SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil: Pluralisme Internal Umat Islam

Pluralisme Internal Umat Islam

Dimuat di koran Media Indonesia Jumat, 8 Agustus 2003.

Seorang filsuf-penyair Muhammad Iqbal asal Pakistan menesgaskan bahwa pada hakikatnya pemikiran tidaklah bersifat statis.Pemikiran senantiasa berwatak dinamis dan mendobrak keterbatasan.Dalam konteks keIndonesiaan,apa yang dikemukakan M Iqbali ini menemukan bukti.Diskursus pemikiran keislaman, akhir-akhir ini, semakin menunjukan dinamika dan keragamannya. Hal paling ini tidak ditengarai dengan menjamurnya corak-corak pemikiran keislaman, yang kemudian melahirkan semacam ‘Aliran’ dengan prototipe tersendiri, misalnya yang kini menghangat diranah wacana pemikiran adalah islam liberal, Islam fundamental, Islam Modern, Islam Tradisional, Islam Radika, Islam sunni, dan sebagainya.

Munculnya beragam ‘Aliran’ Islam ini berawal dari beda cara pandang (Metode) yang digunakan dalam memahami Al-quran dan hadis sebagai sumber autetik agama islam.Setiap ‘Aliran’ mempunyai metode sendiri yang berbeda dengan ‘aliran’ lainnya.diferensiasi ini merupakan akibat logis dari pengetahuan dan latar belakang historis setiap ‘aliran’ yang berbeda.

Perbedaan ini sudah menjadi keniscayaan (amust), sunatullah, cokromanggilingan. Tidak mengakui dan tidak menerima perbedaan bisa dipandang sebagai menentang arus sunatullah. Yang menjadi pertayaan kemudian adalah bagimana menyikapi perbedaan pemikiran tersebut?Akankah perbedaan tersebut menjadi cikal bakal tumbuhnya konflik internal Umat isalm ataukah menjadi rahmat,sebagaimana hadis Nabi Al-Ikhtilafi Ummati Rahma?

Masih hangat dalam ingatan kita, kasus ‘fatwa mati’ dari ulama Jawa Barat atas Ulil abshor Abdalla yang mencerminkan bahwa perbedaan pemahaman memang benar-benar menjadi titik picu konflik. Begitu juga dengan kasus-kasus yang jauh lebih dulu seperti yang terjadi pada Cak Nur, Ahmad Wahib, dan sebagainya.

Perkembangan lebih lanjut menunjukan bahwa kini ekspresi konflik itu sudah mulai tidak di aktualkan dalam bentuk kekerasan yang riil,tetapi dalam bentuk yang lebih halus dan ‘terselubung’. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari misalnya media-media yang menjadi kendaraan ‘Aliran’ tersebut atau media-media umum lainnaya. Mereka kerap kali mengekpresikan bentuk konflik dengan bahasa yang kasar, menghujat dan saling menghakimi. Hal seperti ini sebenarnya juga akan lebih membahayakan.Ia layaknya bisul yang pada puncak nanti juga akan pecah. Dan, bahkan mengerikan lagi, karena ia menjadi semacam dendam yang terpendam.

Konflik internal seperti ini bahkan juga terjadi di Negara-negara Arab di mana Islam dilahirkan, misalnya kasus pen-takfir-an Muhammad Shahrur karena buku Al-kitab wa al-Quran; Qiraah Mu’ashirah-nya yang controversial itu. Dan begitu juga Nasr Hamid Abu Zayd. Di sinilah kemudian tidak salah lagi bila AN Wilson dalam bukunya Againts Religion;Why we should try yo life without it menyatakan bahwa agama dapat diaggap sebagai terjadinya konflik. Keadaan semacam ini akan lebih mengerikan bila di terus berlarut. Bagaimana Islam bisa ikut membangun peradaban yang rukun dan damai antara agama apabila konflik Internal agama masih saja berkecamuk? Maka perubahan paradigma dalam memandang dan menyikapi perbedaan itulah yang mendesak untuk segera diubah dan tak bisa ditawar-tawar lagi.

***
Al Fahm al-insaniy fi al-islam laisa diinan, begitu kata Muhammad Shaltut dalam al-islam;Aqidah wa syariah. pemahaman manusia tentang Islam (baca Alquran dan Hadis) bukankanlah agama itu tersendiri. Islam adalah wahyu Allah, sedangkan pemahaman manusia tentang Islam adalah kebenaran subjektif dari hasil penangkapannya terhadap pesan wahyu itu.Oleh karena itu,pemahaman itu bersifat non-ilahi, ijitihad dan manusiawi sehingga bisa benar dan bisa salah,atau paling tidak mendekati kesalahan.

Berdasarkan pemikiran diatas, taksidul afkar ad-diniy (penyakralan pemikiran keagamaan) yang melahirkan truth claim sudah sepatutnya dihindari. Dengan meniadakan penyakralan pemikiran inilah sebenarnya kita sedang mengoperasikan ayat fastabiqul khairaat (QS 2;148). Biarkan perbedaan itu muncul dan tak perlu ada penyakralan, yang terpentig adalah bagaimana beragam bentuk ‘aliran’ pemikiran islam itu bisa berlomba-lomba menuju muara khairaat kebaikan.Kebaikan inilah yang mempunyai nilai universal dengan bentuk apapun dan dalam skala besar maupun kecil. Di samping, meniadaakan sikap pen-taqdis-an pemikiran kan menuntut umat umat islam fair,tidak apriori dalam menilai sebuah pemikiran. Hal ini jika dipupuk terus menerus akan mendewasakan umat Islam sendiri. Sikap inilah yang nanti akan membuka peluang bagi tumbuhnya sikap pluralisme internal.

Prof Karel Steenbrink menyakini bahwa kesadaraan pluraslisme internal akan sangat membantu dalam rangka menjalin hubungan antara agama.Pluralisme adalah sikap menghormati keberagaman,menghargai pendapat orang lain (the other) yang berbeda,saling membuka diri dengan warna-warni. Tidak hanya itu,tetapi juga selayaknya dilengkapi sikap mau aling belajar, berbagai dan berdialog secara dewasa (dengan mengurangi penggunaan bahasa yang kasar,bernada menghujat dan berpreteni menghakimi) dalam rangka mencari-meminjam istilah Cak Nur yang diambil dari alquran-kalimantan sawa. Di sinilah letak kelemahan umat islam,mereka lebih suka mempertentangkan perbedaan, tidak menghikmati indahnya persamaan yang bisa melunturkan batas-batas konflikyang tidak perlu.

Sikap pluralisme yang seperti ini sebetulnya sudah diseru di dalam QS 49:13. Bagi penulis, kata lita’arufu adalah konteks sekarang, perlu dimaknai lagi, tidak hanya sebatas sikap berkenalan, tetapi juga sikap pluralis seperti dijelaskan di atas.

Hidup damai dan rukun,tanpa adanya konfrontasi adalah cita-cita insan. Tidak satu manusia ingin hidup dalam keadaan berkonflik, jika memang ada, dia tidak ada lagi manusia murni,tetapi manusia yang terbungkus oleh nafsu mau menang dan benar sendiri tanpa memedilulikan orang lain.Seseorang yang seperti ini tak ubahnya sudah mencoba menandingi Tuhan.

Cita-cita setiap insan untuk hidup damai dan rukun tidak hanya akan impian belaka apabila paradigma berpikir dalam menyikapi perbedaan pemahaman tersebut tidak diubah dan didekonstruksi dengan paradigma baru seperti diatas.

Kiranya dengan mewujudkan kesadaran pruralisme internal yang kemudian di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita setiap insan untuk hidup damai akan lebih mudah tercapai. Terwujudnya pluralisme internal ini sangat berimplikasi bagi ekseleresi pembentukan pluralisme antaragama.Tanpa adanya wujud praktis dalam mengekspresikan pluralisme diskusi,dan wacana pluralisme tak akan berimbas apa pun dalam kehidupan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar