SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil: Qur’anic Leader

Qur’anic Leader

Dimuat di Bulletin al-Ibrah Pascasarjana IIQ Jakarta, tanggal 5-13 Juni 2007.

Oleh: Hamam Faizin

Huwallahu al-ldzi la ila ha illa huwa ‘alim al-gaib wa as-syahadah
Huwa ar-rahman ar-rahim
Huwa alladzi la ilaha illa huwa
al-malik al-Quddus as-salam al-mukmin
al-muhaimin al-aziz al-jabbar al-mutakabbir
Subahanallahi ‘amma yusyrikun
Huwallahu al-Khaliq al-bari al-Mushawwir lahul asma’ul husna
Yusabbihu lahu ma fi as-samawati wa al-ardi huwa al-aziz al-hakim

Tafsir adalah ilmu untuk memahami ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an berdasarkan kadar intelektual manusia (bi qadri taqati basyariyah). Ada dua ‘gerak’ yang menjadi orientasi tafsir. Pertama, tafsir pada umumnya berangkat dari teks al-Qur’an. Ada teks al-Qur’an kemudian ditafsirkan dengan menggunakan beragam perangkat dan gaya. Tak jarang juga kemudian dikontekstualisasikan dengan wacana yang berkembang saat itu. Gerak ini jamak dijumpai di kitab-kitab tafsir periode klasik, pertengahan bahkan juga kontemporer.

Kedua, tafsir yang berangkat dari realitas, kemudian baru merujuk pada teks al-Qur’an. Gerak ini terjadi akhir-akhir ini beriringan dengan banyaknya persoalan yang muncul. Misalnya, dalam realitas terjadi poligami, orang ramai-ramai merujuk ayat-ayat poligami dan menafsirkannnya. Terbitlah buku-buku kecil tentang tafsir poligami. Realitas ribut dengan isu pluralisme, multikulturalisme dan liberalisme, orang ramai-ramai mencari-cari ayat tentang isu-isu tersebut, dan seterusnya dan seterusnya. Di sinilah terjadi Shifting Paradigm (pergeseran paradigma). Pergerseran dari “teks ke realitas” ke “realitas ke teks”.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas wacana ini. Tulisan ini hanya mencoba melakukan ‘penafsiran’ (kalau seandainya ini dianggap sebagai tafsir) dengan gerak kedua. Yakni mencoba melihat realitas yang ada dan kemudian mencarikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jawaban atas realitas tersebut.

***

Sekarang realitas sedang ramai dengan sosok pemimpin. Mengingat sekarang lagi ramai dibicarakan soal PILKADA (bukan PILKADAL/pemilihan kepala daerah secara langsung). Realitas menuntut pemimpin yang ideal atau paling tidak mendekati ideal untuk menciptakan sebuah tata nilai yang baik.

Realitas menuntut adanya pemimpin yang ideal. Meri kita kembali ke al-Qur’an. Bagaimana al-Qur’an bicara tentang wacana pemimpin? Penulis secara arbitrer (semena-mena) akan menentukan ayat dalam menjawab realitas ini. Arbitrer dan tidak atbitrer itu bukan persoalannya, namun bagaimana ayat tersebut bisa bekerja secara langsung (directly applicable) dalam kehidupan.

Menurut hemat penulis, meniru sifat-sifat Allah dalam batas-batas tertentu merupakan hal yang baik. Begitu juga dalam hal kepemimpinan. Sifat kepemimpinan Allah yang pertama sebagai Tuhan manusia adalah pencerapan intelektual dan empirisme terhadap yang diintelektuali (hamba).

Dalam bahasa al-Qur’an sifat tersebut dinyatakan dalam kalimat Huwa Alimul al-ghaibi wa asy-syahadah (Q.S. al-Hasr:22). Di sini, posisi Allah sebagai pemimpin manusia. Jadi, apabila berkehendak menjadi sosok pemimpin, syarat alim al-ghaib wa as-syahadah harus terpenuhi terlebih dahulu. Yakni, kemampuan dan kecakapan dalam melihat dan mendengar secara betul segala apapun yang harus pemimpin kuasi tentang urusan rakyat, kemasyarakatan, negara bangsa, globalisasi, privatisasi, pasar model dan apa saja. Itupun masih ditambang dengan kata wa as-syahadah, harus ada aksi nyata untu berkeliling menyaksikan, nglihat, dirasakan, dibahu, diisab bagaimana nasib rakyat, sebagimana dilakukan oleh Mao Tse Dong.

Itu sifat allah yang amat. Sifat Allah yang beda dengan lain dari sifat Allah yang lain yang hanya terdiri dari satu kata. Ini sifat yang aneh dan panjang, yakni mengetahui segala yang gaib dan menyaksinyannya secara empiris (pengenal tentang segala hal secara jelas).

Apa gaib itu? Gaib itu bukan penampakan. Gaib itu adalah yang sekarang belum diketahui, namun nanti sore akan diketahui. Sore ini sesuatu itu tidak gaib lagi. Namun jika nanti pagi ada seseuatu yang gaib, maka seorang pemimpin harus memiliki usah untuk mengetahui sesuatu itu biar tidak gaib lagi.

Kalau sifat alim al-gaib wa as-syahadah tidak terpenuhi, maka (sebagaimana tuturan ayat berikutnya) tidak akan tumbuh huwa ar-rahman ar-rahim. Kalimat ini menjadi takaran kedua. Dan sebaliknya bila sifat yang pertama terpenulihi, maka tumbuhlah cinta kepada rakyat. Kalau cinta kepada rakyat sudah tumbuh subur maka, pemimpin akan menjadi raja huwa malik (Q.S. al-Hasr:23). Menjadi raja setelah memenuhi syarat mengetahui hal yang gaib, menyaksikan secara empiris (tidak terhijab), tumbuh ar-rahman (cinta sosial, cinta meluas, cinta horizontal), dan ar-rahim (cinta pribadi dan mendalam, cinta vertikal). Setelah itu barulah pemimpin menjadi raja, al-Malik.

Setelah menjadi raja dan kalau seorang raja tidak ingin dijatuhkan, sebagaimana dalam Q.S. al-Hasr:23, pemimpin harus punya sifat berikutnya yakni Qudus. Qudus itu apa. Dalam bahasa kultural, Quddus itu: kalau lima ya lima. Kalau itu ijo yang ijo. Korupsi ya koruspi. Cinta ya cinta. Kalau tidak ya tidak. Tidak bisa dibolak-balik.

Kalau seandainya saja sifat ke-Qudus-an ini dilanggar maka seorang pemimpin itu tidak akan sampai ke tahap as-salam. As-salam adalah menciptakan keselamatan bagi semua. Kalau tidak memiliki sifat as-salam, berarti pemimpin tidak bisa menciptakan atmosfer keselamatan bagi semua. Di samping itu, jika ada pelangaran terhadap sifat ke-qudus-an, juga seorang pemimpin tidak bisa masuk pada tahap mukmin.

Apa mukmin ? Mukmin adalah subjek penciptakan keamanan. Keamanan apa saja. Keamanaan beras, minyak tanah, minyak goreng, TKW, hutan dan segala macam. Kosmologi atau khasanah dari kata mukmin itu disebut iman. Sedangkan pemandatan dari yang memiliki (Allah) kepada pelaksananya (Manusia) disebut anamah. Kata-kata tersebut semuanya berasa dari tiga huruf, yakni alif, mim dan nun.

Senadainya semua sifat itu terpenuhi maka, seorang pemimpin akan masuk pada tahap Al-Muhaiman. Al-Muhaimin itu memelihara keseimbangan sebab sebelumnya sudah terjadi keindahan-dialektis dialektis di antara segala sesuatu yang diamankan.

Dari sinilah sebanarnya seorang pemimpin akan menjadi al-aziz, memiliki kekuatan yang sebenarnya sebagai pemimpin. Kekuatan itu mendorong dia tidak perlu korupsi untuk hidup. Jadi, al-aziz itu kuat gagah perkasa, tak tergoda oleh apapun. Dengan keperkasaan tersebutlah seorang pemimpin akan memiliki sifat al-Jabbar, baru seorang pemimpin memiliki kekuasaan yang sejati.

Kemudian sifat tersebut ini disanding dengan sifat al-Mutakabbir, yang berarti mengatasi, overcaming segala macam persoalan. Takabur itu baik dalam batas kemampuan untuk mengatasi persoalan. Misalnya ada kasus lapindo, seorang pemimpin harus sigap bersifat takabur, yakni mengatasinya.

Hingga kemudian sampai pada Q.S. al-Hasr:24, yakni kembali ke univerasalisme yang termasuk teori-teori yang sifatnya tinggal menikmati enaknya, yakni al-khalik, menciptakan sistem yang baru. Kemudian al-Bari’, menata sistem-sistem tersebut agar bekerja dengan baik, baru kemudian al-Musawwir, dijaga supaya indah.Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar