SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil: Spritual Agama yang palsu

Spritual Agama yang palsu

Dimuat di Media Indonesia, 6 Januari 2004.

Tulisan Benny Ridwan dengan tajuk Ketika Agama menjadi Komoditas (Solopos, 27/6) sangat menarik untuk diapresiasi lebih lanjut dan digemakan kembali, sekalipun konstruksi gagasannya sudah tidak asing lagi. Minimal tulisan itu bisa berfungsi sebagai Menyambut Ijtihad Fikih Lintas Agama.

Seorang filosof dan teolog asal India, J Krishnamurti, dalam bukunya Think of These Things menegaskan dengan bahasa yang sangat elegan bahwa “to be religious is to be sensitive to the reality”. Kalimat ini seolah menjadi sebuah definisi yang pas untuk mengukur tingkat religiusitas seseorang. Ukuran religius itu bertumpu pada frase to be sensitive to the reality, menjadi sensitif (peka) terhadap kenyataan (realitas). Realitas itu bisa berupa realitas sosial, politik, ekonomi bahkan realitas pluralisme agama, yang konon akhir-akhir ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya bermacam konflik.

Pluralisme agama sudah menjadi realitas mutlak dan tak terbantahkan lagi di hadapan kita. Pluralisme agama ini akan menjadi biang keladi permusuhan yang berbasis teologi, jika sensitivitas terhadapnya tidak dibangun kukuh sejak dini. Sensitivitas yang dimaksud adalah bagaimana mengelola pluralisme itu agar menjadi semacam kemesraan -dialog keberagaman yang kondusif, inklusif, dan progresif. Dari sinilah gagasan fikih lintas agama sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan fikih lintas agama mengoperasikan sensitivitas terhadap realitas pluralisme keagamaan seperti yang ada di Indonesia.

Maka, tidak diragukan lagi, bahwa fikih lintas agama merupakan terobosan pemikiran (intellectual quantum) yang sangat religius. Sehingga, tulisan Zuhairi Misrawi dengan tajuk 'Perlunya Fikih Lintas Agama' (Media Indonesia , 16/1/04) yang coba mengampanyekan gagasan fikih lintas agama perlu disambut dengan antusiasme yang tinggi.

***

Agama, bagi pemeluknya diyakini sebagai seperangkat nilai abstrak yang mempunyai kebenaran absolut (absolute truth) secara teologis. Seperangkat nilai-nilai abstrak itu diambil dari sumber primer keagamaan, yakni teks suci Alquran dan Hadis. Sedangkan bentuk aplikatif seperangkat nilai abstrak itu diterjemahkan melalui syariat dan dijabarkan melalui fikih. Yakni dengan cara menyusun pemikiran hukum (istinbath hukmi min al-adillah) dari teori-teori hukum yang sudah ada (ushul fiqh), dan sudah disistematisasi dalam bentuk qowaidul al-fiqhiyyah.

Dari sini, diambil bentuk akhir keputusan hukum keagamaan. Intervensi akal -sebagai anugerah tertinggi yang diberikan Tuhan- sangat mendominasi dalam proses pembentukan hukum. Sedangkan cara berpikir (paradigm) dalam mengambil keputusan hukum itu juga sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh realitas yang ada; latar belakang sosio-kultural, politik, dan sebagainya. Sehingga, tatkala realitas yang melatarbelakanginya mengalami perubahan, maka logisnya, hukum keagamaan yang diputuskan juga mengalami perubahan pula. Di sinilah letak dinamika hukum Islam yang mampu melakukan kreativitas dan modifikasi dalam menyesuaikan dirinya terhadap realitas yang muncul.

Sekali lagi, perbedaan hasil hukum yang muncul tidak akan lepas dari pengaruh realitas yang melatarbelakanginya. Misal, hasil hukum yang diputuskan Imam Syafi'i melalui ijtihadnya akan terasa berbeda dibanding dengan hasil hukum yang diputuskan oleh Imam Hanbali, begitu juga dengan imam-imam fikih lainnya. Uniknya, mereka, para imam fikih masih tetap sangat menghormati satu sama lainnya, tanpa terjebak pada, meminjam istilah F Budi Hardiman, heterofobia, takut akan keberagaman. Jika disimak dengan saksama, sayangnya, selama ini tradisi nalar berpikir keberagamaan kita masih fikih klasik-minded. Fikih klasik-minded ini berujung pada, meminjam istilah Kuntowijoyo, ideolatry (pemujaan gagasan), tanpa dibekali kesadaran kritis. Akibatnya, fikih dianggap sebagai hasil hukum yang final, tidak bisa diganggu gugat dan sejajar dengan firman Tuhan.

Sikap ideolatry ini, cepat atau lambat akan menggiring pemikiran keislaman ke arah kemacetan berpikir dan tidak sensitif terhadap realitas, di samping terjangkit sindrom heterofobia. Padahal, kalau dilihat dari proses pengambilannya, fikih itu sendiri adalah hasil ijtihad manusia, yang bisa 'salah', karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa (al-insanu makhalul khatha' wa nisyan).

Meskipun begitu, harus segera dicatat bahwa hasil ijtihad itu juga punya kemungkinan benar. Boleh jadi, sebuah produk hukum benar untuk periode waktu dan skala tempat tertentu, tetapi salah (baca: kurang tepat) untuk periode waktu dan skala tempat yang lain. Maka tidak salah jika ijtihad tetap dibutuhkan kapan dan di mana saja demi menemukan momentum kebenaran bersama. Kitab-kitab fikih klasik yang notabene merupakan hasil ijtihad ulama terdahulu juga tidak lepas dari pengaruh realitas saat itu.

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kitab-kitab fikih klasik itu dibuat, di antaranya dalam keadaan ketika hubungan Islam dan non-Islam tidak kondusif karena menghadapi Perang Salib. Dan pada saat yang sama persatuan umat Islam sedang terancam disintegrasi, sehingga yang dibutuhkan adalah strategi pencarian identitas diri Islam. Pada saat itulah produk fikih cenderung mementingkan keperluan umat Islam sendiri dan memandang sebelah mata terhadap nonmuslim. Tanpa memedulikan visi ke depan dalam membangun hubungan antaragama yang lebih baik.

Sedangkan kita tahu realitas sekarang sudah mulai berubah total. Hubungan antaragama yang baik dalam rangka menciptakan peradaban dunia yang menghargai keragaman agama (dan proses keberagamaan manusia) sangat mendesak untuk dilakukan, karena konflik antaragama sudah banyak meminta korban. Salah satu caranya adalah dengan mengubah paradigma fikih klasik, yang memandang nonmuslim sebelah mata dengan paradigma fikih baru lintas agama. Yakni fikih yang memberikan perhatian khusus terhadap hubungan antaragama dengan semangat pluralisme seperti perkawinan antaragama, doa bersama nonmuslim, mengucapkan selamat Natal, mengucapkan salam kepada nonmuslim, pembolehan nonmuslim masuk masjid, waris kepada keluarga nonmuslim serta persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan umat Islam dengan agama lain.

Yang jelas, sebagaimana diungkapkan oleh Kautsar Azhari Noer -salah seorang kontributor dalam buku Fikih Lintas Agama- fikih lintas agama, sebagai upaya ijtihad, masih tetap berpegang pada watak asli Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kedamaian, yakni kemaslahatan. Dan kemaslahatan inilah yang dijadikan prinsip dalam pengambilan hukum fikih yang berkaitan dengan hubungan antaragama. Oleh karena itu, seiring dengan perubahan realitas zaman yang menuntut perubahan ke arah terciptanya peradaban dunia yang damai, wacana fikih lintas agama, sebagai wujud sensitivitas agama terhadap realitas, sangat penting untuk diperhatikan tanpa harus terjebak pada ideolatry. Tentu saja, semangat yang dikedepankan dalam mengembangkan fikih lintas agama ini adalah sikap senantiasa kritis-konstruktif, bahkan terhadap kemungkinan produk fikih lintas agama itu sendiri. Mengingat, sebagian gagasan fikih lintas agama masih melahirkan pro-kontra. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar