebut, rupa-rupanya, mendominasi dan menjadi semacam mainstream dalam kajian Alquran. Dan, cara ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan memahami bahasa agama hanya bisa mengekor pada figur kepercayaannya, misalnya kiai atau ulama.
Akan tetapi, anehnya, orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran -di samping mengekor pada tokoh kepercayaannya- juga mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan atau berinteraksi dengan Alquran. Hal ini, sekali lagi, dilakukan hanya semata ingin menemukan signifikansi Alquran terhadap kehidupan mereka. Cara yang tersendiri itu memang jauh berbeda dengan cara pertama.
Cara kedua tersebut tidak melalui pendekatan teks atau bahasa Alquran. Sebab, mereka (orang-orang yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan tidak mempunyai kemampuan dalam memahami bahasa Alquran) tidak pernah melakukan pendekatan terhadap bahasa atau teks Alquran. Mereka hanya mencoba secara langsung beinteraksi, memperlakukan, dan menerapkan Alquran dalam kehidupan sehari-hari mereka secara praktis.
Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Alquran dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Alquran dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Alquran.
Di Jogjakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Alquran mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Alquran di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jw: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Alquran. Di sini, teks Alquran ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.
Nah, cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran seperti di atas, di Indonesia khususnya, belum benar-benar mendapat perhatian serius oleh pengkaji Alquran. Padahal, cara seperti itu pada intinya sama dengan menafsirkan Alquran dengan melalui teks, yakni sama-sama mencari makna Alquran sehingga Alquran bisa bermakna dan berarti dalam kehidupan.
Keterluputan perhatian itu, bagi penulis, paling tidak disebabkan oleh, pertama, anggapan bahwa cara berinteraksi terhadap Alquran sebagaimana di atas bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Alquran atau tafsir. Atau, kedua, anggapan bahwa cara tersebut memang sesat, bid?ah, khurafat, atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tafsir pada umumnya.
Perlu dicatat, interaksi terhadap Alquran semacam itu sudah menjadi budaya atau lebih tepatnya sudah mendarah daging bagi mereka, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka terhadap objek yang dihadapi, yakni Alquran. Asumsi-asumsi inilah yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir).
Yang jelas, bagi pelakunya, cara interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan mempengaruhi banget sisi psikologis si pelaku. Bagaimana hal yang seperti itu luput dari perhatian atau bahkan dicap sesat? Bukankah cara interaksi yang seperti itu masuk dalam jenis tafsir anagogik? Juga, bukankah cara seperti itu pantas disebut sebagai Alquran yang hidup dalam fenomena sosial-budaya masyarakat atau Living Quran? Wallahu’alam.
Dalam bukunya, Al-Quran: a Short Introduction (2002), Farid Esack menyatakan bahwa al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims. Alquran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Alquran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa?) atau penyelamat dari malapetaka. Dari fungsi-fungsi itu, mulai nyatalah bahwa Alquran benar-benar memberikan makna yang konkret dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, hingga kini, Alquran tetap dijadikan pegangan hidup.
Banyak sekali cara interaksi yang digunakan oleh setiap muslim dalam merengkuh dan menggali makna Alquran sehingga bisa berarti dan bermakna dalam kehidupannya. Sejauh ini, ada dua cara interaksi. Pertama, cara interaksi muslim terhadap Alquran melalui pendekatan atau kajian teks Alquran. Cara yang pertama ini telah lama dilakukan oleh para mufasir klasik maupun kontemporer, yang kemudian menghasilkan beberapa produk kitab tafsir.
Dalam cara tersebut, teks Alquran diperlakukan sebagai objek kajian. Mau tak mau, ia harus tunduk pada pengkajinya (subjek). Sebab, sebesar apa pun kekuatan teks tetap akan ditafsirkan oleh penafsirnya. Di sinilah sebenarnya berbagai wacana kepentingan bisa masuk dan berjalin kelindan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter penafsiran tersebut.
Dengan begitu, tak mengherankan bermunculan tafsir dengan karakter teologis, filosofis, fiqhi, sufi, dan sebagainya. Sebetulnya, berbagai corak itu akan memperkaya khazanah tafsir. Akan tetapi, di balik itu semua tersimpan bahaya laten, yakni "manipulasi" dalam pemaknaan teks. Teks Alquran akan diseret dan dipermainkan sejauh keinginan penafsir. Ini terjadi dalam sejarah Islam, terutama dalam konteks konflik antara kaum Mu?tazilah dan anti-Mu’tazilah. Tampaknya, kecenderungan seperti itu masih saja terjadi hingga kini.
Cara yang pertama tersebut, rupa-rupanya, mendominasi dan menjadi semacam mainstream dalam kajian Alquran. Dan, cara ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan memahami bahasa agama hanya bisa mengekor pada figur kepercayaannya, misalnya kiai atau ulama.
Akan tetapi, anehnya, orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran -di samping mengekor pada tokoh kepercayaannya- juga mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan atau berinteraksi dengan Alquran. Hal ini, sekali lagi, dilakukan hanya semata ingin menemukan signifikansi Alquran terhadap kehidupan mereka. Cara yang tersendiri itu memang jauh berbeda dengan cara pertama.
Cara kedua tersebut tidak melalui pendekatan teks atau bahasa Alquran. Sebab, mereka (orang-orang yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan tidak mempunyai kemampuan dalam memahami bahasa Alquran) tidak pernah melakukan pendekatan terhadap bahasa atau teks Alquran. Mereka hanya mencoba secara langsung beinteraksi, memperlakukan, dan menerapkan Alquran dalam kehidupan sehari-hari mereka secara praktis.
Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Alquran dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Alquran dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Alquran.
Di Jogjakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Alquran mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Alquran di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jw: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Alquran. Di sini, teks Alquran ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.
Nah, cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran seperti di atas, di Indonesia khususnya, belum benar-benar mendapat perhatian serius oleh pengkaji Alquran. Padahal, cara seperti itu pada intinya sama dengan menafsirkan Alquran dengan melalui teks, yakni sama-sama mencari makna Alquran sehingga Alquran bisa bermakna dan berarti dalam kehidupan.
Keterluputan perhatian itu, bagi penulis, paling tidak disebabkan oleh, pertama, anggapan bahwa cara berinteraksi terhadap Alquran sebagaimana di atas bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Alquran atau tafsir. Atau, kedua, anggapan bahwa cara tersebut memang sesat, bid?ah, khurafat, atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tafsir pada umumnya.
Perlu dicatat, interaksi terhadap Alquran semacam itu sudah menjadi budaya atau lebih tepatnya sudah mendarah daging bagi mereka, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka terhadap objek yang dihadapi, yakni Alquran. Asumsi-asumsi inilah yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir).
Yang jelas, bagi pelakunya, cara interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan mempengaruhi banget sisi psikologis si pelaku. Bagaimana hal yang seperti itu luput dari perhatian atau bahkan dicap sesat? Bukankah cara interaksi yang seperti itu masuk dalam jenis tafsir anagogik? Juga, bukankah cara seperti itu pantas disebut sebagai Alquran yang hidup dalam fenomena sosial-budaya masyarakat atau Living Quran? Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar