Dimuat di Tabloid Khalifah Edisi 87/ Th IV|08 Mei-21 Juni 2008/02-15 Jumadil Awal 1420 H.
Stress adalah penyakit yang paling umum kita jumpai di zaman modern ini. Lazimnya, stress diakibatkan karena penyakit perut, penyakit hati koroner, depresi, hipertensi, diabeter bahkan kanker. Dalam bentuk yang lebih ringan, stress biasanya ditunjukkan dalam bentuk kegelisahan, kekerasan di kantor, sekolah dan rumah. Masalah-masalah medis yang umum seperti sakit kepala, insomnia dan obesitas terkadang juga dihubungkan dengan stress.
Di zaman modern ini, dimana mobilitas sosial begitu cepat, rasanya sulit seorang bisa terhindar dari stress. Tampaknya, yang bisa dilakukan bukanlah menghindari stress namun mengelolanya secara lebih baik.
Biasanya stress berasal dari faktor-faktor berikut ini, pertama, adanya rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui dan mencoba untuk menentukan serta mngendalikan nasib. Kedua, kehilangan orang-orang dan harta benda yang dicintai serta tidak adanya kemampuan untuk bangkit kembali (recovery) atas kehilangan tersebut. Ketiga, terjadinya konflik batin antara hati dan pikiran, antara apa yang diketahui sebagai kebenaran dan menerima kegagalan sebagai kebenaran. Menerima kebenaran mungkin perlu mengubah kebiasaan-kebiasaan kita dan cara hidup kita yang mungkin kita ikuti karena alasan tertentu seperti kepuasan, kebahagiaan, rasa, bangga suku atau kebuadayaan dan sebagainya.
Mari kita perhatikan bagaimana al-Qur’an mengajarkan kepada kita pada situasi-situasi yang semacam ini. Kehilangan atau kegagalan merupakan sebuah cobaan bagi kita, sebagaimana diungkapkan di dalam Q.S. al-Baqarah (2): 155 “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Jadi, di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan harta benda dan kehidupan. Segala sesuatu hanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jika kita tidak memiliki sesuatu itu, mengapa kita musti merasa berduka cita atas kehilangan tersebut? Allah hanya memberikan hak pakai kepada manusia atas apa yang telah diberikan. dan sewaktu-waktu Allah berhak mengambilnya dengan berbagai cara.
Nasib kita telah ditetapkan sebelumnya. Kita tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur bagian ini. Apa yang kita miliki adalah sebuah kehendak bebas yang terbatas (limited free will), yakni perbuatan kita, pilihan kita untuk melakukan hal yang baik dan buruk, untuk beriman kepada Allah atau tidak beriman. Namun kita tidak bisa mengendalikan kejadian-kejadian besok yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan kita sekarang. Misalnya apakah istri saya akan memiliki anak laki-laki atau perempuan, apakah matanya berwarna hitam atau coklat atau apakah saya akan sengsara besok atau tidak. Itu semua ada di luar diri kita.
Menolak keimanan di dalam al-Qur’an disebut sebagai sebuah penyakit. Penolakan kepada kebenaran ini disebabkan oleh kesombongan, sebagaimana diungkapkan di dalam Q.S. al-Baqarah (2):10 “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
Oleh karena itu, setelah berdusta kepada diri kita, kita menumbukan sebuah konflik internal—antara hati dan pikiran. Untuk mewadahi konflik tersebut, pikiran mengirimkan signal-signal kepada kelenjar-kelenjar guna melakukan sekresi hormon-hormon seperti adrenalin yang mengakibatkan aliran darah yang cepat, keringat, dan gemetar. Konflik dusta dapat disebabkan karena dosa yang “KECIL” seperti mencuri dan berzina atau dosa besar seperti tidak beriman kepada Allah.
Dalam menghadapi situasi-situasi seperti itu, tampaknya manusia harus mengetahui beragama jiwa atau kondisi kejiwaan di dalam dirinya. Al-Qur’an menyebutkan jenis-jenis kondisi kejiwaan tersebut. Pertama adalah Nafs al-Ammarah atau kita sering mendengarnya dengan istilah nafsu amarah. Nasfu ini lebih cenderung pada kepuasan seksual, gairah dan egoisme diri, kemarahan, cemburu, rakus, sombong. Perhatiannya hanya pada kepuasan tubuh, kepuasan nasfu fisik dan ego.
Nafsu inilah yang paling nyata menjadi musuh manusia. nafsu inilah yang harus dikendalikan. Nabi Muhammad pernah bersabda: “Musuhmu yang paling nyata adalah kejahatan dirimu yang ada di dalam tubuhmu” (H.R.Bukhari). Jika nafs kejahatan ini tidak diketahui, ini bisa mengakibatkan stres yang luar biasa dan melahirkan efek-efek yang berbahaya.
Kedua, Nafs al-Lawwamah. Jiwa ini menyadari akan kejahatan, menetangnya, memhon perlindungan Allah dan ampunan, taubat dan mencoba untuk berharap mendapatkan keselamatan. Sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. at-Taubah (9):102, Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berkaiatan dengan Nafs al-Lawwamah, Nabi Muhammad pernah bersabada, “Di dalam diri kita ada dorongan hati. Satu semangat yang mendorong kepada kebaikan dan kebenaran. Barang siapa yang merasakan dorongan ini harus mengatahui bahwa ini datang dari Allah. dorongan lain datang dari setan yang mengantarkan pada keraguan dan menyakini ketidakbenaran dan mendorong pada kejahatan. Barang siapa yang merasakan ini, mintalah perlindungan Allah dari setan yang terkutuk.”
Jiwa ini memperingatkan orang-orang akan nafsu kesia-siaaan mereka dan membukan pintu untuk kebajikan dan kebaikan. Ini merupakan langkah yang positif dalam pertumbuhan spiritual.
Ketiga, Nafs al-Mutma’innah (Jiwa yang tenang) sebagaimana yang disebutkan di dalam Q.S. (89) 27-30 “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Ini adalah keadaan perkembangan spiritual, jiwa yang terpuasakan. Yakni jiwa dalam keadaan kebahagiaan, penuh dan damai. Jiwa ini berada pada keadaan damai sebab dia mengetahui bahwa sebagai ganti kegagalan di dunia, jiwa ini akan kembali kepada Allah. Tensi yang dibersihkan ini muncul dari perjuangan dengan halangan-halangan yang menutup-nutupi kedamaian pikiran dan hati.
Apa yang seharusnya kita lakukan dalam keadaan panik dan putus asa?
Dalam keadaan panik, orang yang tidak beriman berperilaku berbeda dengan orang yang beriman. Mereka tidak punya sesuatu yang harus dimintai tolong, ampunan dan berkah, kehidupan mereka adalah kehidupan ini, yang mereka sendiri tidak bisa mengaturnya. Jadi mereka akan lebih tertekan dan melakukan kesalahan terus menerus.
Dalam keadaan seperti di atas seorang yang beriman akan melakukan hal berikut ini. Pertama, meningkat Dzikir sebagaimana Q.S. Al-Ra’d (13):28 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Kedua, meningkatkan Sholat, sebagaimana disinggung dalam Q.S. al-Baqarah (2):153.Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ketiga, beristigfar sebagaimana perintah Allah dalam Q.S. Nuh (71):10. Maka Aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun’. Keempat, si samping itu, kita juga harus terus menerus berjuang untuk memperbaiki diri kita sebagaimana disinyalir dalam Q.S. al-Ra’d (13):11 Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Walhasil, saya berkesimpulam bahwa stress itu berasal dari ketidakmampuan mengatasi konflik batin atau absennya kedamaian batin karena konflik-konflik di dalam diri sehingga mengakibatkan gangguan-gangguan eksternal di dalam sikap dan kesehatan. Kedamaian batin hanya bisa dicapai dengan beriman kepada Allah dan mengingatnya secara terus menerus dan meminta perlindungan dan ampunan berkali-kali dalam keadaan sesulit apapun. Wallahu’alam.
Stress adalah penyakit yang paling umum kita jumpai di zaman modern ini. Lazimnya, stress diakibatkan karena penyakit perut, penyakit hati koroner, depresi, hipertensi, diabeter bahkan kanker. Dalam bentuk yang lebih ringan, stress biasanya ditunjukkan dalam bentuk kegelisahan, kekerasan di kantor, sekolah dan rumah. Masalah-masalah medis yang umum seperti sakit kepala, insomnia dan obesitas terkadang juga dihubungkan dengan stress.
Di zaman modern ini, dimana mobilitas sosial begitu cepat, rasanya sulit seorang bisa terhindar dari stress. Tampaknya, yang bisa dilakukan bukanlah menghindari stress namun mengelolanya secara lebih baik.
Biasanya stress berasal dari faktor-faktor berikut ini, pertama, adanya rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui dan mencoba untuk menentukan serta mngendalikan nasib. Kedua, kehilangan orang-orang dan harta benda yang dicintai serta tidak adanya kemampuan untuk bangkit kembali (recovery) atas kehilangan tersebut. Ketiga, terjadinya konflik batin antara hati dan pikiran, antara apa yang diketahui sebagai kebenaran dan menerima kegagalan sebagai kebenaran. Menerima kebenaran mungkin perlu mengubah kebiasaan-kebiasaan kita dan cara hidup kita yang mungkin kita ikuti karena alasan tertentu seperti kepuasan, kebahagiaan, rasa, bangga suku atau kebuadayaan dan sebagainya.
Mari kita perhatikan bagaimana al-Qur’an mengajarkan kepada kita pada situasi-situasi yang semacam ini. Kehilangan atau kegagalan merupakan sebuah cobaan bagi kita, sebagaimana diungkapkan di dalam Q.S. al-Baqarah (2): 155 “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Jadi, di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan harta benda dan kehidupan. Segala sesuatu hanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jika kita tidak memiliki sesuatu itu, mengapa kita musti merasa berduka cita atas kehilangan tersebut? Allah hanya memberikan hak pakai kepada manusia atas apa yang telah diberikan. dan sewaktu-waktu Allah berhak mengambilnya dengan berbagai cara.
Nasib kita telah ditetapkan sebelumnya. Kita tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur bagian ini. Apa yang kita miliki adalah sebuah kehendak bebas yang terbatas (limited free will), yakni perbuatan kita, pilihan kita untuk melakukan hal yang baik dan buruk, untuk beriman kepada Allah atau tidak beriman. Namun kita tidak bisa mengendalikan kejadian-kejadian besok yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan kita sekarang. Misalnya apakah istri saya akan memiliki anak laki-laki atau perempuan, apakah matanya berwarna hitam atau coklat atau apakah saya akan sengsara besok atau tidak. Itu semua ada di luar diri kita.
Menolak keimanan di dalam al-Qur’an disebut sebagai sebuah penyakit. Penolakan kepada kebenaran ini disebabkan oleh kesombongan, sebagaimana diungkapkan di dalam Q.S. al-Baqarah (2):10 “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
Oleh karena itu, setelah berdusta kepada diri kita, kita menumbukan sebuah konflik internal—antara hati dan pikiran. Untuk mewadahi konflik tersebut, pikiran mengirimkan signal-signal kepada kelenjar-kelenjar guna melakukan sekresi hormon-hormon seperti adrenalin yang mengakibatkan aliran darah yang cepat, keringat, dan gemetar. Konflik dusta dapat disebabkan karena dosa yang “KECIL” seperti mencuri dan berzina atau dosa besar seperti tidak beriman kepada Allah.
Dalam menghadapi situasi-situasi seperti itu, tampaknya manusia harus mengetahui beragama jiwa atau kondisi kejiwaan di dalam dirinya. Al-Qur’an menyebutkan jenis-jenis kondisi kejiwaan tersebut. Pertama adalah Nafs al-Ammarah atau kita sering mendengarnya dengan istilah nafsu amarah. Nasfu ini lebih cenderung pada kepuasan seksual, gairah dan egoisme diri, kemarahan, cemburu, rakus, sombong. Perhatiannya hanya pada kepuasan tubuh, kepuasan nasfu fisik dan ego.
Nafsu inilah yang paling nyata menjadi musuh manusia. nafsu inilah yang harus dikendalikan. Nabi Muhammad pernah bersabda: “Musuhmu yang paling nyata adalah kejahatan dirimu yang ada di dalam tubuhmu” (H.R.Bukhari). Jika nafs kejahatan ini tidak diketahui, ini bisa mengakibatkan stres yang luar biasa dan melahirkan efek-efek yang berbahaya.
Kedua, Nafs al-Lawwamah. Jiwa ini menyadari akan kejahatan, menetangnya, memhon perlindungan Allah dan ampunan, taubat dan mencoba untuk berharap mendapatkan keselamatan. Sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. at-Taubah (9):102, Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berkaiatan dengan Nafs al-Lawwamah, Nabi Muhammad pernah bersabada, “Di dalam diri kita ada dorongan hati. Satu semangat yang mendorong kepada kebaikan dan kebenaran. Barang siapa yang merasakan dorongan ini harus mengatahui bahwa ini datang dari Allah. dorongan lain datang dari setan yang mengantarkan pada keraguan dan menyakini ketidakbenaran dan mendorong pada kejahatan. Barang siapa yang merasakan ini, mintalah perlindungan Allah dari setan yang terkutuk.”
Jiwa ini memperingatkan orang-orang akan nafsu kesia-siaaan mereka dan membukan pintu untuk kebajikan dan kebaikan. Ini merupakan langkah yang positif dalam pertumbuhan spiritual.
Ketiga, Nafs al-Mutma’innah (Jiwa yang tenang) sebagaimana yang disebutkan di dalam Q.S. (89) 27-30 “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Ini adalah keadaan perkembangan spiritual, jiwa yang terpuasakan. Yakni jiwa dalam keadaan kebahagiaan, penuh dan damai. Jiwa ini berada pada keadaan damai sebab dia mengetahui bahwa sebagai ganti kegagalan di dunia, jiwa ini akan kembali kepada Allah. Tensi yang dibersihkan ini muncul dari perjuangan dengan halangan-halangan yang menutup-nutupi kedamaian pikiran dan hati.
Apa yang seharusnya kita lakukan dalam keadaan panik dan putus asa?
Dalam keadaan panik, orang yang tidak beriman berperilaku berbeda dengan orang yang beriman. Mereka tidak punya sesuatu yang harus dimintai tolong, ampunan dan berkah, kehidupan mereka adalah kehidupan ini, yang mereka sendiri tidak bisa mengaturnya. Jadi mereka akan lebih tertekan dan melakukan kesalahan terus menerus.
Dalam keadaan seperti di atas seorang yang beriman akan melakukan hal berikut ini. Pertama, meningkat Dzikir sebagaimana Q.S. Al-Ra’d (13):28 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Kedua, meningkatkan Sholat, sebagaimana disinggung dalam Q.S. al-Baqarah (2):153.Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ketiga, beristigfar sebagaimana perintah Allah dalam Q.S. Nuh (71):10. Maka Aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun’. Keempat, si samping itu, kita juga harus terus menerus berjuang untuk memperbaiki diri kita sebagaimana disinyalir dalam Q.S. al-Ra’d (13):11 Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Walhasil, saya berkesimpulam bahwa stress itu berasal dari ketidakmampuan mengatasi konflik batin atau absennya kedamaian batin karena konflik-konflik di dalam diri sehingga mengakibatkan gangguan-gangguan eksternal di dalam sikap dan kesehatan. Kedamaian batin hanya bisa dicapai dengan beriman kepada Allah dan mengingatnya secara terus menerus dan meminta perlindungan dan ampunan berkali-kali dalam keadaan sesulit apapun. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar