Dimuat di Majalah Majemuk Edisi 30, Januari-Februari 2008.
Kumpulan para ulama itu berawal dari sebuah konferensi. Tanggal 30 September hingga 4 Okober 1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan sebuah konferensi. Konferensi tersebut digagas untuk membentuk sebuah majlis ulama. Sebuah majlis yang berfungsi memberikan fatwa.
Mula-mula gagasan muncul dari sebuah makalah yang dipresentasikan oleh Ibrahim Hosen (Rektor Institut Ilmu al-Qur’an) yang mengutip keputusan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah (Cairo, 1964) tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu, dengan keras menolak gagasan tersebut, terutama mengenai pelibatan sarjana sekuler dalam ijtihad kolektif.
Akhirnya, sebagai ganti gagasan itu, Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasihat kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia. Karena kontroversi, maka tak ada keputusan membentuk sebuah majlis. Singkatnya, konferensi tersebut hanya merekomendasikan bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali kemungkinan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Selama empat tahun berikutnya, rekomendasi ini tidak diperhatikan lagi.
Tahun 1974, Pusat Dakwah Islam kembali menyelenggarakan konferensi untuk para Dai. Konferensi menyimpulkan pentingnya pendirian majlis ulama dan merekomendasikan para ulama di setiap tingkat provinsi harus mendirikan sebuah majlis ulama. Kesepakatan ini disetujui setelah mendapat dukungan dari Presiden Soeharto. Soeharto menyatakan pentingnya sebuah badan ulama bagi sebuah negara untuk menghadirkan muslim dalam kehidupan antarumat beragama.
Pada tanggal 24 Mei 1975, lagi-lagi Presiden Soeharto menekankan pentingnnya sebuah majlis setelah menerima kunjungan dari utusan Dewan Masjid Indonesia. Kemudian, Menteri Dalam Negeri Letnan Jendral Amir Machmud menginstruksikan semua Gubernur untuk mulai menirikan majlis ulama. Akhirnya, tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah konferensi ulama nasional. Pesertanya terdiri dari wakil majlis ulama daerah yang baru berdiri, pengurus pusat organisasi Islam, sejumlah ulama independent dan empat wakil dari ABRI. Di sini ada sebuah deklarasi. Lima puluh tiga peserta menandatanganinya pada akhir acara. Diumumkanlah pendirian kumpulan para ulama itu dengan sebutan MUI. Sayangnya, tidak semua segmen masyarakat muslim setuju dengan majlis ini. Buktinya, pada saat inagurasi MUI masih ada protes.
Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak pendirian sebuah majlis, menjadi Ketua Umum MUI pertama kali (1975-1981). Dalam makalahnya pada tahuan 1970 di sebuah konferensi itu Buya Hamka khawatir: “Jika majlis atau institusi fatwa dibentuk, jelas akan ada pengaruh dari salah satu partai Islam—sebuah partai yang pada saat itu menguasai Departeman Agama--untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagai taktik politik, akan direkrutlah anggota-anggota majlis dari kelompok lain, yang biasanya tidak memiliki dukungan resmi (sebagai wakil dari kelompok tersebut). Jadi, dalam kenyataannya, majlis semacam itu akan memberikan fatwa hanya dari sisi partai politik tersebut. Oleh karena itu, yang untung hanya orang-orang partai itu, ketimbang semua muslim.”
Menteri Agama pada saat itu, 1970, K.H. Mohamad Dahlan dari partai Nahdlatul Ulama juga sempat menyinggung (salah satu patai Islam tersebut). Namun, tahun 1975 Mukti Ali menjadi Menteri Agama, sosok muslim modern dan Muhammadiyah. Hamka, yang juga Muhammadiyah dan lebih suka pada ke-modernis-an Mukti Ali ketimbang pertimbangan ke-NU-an seorang tokoh, ikut mendukung pendirian MUI pada tahun 1975. Pada saat ini, ada ketegangan antara NU dan Muhammadiyah. NU merasa orang-orang modernis terlalu liberal. Sebaliknya, Muhammadiyah mengklaim bahwa NU telah terjebak dalam kubangan bid’ah.
Hamka memberikan dua alasan atas penerimaan jabatan ketua umum MUI. Pertama, umat Islam harus bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto, sebab pemerintahan Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI harus bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat Islam.
Di sini berawallah MUI di-set up oleh pemerintah untuk membentuk sebuah majlis ulama dari berbagai organisasi untuk menyelesaikan berbagai problek keislaman. Meskipun pemerintah juga mempertimbangkan pendapat-pendapat dari organisasi Islam lainnya, pemerintah cenderung menangguhkan atau hanya menggunakan pendapat MUI saja sebab MUI sudah dianggap sebagai representasi semua organisasi Islam. Fungsi MUI hanyalah sebagai penasihat, tidak diperbolehkan membuat program-program yang praktis. Batasan ini diungkapkan oleh Presiden Soeharto sendiri pada acara pembukaan Konferensi Ulama Nasional Pertama 21 Juli 1975. MUI tidak boleh terlibat dalam program-program praktis seperti mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ormas-ormas Islam, dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Namun Kafrawi Ridwan, Sekertaris Umum MUI pertama, menyatakan bahwa batasan tersebut usulkan sendiri oleh ulama dengan alasan kekawatiran MUI nanti bisa menjadi rival pemerintah. Dalam anggaran dasar MUI, peran majlis ditetapkan sebagai pemberi fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun masyarakat muslim berkaitan dengan persoalan yang berkaitan dengan agama khususnya dan persoalan yang berkaitan yang dihadapi negara pada umumnya. MUI juga diharapkan mampu menyemangi persatuan di antara umat Islam, memediasi antara pemerintah dan ulama dan mewakili muslim dalam mengambil keputusan-keputusan antar agama. Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, menyatakan bahwa MUI berfungsi sebagai pengawas (wacthdog) bahwa tidak ada hukum dalam negara ini yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun semenjak 1990, batasan tersebut berubah. MUI secara bertahab menyenggarakan program-program yang praktis, seperti mengirimkan para dai ke wilayah-wilayah transmigrasi, mendirikan Bank Mu’amalah Indonesia dan Badan Arbitrasi Kasus-kasus Mu’amalah, mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika LP-POM, yang telah memberikan sertifikasi halal untuk makanan baik produk dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sertifikat halal ini memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Sebab masyakat tidak mau mengkonsumsi produk yang tidak memiliki sertifikat atau stempel halal dari MUI. Sejumlah cabang perusahaan makanan mendesak agar segera diberi sertifikat halal. KFC Restaurant di Bukitinggi misalnya, di awal grand opening hanya meraup sedikit pelanggan saja, sebab pihak menagemen Restauran lupa meminta label halal. Namun setelah label halal diberikan, jumlah pelanggan meningkat. Padahal, pada saat itu Direktur Pengawas Makanan dari Kementerian Kesehatan, Ading Suryana sudah mengusulkan agar sertifikasi halal itu diberikan bukan dari organisasi swasta tetapi Menteri. Mungkin beliau khawatir ada semacam ‘politisasi dan komoditisasi’ label halal.
ORANG-ORANG MUI
Ketua Umum kedua MUI adalah K.H. Syukri Ghozali (1981-1985), seorang kyai NU lahir pada tahun 1906 yang terkenal dengan keramahan dan keluasan ilmu syari’ahnya. Beliau pernah menjadi Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Syarifhidayatullah. Ketua Umum ketiga adalah K.H. Hasan Basri (1985-1998) seorang Da’i kondang dan Imam masjid al-Azhar Jakarta. Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan universitas dan memulai karirnya dari Muhammadiyah dan Masyumi. Ketua Umum keempat adalah K.H. Muhammad Ali Yafie (1998-2000), seorang profesor dari Institute Ilmu al-Qur’an Jakarta dan setelah itu hingga kini kini ketua umum MUI dijabat oleh K.H. Sahal Mahfudz seorang ahli fikih yang juga mendapat gelar doktor honoris causa.
Dari kelima ketua umum tersebut, paling tidak ada tiga kesamaan. Pertama, tak seorangpun dari mereka pernah mengenyam bangku universitas. Kedua, Hamka, Ali Yafie dan Sahal Mahfudz mendapatkan gelar doktor atau sederjat profesor dari sejumlah universitas. Ketiga, semua berasosiasi dengan, baik Muhammadiyah maupun NU.
MUI memiliki sebuah komisi khusus untuk mendiskusikan terlebih dahulu sebelum memberikan fatwa. Komisi ini pertama kali tahun 1975 memiliki tujuh anggota. Jumlah ini selalu naik turun karena kematian atau pergantian anggota. Ketua Komisi Fatwa pertama kali adalah K.H. Syukri Ghazali. Pada tahun 1981-2000 ketua komisi fatwa ini dipegang oleh Ibrahim Hosen. Menurut Atho Mudzhar, dia terkenal liberal danseorang alim yang akomodatif. Hosen pernah mengusulkan pembolehan meminum bir dan dia adalah ulama Indonesia pertama yang membolehkan hakim perempuan. Dari tahun 2000 hingga kini, ketua komisi fatwa dipegang oleh K.H. Amin Ma’ruf, seorang alim tradisional dengan latar pendidikan pesantren lokal.
Ada yang menarik dari latar belakang dan kualifikasi anggota komisi fatwa. Anggota-anggota tersebut dari tahun 1975-2010 adalah yang profesor: Ibrahim Hosen, Ali Mustafa Yaqub, Huzaemah Tahido Yanggo, Muhammad Amin Suma, Asymuni Abdurrahman, Peunoh Daly, Ismail Yakub, Prof. Drs. H. Acep Djazuli, Prof. DR. H. Hasanuddin AF., MA, Prof DR H.A. Qodri Azizi, MA, Prof. DR. H.M. Daud Rasyid, MA .Yang lulusan pascasarjana, baik S2 maupun S3: Said Aqil Husen al-Munawwar, Ahmad Munif Suratmaputra, Fathurrahman Djamil, Nurmahmudi Ismail, Satria Effendi M. Zein, M. Atho Mudzhar, H. Muslim Nasution, M. Anwar Ibrahim, Masyhuri Said, Nahrawi Abdus Salam, K. H. Irfan Zidni, MA, H. Mas'adi Sulthoni, MA, H. Abd Wahid Alwi, MA, Dr. Dr. Isnawati Rais, Hj. Faizah, MA, Maria Ulfah, Mursyidah Thahir, Hj. Muslihah Syukri, MA Muardi Chatib, Drs. Hasanuddin, M.Ag, Drs. H. Asrorun Ni’am Sholeh, M.Ag. Drs. H.A. Fattah Wibisono, MA, Drs. Sopa, MA Drs. H. Zafrullah Salim, SH., M.Hum, Drs. Aminuddin Ya’cub, MA, H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.,MA. Yang lulusan sarjana S1 adalah: Masdar Farid Mas’udi, Nahar Nahrawi, Aisyah Aminy. Drs. K. H. Hafiz Usman, Drs. H. Chozin Chumaidi Drs. H. Ali Zardjas, SH, Drs. KH. Sholeh Harun Drs. K.H. Ghazalie Masroeri Drs. H. Nahar Nahrowi, Drs. H. Asnawi Latief, Lain-lain: Tubagus Hasan Basri, Tengku M. Saleh, K.H. Maruf Amin, Amirudin Azis, Muctar Luthfie El-Anshory, OK. Abdul Azis, Djazuli Wangsaputra, H. M. D. Cholid, Syukri Ghozali, Nurdjannah Said, K.H. Tb. Hasan Basri, KH. Ahmad Suhaili, KH. Yakub Lubis dan KH. Muhammad Sofwan Kosasih.
Kalau dilihat daftar nama-nama tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pertama, keanggotaan komisi fatwa memasukkan orang-orang akademis dan ulama tradisional yang qualified dan kalangan pesantren. Kedua, kebanyakan mereka alumni universitas-universitas Timur Tengah. Sisanya alumni IAIN dan IIQ. Hanya sedikit yang lulusan dari universitas Barat, misalnya Nur Mahmudi Ismail dan M. Atho Mudzhar. Ketiga, ada sembilan anggota perempuan dalam komisi ini, sebuah proporsi yang tinggi ketimbang proporsi perempuan di NU dan Muhammadiyah. Keempat, kebanyakan dari mereka berafiliasi dengan organisasi Islam tidak hanya NU dan Muhammadiyah tetapi organisasi lainnya seperti, Al-Irsyad, Perti dan lain-lain dan terakhir, dari nama-nama yang menyandang berbagai title kesarjanaan dan budaya (Kyai), kiranya dapat dipastikan bahwa mereka memang expert di bidang Hukum Islam, al-Qur’an, Hadis dan Teologi Islam.
Namun, mungkinkah kita mengajukan sebuah pertanyaan seperti ini: “Apakah expert di bidang Hukum Islam, al-Qur’an, Hadis dan Teologi Islam cukup memberikan bekal kepada mereka untuk menfatwakan sesuatu yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan ditengan kompleksitas masalah bangsa ini?“ Bukankah melengkapi ilmu-ilmu tersebut dengan ilmu-ilmu humaniora sebagai alat analisis seperti sosiologi dan antropologi dan psikologi menjadi semacam kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan persoalan keagamaan di tengah masyarakat yang plural?
Fatwa, wajib diikuti atau tidak
Fatwa merupakan merupakan sumber berharga bagi sejarah sosial. Fatwa sebagai produk interaksi antara mufti dan lingkungan sosio-politik dan budaya mengisahkan banyak hal dalam masyarakat muslim. Singkatnya, meskipun berharga, fatwa tetaplah produk ijtihad manusia.
K.H. Totoh Abdul Fatah (Ketua MUI Jawab Barat tahun 1998) mengatakan bahwa fatwa MUI wajib diikuti. Ulama-ulama MUI adalah ulama senior yang memiliki otoritas keagamaan. Jadi semua umat Islam Indonesia harus mengikuti fatwa MUI.
Berbeda dengan K.H. Totoh Abdul Fatah, Ibrahim Hosen (yang pada saat itu menjabat ketua komisi fatwa), menyakini bahwa tidak ada kewajiban untuk mengikuti mazhab hukum Islam atau fatwa tertentu baik dari seorang ulama maupun kelompok. Masyarakah Islam bebas untuk mengambil fatwa yang sesuai dengan mereka. Berdasarkan pada prinsip al-maslahah al-‘ammah, Hosen berpendirian bahwa setiap muslim memiliki hak untuk memilih dan menentukan fatwa mana yang terbaik. Sebab dengan begitu akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, masalahnya bukanlah pada senioritas dalam otoritas agama melainkan hak individu dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Kini masyarakat muslim sudah dihadapkan pada pasar bebas hukum Islam (Free Market of Islamic Jurisprudence). Seratus persen hak untuk memilih dan menentukan ada pada mereka.
Kumpulan para ulama itu berawal dari sebuah konferensi. Tanggal 30 September hingga 4 Okober 1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan sebuah konferensi. Konferensi tersebut digagas untuk membentuk sebuah majlis ulama. Sebuah majlis yang berfungsi memberikan fatwa.
Mula-mula gagasan muncul dari sebuah makalah yang dipresentasikan oleh Ibrahim Hosen (Rektor Institut Ilmu al-Qur’an) yang mengutip keputusan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah (Cairo, 1964) tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu, dengan keras menolak gagasan tersebut, terutama mengenai pelibatan sarjana sekuler dalam ijtihad kolektif.
Akhirnya, sebagai ganti gagasan itu, Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasihat kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia. Karena kontroversi, maka tak ada keputusan membentuk sebuah majlis. Singkatnya, konferensi tersebut hanya merekomendasikan bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali kemungkinan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Selama empat tahun berikutnya, rekomendasi ini tidak diperhatikan lagi.
Tahun 1974, Pusat Dakwah Islam kembali menyelenggarakan konferensi untuk para Dai. Konferensi menyimpulkan pentingnya pendirian majlis ulama dan merekomendasikan para ulama di setiap tingkat provinsi harus mendirikan sebuah majlis ulama. Kesepakatan ini disetujui setelah mendapat dukungan dari Presiden Soeharto. Soeharto menyatakan pentingnya sebuah badan ulama bagi sebuah negara untuk menghadirkan muslim dalam kehidupan antarumat beragama.
Pada tanggal 24 Mei 1975, lagi-lagi Presiden Soeharto menekankan pentingnnya sebuah majlis setelah menerima kunjungan dari utusan Dewan Masjid Indonesia. Kemudian, Menteri Dalam Negeri Letnan Jendral Amir Machmud menginstruksikan semua Gubernur untuk mulai menirikan majlis ulama. Akhirnya, tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah konferensi ulama nasional. Pesertanya terdiri dari wakil majlis ulama daerah yang baru berdiri, pengurus pusat organisasi Islam, sejumlah ulama independent dan empat wakil dari ABRI. Di sini ada sebuah deklarasi. Lima puluh tiga peserta menandatanganinya pada akhir acara. Diumumkanlah pendirian kumpulan para ulama itu dengan sebutan MUI. Sayangnya, tidak semua segmen masyarakat muslim setuju dengan majlis ini. Buktinya, pada saat inagurasi MUI masih ada protes.
Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak pendirian sebuah majlis, menjadi Ketua Umum MUI pertama kali (1975-1981). Dalam makalahnya pada tahuan 1970 di sebuah konferensi itu Buya Hamka khawatir: “Jika majlis atau institusi fatwa dibentuk, jelas akan ada pengaruh dari salah satu partai Islam—sebuah partai yang pada saat itu menguasai Departeman Agama--untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagai taktik politik, akan direkrutlah anggota-anggota majlis dari kelompok lain, yang biasanya tidak memiliki dukungan resmi (sebagai wakil dari kelompok tersebut). Jadi, dalam kenyataannya, majlis semacam itu akan memberikan fatwa hanya dari sisi partai politik tersebut. Oleh karena itu, yang untung hanya orang-orang partai itu, ketimbang semua muslim.”
Menteri Agama pada saat itu, 1970, K.H. Mohamad Dahlan dari partai Nahdlatul Ulama juga sempat menyinggung (salah satu patai Islam tersebut). Namun, tahun 1975 Mukti Ali menjadi Menteri Agama, sosok muslim modern dan Muhammadiyah. Hamka, yang juga Muhammadiyah dan lebih suka pada ke-modernis-an Mukti Ali ketimbang pertimbangan ke-NU-an seorang tokoh, ikut mendukung pendirian MUI pada tahun 1975. Pada saat ini, ada ketegangan antara NU dan Muhammadiyah. NU merasa orang-orang modernis terlalu liberal. Sebaliknya, Muhammadiyah mengklaim bahwa NU telah terjebak dalam kubangan bid’ah.
Hamka memberikan dua alasan atas penerimaan jabatan ketua umum MUI. Pertama, umat Islam harus bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto, sebab pemerintahan Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI harus bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat Islam.
Di sini berawallah MUI di-set up oleh pemerintah untuk membentuk sebuah majlis ulama dari berbagai organisasi untuk menyelesaikan berbagai problek keislaman. Meskipun pemerintah juga mempertimbangkan pendapat-pendapat dari organisasi Islam lainnya, pemerintah cenderung menangguhkan atau hanya menggunakan pendapat MUI saja sebab MUI sudah dianggap sebagai representasi semua organisasi Islam. Fungsi MUI hanyalah sebagai penasihat, tidak diperbolehkan membuat program-program yang praktis. Batasan ini diungkapkan oleh Presiden Soeharto sendiri pada acara pembukaan Konferensi Ulama Nasional Pertama 21 Juli 1975. MUI tidak boleh terlibat dalam program-program praktis seperti mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ormas-ormas Islam, dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Namun Kafrawi Ridwan, Sekertaris Umum MUI pertama, menyatakan bahwa batasan tersebut usulkan sendiri oleh ulama dengan alasan kekawatiran MUI nanti bisa menjadi rival pemerintah. Dalam anggaran dasar MUI, peran majlis ditetapkan sebagai pemberi fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun masyarakat muslim berkaitan dengan persoalan yang berkaitan dengan agama khususnya dan persoalan yang berkaitan yang dihadapi negara pada umumnya. MUI juga diharapkan mampu menyemangi persatuan di antara umat Islam, memediasi antara pemerintah dan ulama dan mewakili muslim dalam mengambil keputusan-keputusan antar agama. Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, menyatakan bahwa MUI berfungsi sebagai pengawas (wacthdog) bahwa tidak ada hukum dalam negara ini yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun semenjak 1990, batasan tersebut berubah. MUI secara bertahab menyenggarakan program-program yang praktis, seperti mengirimkan para dai ke wilayah-wilayah transmigrasi, mendirikan Bank Mu’amalah Indonesia dan Badan Arbitrasi Kasus-kasus Mu’amalah, mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika LP-POM, yang telah memberikan sertifikasi halal untuk makanan baik produk dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sertifikat halal ini memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Sebab masyakat tidak mau mengkonsumsi produk yang tidak memiliki sertifikat atau stempel halal dari MUI. Sejumlah cabang perusahaan makanan mendesak agar segera diberi sertifikat halal. KFC Restaurant di Bukitinggi misalnya, di awal grand opening hanya meraup sedikit pelanggan saja, sebab pihak menagemen Restauran lupa meminta label halal. Namun setelah label halal diberikan, jumlah pelanggan meningkat. Padahal, pada saat itu Direktur Pengawas Makanan dari Kementerian Kesehatan, Ading Suryana sudah mengusulkan agar sertifikasi halal itu diberikan bukan dari organisasi swasta tetapi Menteri. Mungkin beliau khawatir ada semacam ‘politisasi dan komoditisasi’ label halal.
ORANG-ORANG MUI
Ketua Umum kedua MUI adalah K.H. Syukri Ghozali (1981-1985), seorang kyai NU lahir pada tahun 1906 yang terkenal dengan keramahan dan keluasan ilmu syari’ahnya. Beliau pernah menjadi Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Syarifhidayatullah. Ketua Umum ketiga adalah K.H. Hasan Basri (1985-1998) seorang Da’i kondang dan Imam masjid al-Azhar Jakarta. Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan universitas dan memulai karirnya dari Muhammadiyah dan Masyumi. Ketua Umum keempat adalah K.H. Muhammad Ali Yafie (1998-2000), seorang profesor dari Institute Ilmu al-Qur’an Jakarta dan setelah itu hingga kini kini ketua umum MUI dijabat oleh K.H. Sahal Mahfudz seorang ahli fikih yang juga mendapat gelar doktor honoris causa.
Dari kelima ketua umum tersebut, paling tidak ada tiga kesamaan. Pertama, tak seorangpun dari mereka pernah mengenyam bangku universitas. Kedua, Hamka, Ali Yafie dan Sahal Mahfudz mendapatkan gelar doktor atau sederjat profesor dari sejumlah universitas. Ketiga, semua berasosiasi dengan, baik Muhammadiyah maupun NU.
MUI memiliki sebuah komisi khusus untuk mendiskusikan terlebih dahulu sebelum memberikan fatwa. Komisi ini pertama kali tahun 1975 memiliki tujuh anggota. Jumlah ini selalu naik turun karena kematian atau pergantian anggota. Ketua Komisi Fatwa pertama kali adalah K.H. Syukri Ghazali. Pada tahun 1981-2000 ketua komisi fatwa ini dipegang oleh Ibrahim Hosen. Menurut Atho Mudzhar, dia terkenal liberal danseorang alim yang akomodatif. Hosen pernah mengusulkan pembolehan meminum bir dan dia adalah ulama Indonesia pertama yang membolehkan hakim perempuan. Dari tahun 2000 hingga kini, ketua komisi fatwa dipegang oleh K.H. Amin Ma’ruf, seorang alim tradisional dengan latar pendidikan pesantren lokal.
Ada yang menarik dari latar belakang dan kualifikasi anggota komisi fatwa. Anggota-anggota tersebut dari tahun 1975-2010 adalah yang profesor: Ibrahim Hosen, Ali Mustafa Yaqub, Huzaemah Tahido Yanggo, Muhammad Amin Suma, Asymuni Abdurrahman, Peunoh Daly, Ismail Yakub, Prof. Drs. H. Acep Djazuli, Prof. DR. H. Hasanuddin AF., MA, Prof DR H.A. Qodri Azizi, MA, Prof. DR. H.M. Daud Rasyid, MA .Yang lulusan pascasarjana, baik S2 maupun S3: Said Aqil Husen al-Munawwar, Ahmad Munif Suratmaputra, Fathurrahman Djamil, Nurmahmudi Ismail, Satria Effendi M. Zein, M. Atho Mudzhar, H. Muslim Nasution, M. Anwar Ibrahim, Masyhuri Said, Nahrawi Abdus Salam, K. H. Irfan Zidni, MA, H. Mas'adi Sulthoni, MA, H. Abd Wahid Alwi, MA, Dr. Dr. Isnawati Rais, Hj. Faizah, MA, Maria Ulfah, Mursyidah Thahir, Hj. Muslihah Syukri, MA Muardi Chatib, Drs. Hasanuddin, M.Ag, Drs. H. Asrorun Ni’am Sholeh, M.Ag. Drs. H.A. Fattah Wibisono, MA, Drs. Sopa, MA Drs. H. Zafrullah Salim, SH., M.Hum, Drs. Aminuddin Ya’cub, MA, H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.,MA. Yang lulusan sarjana S1 adalah: Masdar Farid Mas’udi, Nahar Nahrawi, Aisyah Aminy. Drs. K. H. Hafiz Usman, Drs. H. Chozin Chumaidi Drs. H. Ali Zardjas, SH, Drs. KH. Sholeh Harun Drs. K.H. Ghazalie Masroeri Drs. H. Nahar Nahrowi, Drs. H. Asnawi Latief, Lain-lain: Tubagus Hasan Basri, Tengku M. Saleh, K.H. Maruf Amin, Amirudin Azis, Muctar Luthfie El-Anshory, OK. Abdul Azis, Djazuli Wangsaputra, H. M. D. Cholid, Syukri Ghozali, Nurdjannah Said, K.H. Tb. Hasan Basri, KH. Ahmad Suhaili, KH. Yakub Lubis dan KH. Muhammad Sofwan Kosasih.
Kalau dilihat daftar nama-nama tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pertama, keanggotaan komisi fatwa memasukkan orang-orang akademis dan ulama tradisional yang qualified dan kalangan pesantren. Kedua, kebanyakan mereka alumni universitas-universitas Timur Tengah. Sisanya alumni IAIN dan IIQ. Hanya sedikit yang lulusan dari universitas Barat, misalnya Nur Mahmudi Ismail dan M. Atho Mudzhar. Ketiga, ada sembilan anggota perempuan dalam komisi ini, sebuah proporsi yang tinggi ketimbang proporsi perempuan di NU dan Muhammadiyah. Keempat, kebanyakan dari mereka berafiliasi dengan organisasi Islam tidak hanya NU dan Muhammadiyah tetapi organisasi lainnya seperti, Al-Irsyad, Perti dan lain-lain dan terakhir, dari nama-nama yang menyandang berbagai title kesarjanaan dan budaya (Kyai), kiranya dapat dipastikan bahwa mereka memang expert di bidang Hukum Islam, al-Qur’an, Hadis dan Teologi Islam.
Namun, mungkinkah kita mengajukan sebuah pertanyaan seperti ini: “Apakah expert di bidang Hukum Islam, al-Qur’an, Hadis dan Teologi Islam cukup memberikan bekal kepada mereka untuk menfatwakan sesuatu yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan ditengan kompleksitas masalah bangsa ini?“ Bukankah melengkapi ilmu-ilmu tersebut dengan ilmu-ilmu humaniora sebagai alat analisis seperti sosiologi dan antropologi dan psikologi menjadi semacam kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan persoalan keagamaan di tengah masyarakat yang plural?
Fatwa, wajib diikuti atau tidak
Fatwa merupakan merupakan sumber berharga bagi sejarah sosial. Fatwa sebagai produk interaksi antara mufti dan lingkungan sosio-politik dan budaya mengisahkan banyak hal dalam masyarakat muslim. Singkatnya, meskipun berharga, fatwa tetaplah produk ijtihad manusia.
K.H. Totoh Abdul Fatah (Ketua MUI Jawab Barat tahun 1998) mengatakan bahwa fatwa MUI wajib diikuti. Ulama-ulama MUI adalah ulama senior yang memiliki otoritas keagamaan. Jadi semua umat Islam Indonesia harus mengikuti fatwa MUI.
Berbeda dengan K.H. Totoh Abdul Fatah, Ibrahim Hosen (yang pada saat itu menjabat ketua komisi fatwa), menyakini bahwa tidak ada kewajiban untuk mengikuti mazhab hukum Islam atau fatwa tertentu baik dari seorang ulama maupun kelompok. Masyarakah Islam bebas untuk mengambil fatwa yang sesuai dengan mereka. Berdasarkan pada prinsip al-maslahah al-‘ammah, Hosen berpendirian bahwa setiap muslim memiliki hak untuk memilih dan menentukan fatwa mana yang terbaik. Sebab dengan begitu akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, masalahnya bukanlah pada senioritas dalam otoritas agama melainkan hak individu dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Kini masyarakat muslim sudah dihadapkan pada pasar bebas hukum Islam (Free Market of Islamic Jurisprudence). Seratus persen hak untuk memilih dan menentukan ada pada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar