SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil: Menyempurnakan Agama Lagi ?

Menyempurnakan Agama Lagi ?

Dimuat di koran Media Indonesia Jumat, 9 Mei 2003.

Ada sebuah keyakinan yang kuat bahwa agama dijadikan sebagai sacred canopy yang sanggup melindungi manusia dari chaos, yakni keadaan hidup tanpa makna (meaningless life). Begitulah sekurang-kurangnya keyakinan Sosiolog Peter L Berger dalam pengantar buku A Rumor of Angles: Modern and Society and Rediscovery of Supranatural. Dengan begitu, agama menjadi semesta simbolik yang penting dan mampu memberikan makna dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, agama tetap masih dibutuhkan sampai kapan pun.

Dari sudut pandang itulah, gagasan Hatim Gazali dalam tulisan bertajuk 'Agama Edisi Revisi' (Media Indonesia, 11/4/2003), yang berupaya untuk merevisi agama yang selama ini dirasa kehilangan nilai dan fungsinya, dapat diamini dan disambut dengan hangat. Upaya ini tidak bisa diremehkan begitu saja, karena pemikiran tersebut menyangkut masa depan agama. Menurut Hatim, hilangnya nilai dan fungsi agama, setidak-tidaknya disebabkan oleh religion abuse (penyalahgunaan agama) yang dilakukan elite penguasa dan elite organisasi keagamaan demi meligitimasi interes 'konyol' mereka. Juga adanya anggapan bahwa agama adalah sekumpulan doktrin yang sudah sempurna dan final yang buntutnya bisa memunculkan pen-taqdis-an (penyakralan) doktrin agama itu sendiri. Padahal, doktrin agama, meskipun itu berasal dari Tuhan yang kebenarannya dijamin, menurut Abdul Karim Soroush --pemikir asal Iran--pemahaman atas doktrin agama masih bersifat relatif dan terbuka bagi interpretasi yang baru (Qira'ah al-Muntijah). Di sinilah keniscayaan untuk 'merevisi' agama menemukan momentumnya.

Alasan-alasan hilangnya nilai dan fungsi agama yang diusung oleh Hatim belumlah dirasa cukup. Agus Hilman dalam tulisannya bertajuk 'Menyempurnakan Agama' (Media Indonesia, 2/5/2003) mencoba meng-cover dua hal yang tidak terjamah oleh pemikiran Hatim, yang menurutnya cukup signifikan. Pertama, dengan melihat adanya penyalahgunaan agama oleh elite politik untuk kepentingan tertentu, maka Agus Hilman menyarankan supaya ada pemisahan antara agama dan politik atau lebih tepatnya kekuasaan. Mengingat 'persetubuhan' antara agama dan kekuasaan acap kali meminta tumbal, tidak hanya materi tetapi juga nyawa. Kedua, kurangnya pemahaman dan penghayatan yang dalam terhadap nilai-nilai agama. Keadaan ini, menurut Hilman, sering kali mengakibatkan pendistorsian dan pereduksian ajaran-ajaran normatif agama yang mengandung ajaran universal; keadilan (justice), kebebasan (freedom), kedamaian (peace), dan persamaan (equality).

Jadi, dari kedua tulisan tadi, dapat disimpulkan bahwa untuk merevisi agama serta menyempurnakannya, maka jalan yang harus ditempuh, pertama, tidak lain dan tidak bukan adalah mensterilkan interes elite yang selama ini dipakai untuk memerkosa dan mendominasi agama. Kedua, harus ada proses desakralisasi doktrin agama, yakni menegaskan pemahaman bahwa doktrin agama masih terbuka untuk dipahami dan diinterpretasi lagi. Ketiga, pemisahan antara agama dan kekuasaan, supaya agama tidak terkotori, dan keempat, menghayati kembali nilai-nilai agama yang telah diinternalisasikan di dalam jiwa pemeluknya.

***

Menyikapi kedua tulisan itu, penulis juga terpancing untuk urun rembuk, menanggapi kedua tulisan tadi. Pertama, harus diakui bahwa percampuradukan dan berjalinkelindannya masalah keagamaan dan kepentingan-kepentingan sosial-kemasyarakatan, termasuk politik, merupakan salah satu persoalan kontemporer yang rumit untuk dipecahkan. Meskipun begitu, tidak berarti kita harus memisahkan di antara keduanya. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya tidak bisa dipisahkan.

Agama adalah ketundukan terhadap Tuhan dalam lambang-lambang kesalehan yang kemudian terwujud dalam komitmennya untuk saling mengasihi sesama di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, termasuk politik. Pemecahannya bukanlah dengan jalan memisahkan keduanya, tetapi memisahkan mana yang merupakan kepentingan agama dan mana yang merupakan kepentingan politik. Hal ini bisa terlaksana apabila ada upaya untuk menghayati kembali nilai-nilai agama, sebagaimana ide kedua yang diusung oleh Agus Hilman.

Kedua, ketika Hatim dan Agus sebelumnya membeberkan beberapa alasan hilangnya nilai dan fungsi agama, maka di sini penulis juga akan menyumbangkan beberapa hal yang tidak disinggung oleh mereka berdua, yakni truth claim dan pluralitas keagamaan. Meskipun kedua hal ini dirasa tidak baru lagi, toh tidak ada salahnya kalau penulis nyalakan apinya,setelah akhir-akhir ini redup oleh terpaan angin Irak dan Inul.

Perlu diingat dan harus diakui, bahwa suburnya sejumlah konflik di berbagai belahan bumi sebagian besar didasarkan pada dan berhubungan dengan sentimen keagamaan. Sentimen keagamaan ini lahir karena adanya klaim kebenaran (truth claim); yakni bahwa 'hanya agamakulah yang benar'. Agama di luar selain agama yang dipeluk seseorang adalah sesat dan menyesatkan. Sikap ini cenderung menolak kebenaran dari pihak lain dengan meyakini ajaran dan keyakinan kelompoknyalah yang paling benar. Dan, bahkan yang mengerikan adalah tampilnya wajah-wajah garang dan menakutkan.

Konsekuensi logis dari sikap ini adalah munculnya lahan subur yang sangat potensial untuk menanamkan benih-benih destruktif, terutama bagi kemunculan fanatisme dan fundamentalisme. Singkatnya, truth claim menjadi daerah rawan yang harus diwaspadai karena diam-diam ia juga ikut berperan dalam melenyapkan nilai-nilai dan fungsi agama. Tidak hanya melenyapkan nilai dan fungsi agama, tetapi bahkan menciptakan agama 'baru' yaitu agama 'fundamentalis' yang kaku dan mengerikan.

Menyadari perlunya 'merevisi' dan menyempurnakan agama, tinjauan ulang atas truth claim menjadi agenda besar kita ke depan. Agenda yang tidak hanya menghangat di ranah wacana keseharian, tetapi juga harus menghangat dalam aksi sosial keseharian. Di sinilah kiranya penting sekali untuk segera mulai
dibangun pemahaman baru yang lebih inklusif (hanif), konstruktif, dinamis, humanis, dan komprehensif terhadap agama-agama lain. Inilah yang penulis maksudkan dengan pluralisme, sebuah usaha pencerdasan keagamaan (religion literacy).

Senada dengan itu, penulis sepakat dengan perkataan Amin Abdullah dalam sebuah acara bahwa to be religious man, you have to be inter-religion. Untuk menjadi manusia yang religius, tak pelak lagi Anda harus juga mempelajari agama lain. Mempelajari agama lain, bukan berarti harus masuk ke dalam agama itu, tetapi mencoba memahami dan mengerti setiap lorong agama, supaya tidak lagi muncul salah paham yang tidak perlu dan memalukan.

Kiranya, dengan menambahkan dua hal, peninjauan kembali terhadap truth claim dan penanaman kesadaran pluralitas agama, di samping keempat hal di atas, peluang untuk merevisi dan menyempurnakan nilai dan fungsi agama, yang selama ini hilang, semakin besar. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar