Dimuat di Media Indonesia Jumat, 5 September 2003.
Indonesia digoyang bom lagi. Tragedi Legian, Bali, dan rentetan pengeboman sebelumnya yang menewaskan ratusan manusia tak berdosa ternyata masih tidak cukup. Hotel JW Marriott jadi sasaran empuk berikutnya. Kata-kata teror, terorisme, bom, tragedi, korban, Jamaah Islamiyah, radikal menjadi kosakata keseharian yang begitu fasih dilafalkan. Orang-orang ramai mengutuk pelaku terorisme, meskipun belum diketahui secara pasti siapa pelaku terorisme itu.
Perasaan ngeri mulai datang mengancam kapan saja dan di mana saja. Kota-kota besar dikomandoi Siaga I. Umat Islam pun mencak-mencak ketika tragedi JW Marriott diduga berkaitan dengan Jamaah Islamiyah, golongan umat Islam garis keras (baca: Islam radikal, sabagaimana ditulis Khamami Zada di harian ini edisi 15 Agustus 2003 dengan tajuk 'Ideologi Gerakan Islam Radikal'). Jama'ah Islamiyah, istilah yang tendensius dan seolah-olah menggeneralisasi umat Islam seluruh dunia, sangat berimplikasi buruk pada citra Islam. Akhirnya, Islam pun terkesan mengerikan, anticinta, dan antidamai. Image
Islam sebagai rahmat seluruh alam luntur menjadi laknat seluruh alam. Terlepas siapakah teroris itu, beragama apakah ia dan berasal dari golongan mana, yang jelas ia sudah tidak memiliki ruang cinta di dalam hatinya, ruang cinta kepada sesama manusia. Ruang cinta itu telah direbut dan kemudian dipenuhi oleh nafsu angkara setan. Sehingga, kesadaran dirinya sebagai hamba Tuhan yang berkewajiban mencintai sesama hilang. Mata hatinya buta. Naluri kemanusiaannya buntu. Kebenaran di hadapannya sudah mulai membias. Baik-buruk menyempit ruangnya. Akhirnya, bom pun diledakkan demi kepuasan nafsu martir atau pseudo-martyr? Sahid atau sangit?
Semua agama tidak membenarkan tindakan tolol itu, dengan dalih apa pun. Islam pun mengutuk keras perlakuan keji itu. Dalam Alquran dengan tegas diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa bagaikan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini, (QS Al-Maidah 32), apalagi yang menjadi korban tidak hanya puluhan, bahkan ratusan nyawa. Cinta, kasih-sayang benar-benar terasa ketika ia hilang, begitu kata Miranda Risang Ayu. Ketika ruang sadar manusia dan peradaban dunia dipenuhi dengan dan terperangkap dalam ancaman teror, cinta memang benar-benar hilang. Oleh karena itu, kini, cinta benar-benar terasa hilang dan harus ditemukan untuk dihidupkan kembali demi membangun peradaban dunia yang penuh cinta-kasih tanpa kecemasan (teror). Terorisme telah melahirkan dan membikin jarak cinta antarsesama manusia. Masih tersisakah cinta sebagai peredam teror?
Come, come, whatever you are. It doesn't matter. Whatever you are. An infidel, an idolater, or a firewhorship. Come. Our convent is not a place of despire. Come. Even if you violated your swear. A hundred times. Come again.
Kalimat-kalimat itu dituturkan oleh The Great Sufi asal Balk, Afganistan, Jalaluddin Rumi, tatkala ia ingin membuktikan kecintaannya kepada siapa
saja; orang kafir, musyrik maupun penyembah api, demi menyeru kepada mereka bahwa bumi Tuhan tidaklah tempat untuk berputus asa. Begitu pentingnya cinta sesama manusia, sampai-sampai di dalam dunia tasawuf--dan ini jauh sebelum sufi agung Jalaluddin Rumi--muncullah aliran tasawuf madzhab cinta, yang dipelopori oleh seorang wanita asal Basrah, Rabiah al-Adawiyah.
Bahkan pada titik ekstremnya, ketika Rabiah ditanya mengenai bagaimana cintanya kepada Allah, ia menjawab, ''Cintaku kepada Allah tidak menyisakan ruang untuk membenci setan.'' Begitu tulus cintanya, hingga kepada setan yang jelas-jelas menjadi musuh nyata ('aduwwun mubin) manusia, Rabiah tidak memiliki sedikit pun kebencian.
Konon, menurut para sejarawan Islam, kemunculan tasawuf merupakan respons terhadap gemerlapnya dunia yang sangat berlebihan. Pada saat itu Islam memuncaki kejayaannya, sehingga kekayaan melimpah, dan kemewahan menjadi tak terkendali. Kini, tak ada salahnya kalau tasawuf dimunculkan lagi sebagai respons atas maraknya tindakan terorisme yang tak terkendali. Yakni, mencoba menjadikan tasawuf sebagai counter wacana atas tindakan terorisme yang tak mengenal cinta.
Tasawuf menawarkan cinta dengan segala kelembutannya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang holistik dan kudus. Memberantas aksi terorisme tanpa cinta dan kelembutan hanya merupakan tindakan yang kontraproduktif dan hanya akan memperpanjang rangkaian-rangkaian tindak terorisme baru (neoterrorism).
Menumbuhkan kesadaran untuk bertasawuf dengan mazhab cinta, karena itu menjadi sangat urgen untuk didengungkan. Hubb atau cinta sufi akan
membebaskan diri dari segala nafsu setan, kekuasaan (power), hasrat ingin menguasai orang lain (superior) dan kuasa pembenaran atas diri (self-truth claim), yang dibungkus dengan kepatuhan terhadap Tuhan (Abdul Munir Mulkhan; 2003). Cinta yang dilandasi kepatuhan kepada Tuhan pada akhirnya akan menumbuhkan cinta kemanusiaan yang hakiki.
Dalam tasawuf, kedalaman makna hidup ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal itu, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas.
Sehingga, bagi Sayyed Hossein Nasr, misalnya, tasawuf setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan. Walhasil, upaya pemberantasan terhadap tindakan-tindakan terorisme tidak hanya cukup ditempuh melalui jalur intelijen, konstitusi, dan hukum, tetapi selayaknya juga diiringi dengan upaya penyadaran kultural, yakni melalui wacana tasawuf yang mengajarkan cinta kasih lintas batas. Wallahu a'lam bishshowab.
Indonesia digoyang bom lagi. Tragedi Legian, Bali, dan rentetan pengeboman sebelumnya yang menewaskan ratusan manusia tak berdosa ternyata masih tidak cukup. Hotel JW Marriott jadi sasaran empuk berikutnya. Kata-kata teror, terorisme, bom, tragedi, korban, Jamaah Islamiyah, radikal menjadi kosakata keseharian yang begitu fasih dilafalkan. Orang-orang ramai mengutuk pelaku terorisme, meskipun belum diketahui secara pasti siapa pelaku terorisme itu.
Perasaan ngeri mulai datang mengancam kapan saja dan di mana saja. Kota-kota besar dikomandoi Siaga I. Umat Islam pun mencak-mencak ketika tragedi JW Marriott diduga berkaitan dengan Jamaah Islamiyah, golongan umat Islam garis keras (baca: Islam radikal, sabagaimana ditulis Khamami Zada di harian ini edisi 15 Agustus 2003 dengan tajuk 'Ideologi Gerakan Islam Radikal'). Jama'ah Islamiyah, istilah yang tendensius dan seolah-olah menggeneralisasi umat Islam seluruh dunia, sangat berimplikasi buruk pada citra Islam. Akhirnya, Islam pun terkesan mengerikan, anticinta, dan antidamai. Image
Islam sebagai rahmat seluruh alam luntur menjadi laknat seluruh alam. Terlepas siapakah teroris itu, beragama apakah ia dan berasal dari golongan mana, yang jelas ia sudah tidak memiliki ruang cinta di dalam hatinya, ruang cinta kepada sesama manusia. Ruang cinta itu telah direbut dan kemudian dipenuhi oleh nafsu angkara setan. Sehingga, kesadaran dirinya sebagai hamba Tuhan yang berkewajiban mencintai sesama hilang. Mata hatinya buta. Naluri kemanusiaannya buntu. Kebenaran di hadapannya sudah mulai membias. Baik-buruk menyempit ruangnya. Akhirnya, bom pun diledakkan demi kepuasan nafsu martir atau pseudo-martyr? Sahid atau sangit?
Semua agama tidak membenarkan tindakan tolol itu, dengan dalih apa pun. Islam pun mengutuk keras perlakuan keji itu. Dalam Alquran dengan tegas diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa bagaikan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini, (QS Al-Maidah 32), apalagi yang menjadi korban tidak hanya puluhan, bahkan ratusan nyawa. Cinta, kasih-sayang benar-benar terasa ketika ia hilang, begitu kata Miranda Risang Ayu. Ketika ruang sadar manusia dan peradaban dunia dipenuhi dengan dan terperangkap dalam ancaman teror, cinta memang benar-benar hilang. Oleh karena itu, kini, cinta benar-benar terasa hilang dan harus ditemukan untuk dihidupkan kembali demi membangun peradaban dunia yang penuh cinta-kasih tanpa kecemasan (teror). Terorisme telah melahirkan dan membikin jarak cinta antarsesama manusia. Masih tersisakah cinta sebagai peredam teror?
***
Dalam Islam terdapat ajaran tasawuf, yakni perjalanan manusia yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup (Muhammad Zuhri, 1996). Pengabdian diri kepada seluruh umat inilah yang dilandasi dengan cinta. Tak syak lagi kalau dunia tasawuf sangat kental dengan khazanah cinta (hubb). Cinta seorang sufi kepada seluruh umat manusia itu melampaui batas-batas kemanusiaan, nasionalitas, etnis, ras, suku, ideologi, golongan, budaya, dan bahkan agama.Come, come, whatever you are. It doesn't matter. Whatever you are. An infidel, an idolater, or a firewhorship. Come. Our convent is not a place of despire. Come. Even if you violated your swear. A hundred times. Come again.
Kalimat-kalimat itu dituturkan oleh The Great Sufi asal Balk, Afganistan, Jalaluddin Rumi, tatkala ia ingin membuktikan kecintaannya kepada siapa
saja; orang kafir, musyrik maupun penyembah api, demi menyeru kepada mereka bahwa bumi Tuhan tidaklah tempat untuk berputus asa. Begitu pentingnya cinta sesama manusia, sampai-sampai di dalam dunia tasawuf--dan ini jauh sebelum sufi agung Jalaluddin Rumi--muncullah aliran tasawuf madzhab cinta, yang dipelopori oleh seorang wanita asal Basrah, Rabiah al-Adawiyah.
Bahkan pada titik ekstremnya, ketika Rabiah ditanya mengenai bagaimana cintanya kepada Allah, ia menjawab, ''Cintaku kepada Allah tidak menyisakan ruang untuk membenci setan.'' Begitu tulus cintanya, hingga kepada setan yang jelas-jelas menjadi musuh nyata ('aduwwun mubin) manusia, Rabiah tidak memiliki sedikit pun kebencian.
Konon, menurut para sejarawan Islam, kemunculan tasawuf merupakan respons terhadap gemerlapnya dunia yang sangat berlebihan. Pada saat itu Islam memuncaki kejayaannya, sehingga kekayaan melimpah, dan kemewahan menjadi tak terkendali. Kini, tak ada salahnya kalau tasawuf dimunculkan lagi sebagai respons atas maraknya tindakan terorisme yang tak terkendali. Yakni, mencoba menjadikan tasawuf sebagai counter wacana atas tindakan terorisme yang tak mengenal cinta.
Tasawuf menawarkan cinta dengan segala kelembutannya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang holistik dan kudus. Memberantas aksi terorisme tanpa cinta dan kelembutan hanya merupakan tindakan yang kontraproduktif dan hanya akan memperpanjang rangkaian-rangkaian tindak terorisme baru (neoterrorism).
Menumbuhkan kesadaran untuk bertasawuf dengan mazhab cinta, karena itu menjadi sangat urgen untuk didengungkan. Hubb atau cinta sufi akan
membebaskan diri dari segala nafsu setan, kekuasaan (power), hasrat ingin menguasai orang lain (superior) dan kuasa pembenaran atas diri (self-truth claim), yang dibungkus dengan kepatuhan terhadap Tuhan (Abdul Munir Mulkhan; 2003). Cinta yang dilandasi kepatuhan kepada Tuhan pada akhirnya akan menumbuhkan cinta kemanusiaan yang hakiki.
Dalam tasawuf, kedalaman makna hidup ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal itu, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas.
Sehingga, bagi Sayyed Hossein Nasr, misalnya, tasawuf setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan. Walhasil, upaya pemberantasan terhadap tindakan-tindakan terorisme tidak hanya cukup ditempuh melalui jalur intelijen, konstitusi, dan hukum, tetapi selayaknya juga diiringi dengan upaya penyadaran kultural, yakni melalui wacana tasawuf yang mengajarkan cinta kasih lintas batas. Wallahu a'lam bishshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar