Dimuat di Majalah Majemuk No. 25 Maret April 2007.
“Yang tidak pernah berubah pada mereka hanya satu, Ialah kepentingan mereka untuk menguasaimu”(Emha Ainun Nadjib).
Bagi muslim, al-Qur’an merupakan Magna Carta HAM, yang bagian besar isinya adalah semangat untuk membebaskan manusia dari batas-batas tradisionalisme, otoritarianisme (dalam agama, politik, ekonomi maupun budaya), tribalisme, rasisme, sexisme, perbudakan atau apapun saja yang melarang manusia untuk mengaktualisasikan visi kemananusian al-Qur’an.
Sekurangnya begitulah pernyataan Riffat Hassan dalam bukunya Are Human Beings Compatible with Islam? Hampir dapat dipastikan, semua kitab agama-agama besar di dunia menyerukan semangat yang sama. Pernyataan tersebut cukup menarik untuk direfleksikan ke dalam perkembangan kesadaran beragama di Indonesia.
Pola keberagamaan di Indonesia cukup beragam. Keragaman tersebut tentu lahir dari cara pandang atau penafsiran terhadap sumber otoritatif agama masing-masing. Sudah barang tentu, cara pandang atau petafsiran tersebut tak bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh sosiopolitik dan budaya umat beragama yang melatarinya. Bahkan, tak pelak, cara pandang tersebut juga dipengaruhi oleh ideologi tertentu, yang acap kontraproduktif dengan sumber otoritatif agama itu sendiri.
Dari sinilah bermunculan sikap-sikap warna-warni dalam merespon persoalan-persoalan kehidupan. Ada yang radikal, moderat dan liberal. Munculnya keragaman tersebut merupakan hal wajar dan bisa dimengerti. Yang tidak wajar dan tidak bisa dimengerti adalah jika sikap-sikap tersebut melanggar atau melewati batas-batas hak asasi manusia.
Padahal, agama dan HAM sejatinya berjalan seiririn. Landasan semangat membebaskan, sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam tradisi ushul fikih seringkali disebut mashlahah, kebaikan bagi umat manusia. Di sinilah, mashlahah menjadi landasan pokok atau pertimbangan utama dalam mengambil sikap dan tindakan. Pertimbangan utama ini (mashlahah), oleh kalangan ahli hukum Islam, kemudian di rinci ke dalam lima pokok (al-Kulliyah al-Khamsah).
Al-Kulliyah al-Khamsah terdiri dari hifd al -Din (menjaga agama), hifd an-Nafs (menjaga nyawa), hifd al-Aql (menjaga akal), hifd al-Mal (menjaga harta), hifd an-Nasab (menjaga keturunan). Pada hakikatnya, perlindungan tehadap kelima hal inilah yang disebut dengan HAM, seperti dikatakan Khaled Abou el-Fadl, ahli hukum Islam terkemuka, dalam bukunya The Great Theft.
Karen itu, segala sikap, tindakan dan aksi yang menabrak atau bahkan menafikan lima hal tersebut pada dasarnya bertentangan, bak dengan HAM maupun agama.
Ada sebuah ceria. Ini terjadi di negera Islam di Timur Tengah, di mana perempuan diwajibkan bercadar. Laki-laki tidak boleh melihat wajah perempuan kecuali muhrimnya. Suatu saat terjadilah kebakaran di sebuh gedung bertingkat sekolah menengah yang semua muridnya dan gurunya perempuan. ada beberapa petugas keamanaan laki-laki dan beberapa staf administrasi laki-laki lainnya yang tengah berjaga di sana.
Jago merah mengamuk begitu cepat. Ironisnya, semua laki-laki di gedung itu menyelamatkan diri sendiri tanpa berupaya menyelamatkan perempuan-perempuan yang menjadi korban di dalam gedung tersebut. Dengan alasan perempuan-perempuan itu bukan muhrim, agama melarang menyentuhnya. Akhirnya, sebagian besar perempuan di dalam gedung tersebut tewas terpanggang.
Bisakah tindakan mereka (kaum laki-laki) yang mengatasnamakan agama tersebut dibenarkan? Tentu tidak.
Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia. Fenomena keberagamaan yang terjadi di Tanah Air belakangan ini adalah pengatasnamaan agama untuk melakukan tindakan dan aksi yang melanggar HAM. Dalam dasawarsa terakhir ini, misalnya kecenderungan tersebut tampak begitu masif. Deretan kasus bisa dijadikan contoh, tidak perlu disebutkan satu persatu. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Hemat penulis, sebenarnya mereka yang melakukan tindakan dan aksi kekerasan tersebut tidak semestinya mengklain tindakannya dengan atas nama agama. Bagaimana tindakan tersbut bisa dianggap mengatasnamakan agama, jika tindakan itu tidak dilakukan demi menjaga nyawa, harta, agama, akal dan keturunan seseorang atau kelompok tertentu—sebagaimana digariskan oleh maqasid syari’ah?
Kiranya sudah jelas, hal itu dilakukan bukan atas nama agama, melainkan atas nama ideologi atau kepentingan tententu. Tak dapat dipungkiri, dalam ideologi dan kepentingan macam itu terselubung upaya-upaya memelintir sumber otoritatif agama yang darinya diperoleh pemahaman yang cenderung membenarkan pandangan sempit kelompoknya. Sebab disadari bersama bahwa sejak awal agama apa pun tidak membenarkan berlakunya tindakan dan aksi yang melanggar HAM.
Apabila cara pandang ideologis semacam ini masih begiotu subur dan dipelihara, jangan harap akan tercipta tatanan yang harmonis dalam keberagamaan di Indonesia. Sebab dengan berkembangnya ideologi yang demikian ini, satu kelompok keagamaan akan berjuang menguasi kelompok lainnya, laiknya mata rantai yang terus berputar siklikal. Sebuah pusaran yang belum akan berhenti hingga “kepentingan mereka untuk menguasai” tercapai.
“Yang tidak pernah berubah pada mereka hanya satu, Ialah kepentingan mereka untuk menguasaimu”(Emha Ainun Nadjib).
Bagi muslim, al-Qur’an merupakan Magna Carta HAM, yang bagian besar isinya adalah semangat untuk membebaskan manusia dari batas-batas tradisionalisme, otoritarianisme (dalam agama, politik, ekonomi maupun budaya), tribalisme, rasisme, sexisme, perbudakan atau apapun saja yang melarang manusia untuk mengaktualisasikan visi kemananusian al-Qur’an.
Sekurangnya begitulah pernyataan Riffat Hassan dalam bukunya Are Human Beings Compatible with Islam? Hampir dapat dipastikan, semua kitab agama-agama besar di dunia menyerukan semangat yang sama. Pernyataan tersebut cukup menarik untuk direfleksikan ke dalam perkembangan kesadaran beragama di Indonesia.
Pola keberagamaan di Indonesia cukup beragam. Keragaman tersebut tentu lahir dari cara pandang atau penafsiran terhadap sumber otoritatif agama masing-masing. Sudah barang tentu, cara pandang atau petafsiran tersebut tak bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh sosiopolitik dan budaya umat beragama yang melatarinya. Bahkan, tak pelak, cara pandang tersebut juga dipengaruhi oleh ideologi tertentu, yang acap kontraproduktif dengan sumber otoritatif agama itu sendiri.
Dari sinilah bermunculan sikap-sikap warna-warni dalam merespon persoalan-persoalan kehidupan. Ada yang radikal, moderat dan liberal. Munculnya keragaman tersebut merupakan hal wajar dan bisa dimengerti. Yang tidak wajar dan tidak bisa dimengerti adalah jika sikap-sikap tersebut melanggar atau melewati batas-batas hak asasi manusia.
Padahal, agama dan HAM sejatinya berjalan seiririn. Landasan semangat membebaskan, sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam tradisi ushul fikih seringkali disebut mashlahah, kebaikan bagi umat manusia. Di sinilah, mashlahah menjadi landasan pokok atau pertimbangan utama dalam mengambil sikap dan tindakan. Pertimbangan utama ini (mashlahah), oleh kalangan ahli hukum Islam, kemudian di rinci ke dalam lima pokok (al-Kulliyah al-Khamsah).
Al-Kulliyah al-Khamsah terdiri dari hifd al -Din (menjaga agama), hifd an-Nafs (menjaga nyawa), hifd al-Aql (menjaga akal), hifd al-Mal (menjaga harta), hifd an-Nasab (menjaga keturunan). Pada hakikatnya, perlindungan tehadap kelima hal inilah yang disebut dengan HAM, seperti dikatakan Khaled Abou el-Fadl, ahli hukum Islam terkemuka, dalam bukunya The Great Theft.
Karen itu, segala sikap, tindakan dan aksi yang menabrak atau bahkan menafikan lima hal tersebut pada dasarnya bertentangan, bak dengan HAM maupun agama.
Ada sebuah ceria. Ini terjadi di negera Islam di Timur Tengah, di mana perempuan diwajibkan bercadar. Laki-laki tidak boleh melihat wajah perempuan kecuali muhrimnya. Suatu saat terjadilah kebakaran di sebuh gedung bertingkat sekolah menengah yang semua muridnya dan gurunya perempuan. ada beberapa petugas keamanaan laki-laki dan beberapa staf administrasi laki-laki lainnya yang tengah berjaga di sana.
Jago merah mengamuk begitu cepat. Ironisnya, semua laki-laki di gedung itu menyelamatkan diri sendiri tanpa berupaya menyelamatkan perempuan-perempuan yang menjadi korban di dalam gedung tersebut. Dengan alasan perempuan-perempuan itu bukan muhrim, agama melarang menyentuhnya. Akhirnya, sebagian besar perempuan di dalam gedung tersebut tewas terpanggang.
Bisakah tindakan mereka (kaum laki-laki) yang mengatasnamakan agama tersebut dibenarkan? Tentu tidak.
Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia. Fenomena keberagamaan yang terjadi di Tanah Air belakangan ini adalah pengatasnamaan agama untuk melakukan tindakan dan aksi yang melanggar HAM. Dalam dasawarsa terakhir ini, misalnya kecenderungan tersebut tampak begitu masif. Deretan kasus bisa dijadikan contoh, tidak perlu disebutkan satu persatu. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Hemat penulis, sebenarnya mereka yang melakukan tindakan dan aksi kekerasan tersebut tidak semestinya mengklain tindakannya dengan atas nama agama. Bagaimana tindakan tersbut bisa dianggap mengatasnamakan agama, jika tindakan itu tidak dilakukan demi menjaga nyawa, harta, agama, akal dan keturunan seseorang atau kelompok tertentu—sebagaimana digariskan oleh maqasid syari’ah?
Kiranya sudah jelas, hal itu dilakukan bukan atas nama agama, melainkan atas nama ideologi atau kepentingan tententu. Tak dapat dipungkiri, dalam ideologi dan kepentingan macam itu terselubung upaya-upaya memelintir sumber otoritatif agama yang darinya diperoleh pemahaman yang cenderung membenarkan pandangan sempit kelompoknya. Sebab disadari bersama bahwa sejak awal agama apa pun tidak membenarkan berlakunya tindakan dan aksi yang melanggar HAM.
Apabila cara pandang ideologis semacam ini masih begiotu subur dan dipelihara, jangan harap akan tercipta tatanan yang harmonis dalam keberagamaan di Indonesia. Sebab dengan berkembangnya ideologi yang demikian ini, satu kelompok keagamaan akan berjuang menguasi kelompok lainnya, laiknya mata rantai yang terus berputar siklikal. Sebuah pusaran yang belum akan berhenti hingga “kepentingan mereka untuk menguasai” tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar