SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil

TIGA SIKAP ATAS TERORISME (NASKAH KHUTBAH DI MASJID IIQ JAKARTA)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين غافر الذنب وقابل التوب شديد العقاب ذي الطول لا إله إلا هو إليه المصير. أشهد ألا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله. والصلاة والسلام على محمد النبي الأمي خاتم الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه والتابعين وتابعي التابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعده.
فيا أيها الناس اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون. قال تعالى فى القرآن الكريم: من قتل نفسا يغير نفس أو فسادٍ في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا. وقال الله تعالى قوا أنفسكم وأهليكم نارا. وقال النبي محمد صلى الله عليه وسلم من كان أمره معروفا فليكن بالمعروف.

Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah
Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur kepada Allah yang telah memberikan berbagai nikmat yang tidak bisa kita kalkulasi satu persatu dan mustahil kita bisa menghitungnya, sebagaimana difirmankan Allah, wa in ta’uddu ni’matallahi la tukhsuha. Kedua kalinya, shalawat serta salam marilah tetap kita panjatkan ke hadirat Nabi Agung Muhammad saw. yang telah mengajarkan kepada kita akhlak-akhlak mulia sebagai bekal hidup di dunia dan modal pahala di akhirat. Allahumma Amin.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya sebagai khatib ingin berpesan kepada diri khotib sendiri khususnya dan jama’ah sekalian pada umumnya, untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Dari dahulu hingga kini, kita sebagai hamba Allah yang lemah, tidak punya pilihan lain selain menggantungkan diri kepada Allah, tak ada pilihan lain selain berserah diri kepada Allah. Di tengah ketidakmenentuan masa depan, di tengah ketidakmenentuan jaminan keamanan sosial, keamanan transportasi, di tengah serangan virus ganas yang tidak bisa diprediksi, tak ada pilihan lain kecuali berserah diri kepada-Nya.
Semoga ayat-ayat atau tanda-tanda Allah yang disuratkan dalam Al-Qur’an dan disiratkan dalam fenomena-fenomena kehidupan sehari-hari kita bisa menjadi pelajaran untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, taqwa dalam arti yang seluas-luasnya.

Jamaa’h shalat jum’at yang berbahagia.
Tepat seminggu yang lalu, kita semua dikejutkan dengan peristiwa bom bunuh diri di wilayah Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton. Terorisme yang awalnya diduga sudah tidak ada lagi di Negara ini untuk 4 tahun terakhir ini, ternyata tidak terbukti.
Bom tetap meledak lagi. Puluhan orang tak berdosa menjadi korban. Perasaan ngeri, cemas mulai datang mengancam kapan saja dan di mana saja. Berbagai prediksi tentang tragedi tersebut bermunculan. Ada yang mengaitkannya dengan kondisi politik. Ada pula yang mengaitkannya gerakan-gerakan Islam garis keras. Wallahu’alam. Kita belum punya modal pengetahuan untuk menyimpulkan apa-apa dari peristiwa teror tersebut. Siapa yang melakukannya? Apa agama pelaku terror tersebut? Atas motif apa ia melakukan ? Kita semua juga belum mengetahui.

Namun yang jelas, pelaku pemboman tersebut sudah tidak memiliki ruang cinta di dalam hatinya. Di dalam hatinya sudah tidak ada ruang cinta kepada sesama manusia. Ruang cinta itu telah direbut dan kemudian dipenuhi oleh nafsu angkara setan. Sehingga, kesadaran dirinya sebagai hamba Tuhan yang berkewajiban mencintai sesama manusia hilang, sirna. Mata hatinya sudah buta. Naluri kemanusiaannya buntu. Akhirnya, bom pun diledakkan demi kepuasan nafsu angkaranya.
Kita semua tahu, dengan dalih apapun, agama apapun tidak membenarkan tindakan tolol tersebut. Islam pun mengutuk keras perlakuan keji itu. Dalam Alquran dengan tegas diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa bagaikan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. Dan sebaliknya, barangsiapa yang memberikan kehidupan satu orang saja, sama dengan memberikan kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.
من قتل نفسا يغير نفس أو فسادٍ في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا
Jama’ah Shalat Jum’at Rahimakumullah.
Terorisme, berupa peledakan bom merupakan salah satu dari berbagai kenyataan pahit dalam kehidupan kita akhir-akhir ini. Bentuk terorisme lainnya juga masih banyak kita jumpai: pembunuhan, mutilasi, perampokan, pencurian, kekerasan, kerusuhan, konflik antar warga merupakan bentuk lain dari terorisme kecil yang masih saja terjadi di antara kita.
Dari situ semua ada pertanyaan ynag muncul: Apa yang bisa kita lakukan dari peristiwa-peristiwa tersebut, untuk merubah hidup ini menjadi lebih baik? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari ayat-ayat Allah yang dibentangkan dalam realitas kehidupan kita tersebut?
Paling tidak ada tiga hal yang perlu kita lakukan. Pertama, menumbuhkan rasa cinta kepada sesama makhluk Allah. Cinta dalam bahasa Arab seringkali disebut dengan hub. Dari kata ini terbentuklah istilah mahabbah. Mencintai sesama makhluk Allah sangatlah dianjurkan dalam Islam. Bahkan cinta kepada sesama manusia menjadi standar keimanan seseorang, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.
لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Artinya: “Seseorang belum dianggap beriman sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Imam Muslim dan An-Nasai).
Dalam Islam terdapat ajaran tasawuf, yakni perjalanan manusia yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup. Pengabdian diri kepada seluruh umat inilah yang dilandasi dengan cinta. Tak syak lagi kalau dunia tasawuf sangat kental dengan khazanah cinta (hubb). Cinta seorang sufi kepada seluruh umat manusia itu melampaui batas-batas kemanusiaan, nasionalitas, etnis, ras, suku, ideologi, golongan, budaya, dan bahkan agama.
Tasawuf menawarkan cinta dengan segala kelembutannya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang holistik dan kudus.
Memberantas aksi terorisme tanpa cinta dan kelembutan hanya merupakan tindakan yang kontraproduktif dan hanya akan memperpanjang rangkaian-rangkaian tindak terorisme baru.
Menumbuhkan kesadaran untuk saling mencintai dan mengasihi menjadi sangat urgen untuk didengungkan. Hubb akan membebaskan diri dari segala nafsu setan, kekuasaan (power). Akan membebaskan diri kita dari hasrat ingin menguasai orang lain. Membebaskan diri kita dari kuasa pembenaran atas diri (self-truth claim). Cinta yang dilandasi kepatuhan kepada Tuhan pada akhirnya akan menumbuhkan cinta kemanusiaan yang hakiki.
Dalam tasawuf, kedalaman makna hidup bisa ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia.
Hubungan personal dengan Tuhan melalui ibadah seharusnya tidak hanya berhenti pada titik personal, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan harus berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas.
Sehingga tasawuf cinta setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan. Upaya pemberantasan terhadap tindakan-tindakan terorisme tidak hanya cukup ditempuh melalui jalur intelijen, konstitusi, dan hukum, tetapi selayaknya juga diiringi dengan upaya penyadaran cultural-teologis, yakni melalui pengajaran dan pendidikan mencintai dan mengasihi sesame manusia dengan berbagai cara yang baik dan benar, misalnya dengan meringankan beban mereka, menolong mereka ketika membutuhkan dan sebagainya.

Jama’ah Shalat Jum’at yang bebahagia.
Hal kedua yang harus kita lakukan adalah tidak menambah daftar pelaku terorisme. Sebagai orang biasa yang tidak punya otoritas politik, sosial, budaya dan ekonomi, hal yang sangat mungkin bisa kita lakukan adalah menjaga dan melindungi diri kita dan keluarga kita dari tindakan terorisme.
Perintah untuk melindungi diri kita sendiri dan keluarga diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an. Quu Ansufakum wa ahlikum Nara. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Nar atau api neraka dalam ayat ini tidak hanya bermakna api neraka itu sendiri. Api neraka bisa saja berarti symbol kekejian dan kejahatan. Api adalah symbol setan. Api adalah asal mula setan.
Bentuk penjagaan diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka, salah satunya adalah dengan memberikan perhatian, curahan cinta dan pendidikan yang benar, terutama pendidikan agama, kepada anak-anak kita, saudara-saudara kita. Perhatian dan pendidikan yang baik akan menghasilkan keturunan yang baik pula.
Dalam tataran yang lebih luas lagi, keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat. Meskipun menjadi bagian terkecil dari masyarakat, keluarga memiliki peran yang sangat vital dalam membangun karakter bangsa. Sebab sebuah bangsa dihuni, dikelola dan dimanage oleh tangan-tangan manusia yang lahir dari bagian terkecil tersebut, yakni keluarga.
Oleh sebab itu, di zaman yang penuh dengan berbagai godaan dan tantangan serta ketidak menentuan ini, yang perlu kita lindungi dan jaga adalah diri kita dan keluarga kita.
Jadi, tanggung jawab besar bangsa dan negara ini pada dasarnya berada di tangan keluarga-keluarga. Semakin baik sebuah keluarga maka dapat dipastikan baik pula bangsa dan negaranya. Begitu sebaliknya, semakin buruk sebuah keluarga maka dapat dipastikan pula bangsa dan negara tersebut semakin terpuruk.

Jama’ah shalat Jum’at yang berbahagia.
Hal yang ketiga yang perlu kita lakukan adalah sabda Nabi Muhammad saw. : man kana Amruhu ma’rufal fa ya’mal bil ma’ruf. Barangsiapa yang memerintahkan kebaikan maka lakukanlah dengan baik. Menghapus kejahatan, kemaksiatan dan kekejian di muka bumi merupakan hal yang baik dan diperintahkan agama. Namun harus dengan cara dan metode yang baik pula. Kejahatan tidak bisa dilawan dengan kejahatan. Kekerasan juga tidak bisa dilawan kekerasan. Ketidakadilan tidak bisa hilang apabila dibalas dengan sikap tidak adil.
Nabi Agung Muhammad saw telah memberikan banyak contoh dalam hal ini. Nabi tidak pernah melawan kejahatan dengan kejahatan, melainkan melawannya dengan kebaikan. Kekerasan dan pelecehan yang dilakukan kaum musyrik Makkah kepada Nabi selalu dibalas dengan kelembutan dan kebaikan.
Konon dikisahkan, pada masa Rasulullah, ada seorang pengemis Yahudi Yang Buta. Ia selalu mengemis dan meminta-minta di sudut pasar kota Madinah. Sehari-harinya ia selalu menjelek-jelekkan Rasulullah. Kepada orang-orang yang mendekat ia selalu berkata “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila. Dia itu pembohong. Dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya kalian akan terperdaya olehnya.”
Setiap pagi Rasulullah SAW mendatang pengemis itu dengan membawa makanan. Karena pengemis itu buta, ia tidak tahu siapa yang setiap pagi dating kepadanya membawa makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Ini beliau lakukan rutin setiap hari hingga menjelang Rasulullah saw. wafat.
Suatu hari, setelah Rasulullah wafat Abu Bakar r.a berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah ra yang kebetulan juga menjadi istri Rasulullah.
Abu Bakar bertanya kepada Aisah, “Anakku adakah sunnah Rasulullah yang belum aku kerjakan.” Aisyah r.a menjawab, “Wahai ayah, Engkau adalah ahli sunnah. Setahu saya hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan, kecuali satu sunnah saja”.
“Apakah Itu?” tanya Abu Bakar r.a. penasaran.
“Ketahuilah ayah bahwa setiap hari, semasa Rasulullah saw. hidup, beliau selalu pergi mendatangi pengemis buta Yahudi yang berada di ujung pasar untuk mengantarkan makanan dan kemudian menyuapinya.”
Keesokan harinya Abu Bakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “Siapakah kamu?”
Abu Bakar r.a menjawab, “Aku orang yang biasanya datang kesini.”
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku.” Sergah pengemis buta tersebut.
“Apabila ia datang kepadaku, tangan ini tidak susah untuk memegangnya dan mulut ini tidak susah untuk mengunyah makanan. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu makanannya dihaluskan dengan mulutnya. Setelah itu ia berikan padaku.”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Tidak kuasa Abu Bakar menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ”Saya memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Yang sering dating kepadamu adalah orang mulia itu telah meninggal. Beliau sudah meninggal. Dan aku adalah sahabatnya. Orang itu adalah Muhammad Rasulullah saw.”
Mendengar cerita Abu Bakar r.a. pengemis itu pun menangis dan kemudian berkata,”Benarkah demikian? “Selama ini aku selalu menghinanya, menfitnahnya. Ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia.”
Hingga akhirnya Pengemis Yahudi buta tersebut bersyahadat di hadapan Abu Bakar r.a.
Jamaah shalat jum’at yang berbahagia
Itulah khutbah yang dapat saya sampaikan semoga bisa memberikan manfaat yang berarti bagi kita semua. Tiga hal yang saya sebutkan tadi mudah-mudah bisa menjadi bahan refleksi kita semua dan bahan pertimbangan kita semua dalam menapaki dan menata masa depan yang lebih baik. Amin.
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم، ونفعنى وإيّاكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم، وتقبّل منى ومنكم تلاوَته إنّه هو السّميع العليم، وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين
الحمد لله حمدا كثيرا كما امر ، واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له ، واشهد ان سيدنا محمدا صلى الله عليه وسلم عبده ورسوله النبي المعتبر ، فَيَا عِبَادَ اللهَ اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. واعلموا ان الله سبحانه وتعالى صلى على نبيه قديما ، وامرنا بذالك ارشادا لنا وتعليما ، فقَالَ تَعَالىَ في القرآن العظيم اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَااَيُّهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وشفيعنا ومولانا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آله وصحبه اجمعين برحمتك يا ارحم الرحمين . اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَات ِانك سميع قريب مجيب الدعوات ويا قاضى الحاجات وغافر الذنوب والخطيئات . اَللّهُمَّ انصر جيوس المسلمين وعساكر الموحدين . اللهم اهلك الكفرة والمشركين اعداءك اعداءنا اعداء الدين آمين يا مجيب السائلين . ربنا ظلمنا انفسنا وان لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين . ربّنا اَفرغ علينا صبرا وثبّت اقدامنا وانصرنا على القوم الكافرين. اللّهم اغفرلنا ولوالدينا وارحمهما كما ربّيانا صغارى. اللهم أصلح لنا ديننا الذى هو عصمة أمرنا وأصلحلنا دنيانا التى فيها معاشنا وأصلحلنا آخرتنا التى إليها معادنا واجعل الحياة زيادة لنا فى كلّ خير واجعل الموت راحة لنا من كل شر. اللهم إنا نعوذ بك من الهم والحزن، ونعوذبك من العجز والكسل، ونعوذبك من الجبن والبخل، ونعوذبك من غلبة الدين وقهر الرجال. .رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ .
عِبَادَ الله، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِى اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ . وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَر . اَقِمِ الصَّلاَةَ .

Read more»»

SEJARAH PENCETAKAN AL-QUR’AN

Informasi tentang sejarah pencetakan al-Qur’an masih minim dan simpang siur. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian khusus untuk merekonstruksi sejarah pencetakan al-Qur’an yang objektif dan nir-bias. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi sejarawan muslim dan pengkaji al-Qur’an.
Pada tahun 2004, sarjana-sarjana pengkaji al-Qur’an di Jerman dan Netherland telah menjawab ‘PR’ tersebut. Penerbit IDC, penerbit akademis buku-buku sumber yang jarang di Leiden telah me-launching hasil penelitian koleksi-koleksi al-Qur’an yang dicetak di Barat pada tahun 1537-1857 M. Penelitian tersebut dibukukan dengan judul Early Printed Korans: The Dissemination of the Koran in the West, yang diedit oleh Hartmut Bobzin dan August den Hollander. Buku ini memberikan informasi yang lebih tentang sejarah pencetakan al-Qur’an awal yang cukup comprehensif dan terhitung baru. Meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya bias-bias kepentingan.
Selain buku tersebut, Encyclopaedia of the Qur’an (Brill: Leiden-Boston, 2004) yang di-chief-editor-i oleh Jane Dammen McAuliffe, juga memberikan informasi yang cukup memuaskan tentang sejarah pencetakan al-Qur’an, terutama di entri Printing of the Qur’an yang ditulis oleh Michael W. Albin dan beberapa entri lainnya terkait dengan pencetakan al-Qur’an seperti Qur’an and Media.
Tulisan ini mencoba merangkum sejarah pencetakan al-Qur’an untuk pembaca dengan mengacu pada terutama kedua referensi tersebut dan referensi sekunder lainnya.

Informasi tentang siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana al-Qur’an dicetak pertama kali masih belum jelas betul. Namun mayoritas sarjana menyepakati bahwa Al-Qur’an pertama kali dicetak dengan the moveable type, (jenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg sekitar 1440 M di Mainz, Jerman) oleh Paganino dan Alessandro Paganini (ayah dan anak, keduanya adalah ahli pencetakan dan penerbitan), antara 9 Agustus dan 9 Agustus 1538 di Venice, Itali (sekarang lebih dikenal dengan Venesia. Sarjana Islam menyebut kota ini dengan al-Bunduqiiyah). Sebagian informasi menyatakan bahwa cetakan ini konon tidak beredar karena dilarang Gereja Katolik. Akhirnya cetakan tersebut musnahkan.
Namun informasi lain menyatakan bahwa lain. Konon, cetakan al-Qur’an yang dibuat oleh Paganino dan Alessandro Paganini akan dikirim ke Imperium Ottoman. Ketika Alessandro Paganini pergi ke Istanbul untuk menjual produknya (al-Qur’an cetakan), Kaisar Ottoman tidak menyambutnya dengan hangat karena banyak kesalahan di dalamnya, apalagi yang mencetak adalah orang yang dianggap kafir (non-muslim). Memang, sultan Ottoman, Bayazid II (1447 atau 8-1512 M) dan Salim I (1470-1520 M) pernah mengeluarkan larangan penggunaan buku-buku yang dicetak. Namun kebenaran isu ini masih tetap perlu diteliti lebih lanjut.
Pelarangan peredaran al-Qur’an sudah berlangsung berabad-abad semenjak Paus Clemens VI sekitar 1309 M. Hingga akhir, al-Qur’an boleh dicetak dan diedarkan apabila disertai komentar penyangkalan dan kritikan atas kebenaran isi al-Qur’an. Hal ini mendorong dicetaknya terjemah al-Qur’an. Terjemah al-Qur’an pertama kali ke dalam bahasa Latin dicetak di Nurenberg pada 1543 M.
Terjemahan al-Qur’an bahasa Latin dipersiapkan di Toledo oleh Robert of Ketton (Robertus Ketenensis), dibantu oleh seorang native Arab dan diedit oleh teolog Zurich, Theodore Bibliander. Edisi ini terdiri dari tiga bagian: al-Qur’an itu sendiri; sejumlah pembuktian kesalahan al-Qur’an oleh sarjana terkemuka; dan sejarah Turki. Edisi ini sukses besar dan dicetak ulang pada 1550 M.
Ada juga cetakan-cetakan bagian al-Qur’an, yakni Surah Yusuf. Cetakan surah Yusuf ini dilakukan oleh orientalis Belanda Thomas Epernius (1584-1624) pada 1617 di Leiden. Awalnya Surah Yusuf dijadikan sebagai bahan latihan untuk pelajaran bahasa Arab. Pada tahun tersebut Epernius telah mendidirikan percetakannya dengan tipe Arabic, yang disebut dengan ‘Erpenian type’, sebuah landmark dalam sejarah tipografi Eropa tentang Arab.
Pencetakan al-Qur’an berikutnya dilakukan di Hamburg pada 1694 oleh Abraham Hinckelmann yang memberikan kata pengantar dengan bahasa Latin. Empat tahun kemudian, yakni 1698, al-Qur’an cetakan edisi lain diterbitkan oleh Ludovico Maracci dengan tujuan teologis, dimana edisi ini dilengkapi dengan teks Arab dan terjemah bahasa Latin dan penolakan atas Islam oleh Ludovico Maracci.
Pada tahun 1701 orientalis Andreas Acoluthus dari Breslau mempublikasikan sebuah lembaran untuk sebuah poliglot al-Qur’an, yang di dalamnya di mencetak Surah Pertama al-Qur’an dalam bahasa Arab, Persia dan Turki.
Pada tahun 1787, Yang Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherin II menyuruh agar al-Qur’an dicetak dengan tujuan politis, seperti toleransi keagamaan. Dia ingin agar keturunan Muslim Turki mudah mengakses kitab suci tersebut. Al-Qur’an cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan keterangan dari kitab-kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun 1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798.
Pendirian percetakan di dunia Islam tertunda karena para sultan di Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan buku-buku yang dicetak oleh orang Eropa—yang menurut mereka kafir. Oleh sebab itu, penerbitan untuk mencetak buku-buku didirikan pada akhir abad ke-15 di Constantinopel dan kota-kota lainnya di Imperium Ottoman.
Baru kemudian pada tahun 1787 Kekaisaran Ottoman mencetak Mushaf al-Quran dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Edisi cetakan ini lebih dikenal dengan edisi Malay Usmani.
Edisi ini lalu diikuti oleh percetakan lainnya. Di kota Volga, Kazan, al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1801 (ada pula yang menyatakan pada tahun 1803). Persia (Iran) mulai mencetak al-Qur’an pada tahun 1838. London pada tahun 1833. India pada tahun 1852, dan Istanbul pada tahun 1872.
Pada tahun 1834, al-Qur’an dicetak di Leipzig dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman, Gustav Flugel. Mungkin cetakan al-Qur’an yang lebih baik tinimbang edisi-edisi yang dicetak orang-orang Eropa sebelumnya. Edisi ini dilengkapi dengan concordance (pedoman penggunaan) al-Qur’an yang dikenal dengan 'Flugel edition'. Terjemahan Flugel membentuk fondasi penelitian al-Qur’an modern dan menjadi basis sejumlah terjemahan baru ke dalam bahasa-bahasa Eropa pada tahun-tahun berikutnya. Edisi ini kemudian dicetak lagi pada tahun 1841, 1855, 1867, 1870, 1881 dan 1893.
Namun edisi ini dinilai masih memiliki banyak kecacatan, terutama pada sistem penomeran surah yang tidak sesuai dengan yang digunakan umat Islam umumnya.
Pada tahun 1798, percetakan dimulai di Mesir. Pada saat itu Napoleon (1769-1821) berkampanye dengan mencetak leaflet dan pamflet-pamflet dekrit-dekrit dan peraturan Napoleon. Namun ketika Muhammad Ali Basha menjadi penguasa Mesir pada 1805, dia memulai laki kerja percetakan pada 1819 dan percatakan itu dinamai “al-Matba‘ah al-Ahliyah” (The National Press).
Namun pencetakan al-Qur’an di Mesir baru dimulai tahun antara 1923-1925. Edisi ini dicetak dengan percetakan modern. Edisi Mesir ini menjadi mushaf standar dimana bacaan al-Qur’an sudah diseragamkan. Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim. Edisi Mesir ini juga dikenal dengan edisi Raja Fadh karena dialah yang memprakarsainya.
Di Asia Tenggara, al-Qur’an dicetak sendiri oleh orang daerah. Pada tahun 1848, menurut penelitian Abdurrazak dan Proudfoot, Muhammad Azhari, orang asli Sumatera membuat sebuah litografi al-Qur’an yang kemudian dia cetak pada tahun 1854. Kisahnya, setelah kembali dari pengembaraannya di Makkah, dia mampir di Singapura memberi peralatan dan perlengkapan percetakan.
Selanjutnya, pada tahun 1947 untuk pertama kali Al-Qur’an dicetak dengan teknik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang kaligrafer Turki yang terkemuka, Badiuzzaman Sa’id Nursi (1876-1960).
Kemudian sejak tahun 1976 Al-Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman).
Mulai abad ke-20 pencetakan al-Qur’an sudah ditangani oleh umat Islam sendiri dan menjamur di negara-negara Islam. Pada tahun 1984 berdirilah percetakan khusus Al-Quran “Majma’ Malik Fahd Li Thibaah Mushaf Syarif”, percetakan terbesar di dunia, yang memang hanya mencetak Al-Quran saja. Letaknya di kota Madinah. Lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama Kerajaan Arab Saudi.
Semenjak edisi Raja Fadh INI, al-Qur’an mulai dicetak dengan berbagai ukuran, bentuk, jenis kaligrafi, hiasan (ornamen) dan penambahan keterangan-keterangan lainnya, sebagaimana yang kita temukan sekarang ini.

Read more»»

Idul Fitri Meningkatkan Komunikasi dengan Tuhan

Jama’ah Shalat ‘Idul Fitri yang berbahagia.
pertama-tama marilah kita panjatkan rasa syukur alhamdulillah kita kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat iman, islam dan kesehatan kepada kita semua, sehingga pada pagi hari yang cerah ini, kita semua bisa berkumpul di musholla dalam suasana yang bahagia, guna menunaikan ibadah shalat idul fithri dan mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil.

Seiring ditabuhnya bedug maghrib sore kemarin, umat Islam di seluruh dunia menyambut kedatangan ‘Idul Fitri. Penyambutan ini sekaligus menandai selesainya ibadah puasa Ramadhan. Kalimat takbir, tahmid dan tahlil telah bergema, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid, dari musholla ke musholla.

Bahkan secara tidak sengaja batin kita yang paling dalampun terpanggil untuk ikut bergumam melantuntan takbir, tahmid dan tahlil di sela-sela kesibukan kita mengurusi persiapan merayakan idul fitri

Hari ini, takbir pengangungan Allah berkumandang di seluruh dunia, di seluruh pelosok tanah dimana muslim berada, semuanya mengagungkan Allah, satu milyar seperempat muslim di dunia ini semuanya mengumandangkan takbir bersyukur kepada Allah.

Perintah untuk membesarkan nama Allah ini termaktub di dalam berfirman-Nya: (QS Al-Baqarah : 185) “Dia menghendaki agar kalian menyempurnakan hari puasa yang telah ditentukan, dan bertakbirlah, mengagungkan nama Allah atas petunjuk-Nya, dan kiranya kalian bersyukur.”

Kedua, sholawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallah yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya, menuntun kita menjadi sebaik-baiknya umat manusia, maka sepatutnyalah kita selalu bersholawat dan memanjatkan salam kepada beliau, sebagaimana Allah dan para malaikatnya pun selalu bersholawat kepada beliau:”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”


Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar Walillahil hamd
Jama'ah sholat ‘Idul fitri yang dimuliakan Allah.

Pagi hari ini umat Islam di seluruh dunia sedang merayakan hari kemenangan, yakni hari raya ‘idul fitri. Hari Raya Idul Fitri ini akan benar-benar menjadi kemenangan, tidak hanya ketika umat Islam lulus dalam manahan makan dan segala yang membetalkan puasa selama 30 hari di bulan Ramadhan, tetapi lebih dari pada itu, yakni merenungi dan menghayati pesan moral yang terkandung di dalam rangkaian kegiatan selama Ramadhan. Dengan begitu, puncak kemenangan pada hari Raya Idul fitri ini bisa dijadikan momentum refleksi demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Tanpa adanya perenungan dan penghayatan untuk mengambil pesan moral hari Raya Idul fitri, rasa-rasanya idul fitri hanya menjadi perayaan ritual-formalitas tahunan belaka, tanpa menyentuh aspek-aspek spiritual-ilahiyah. Oleh sebab itu, khutbah pada bagi hari ini, akan mencoba mengajak para jamaah untuk memasuki pesan-pesan moral tersebut.

Jama’ah shalat ‘Idul Fitri Rahimakumullah

Coba kita perhatikan secara saksama, hari raya Idul Fitri kali ini memang berbeda dengan hari Raya Idul Fitri 10 atau 20 tahun yang lalu. ‘Idul Fitri yang diramaikan dengan kegiatan saling memaafkan, halal menghalalkan, saling meleburkan dosa di antara satu dengan yang lainnya, menjadi hal yang mudah dilakukan. Hal ini paling tidak disebabkan dengan canggihnya teknologi komunikasi antara manusia.

Mulai dari telepon hingga internet yang menawarkan dengan berbagai vasilitasnya. Telpon seluler dengan berbagai jaringannya yang luas menawarkan kepada kita semua akan kecanggihannnya. Hanya dengan biaya yang sedikit, kita bisa berkomunikasi berjam-jam. Jarak sudah tidak menjadi halangan bagi lancarnya komunikasi antara sesama manusia. Walhasil, setelah didukung dengan teknologi, kegiatan saling memafkan, yang menjadi bagian dari tradisi di dalam Idul Fitri, sudah tidak menjadi halangan lagi. Dengan mengirimkan sms (short message service) ataupun dengan email, kepada orang yang kita tuju, kegiatan saling memafkan dan melebur segala dosa antar semsa dengan mudah bisa berjalan. Fenomena ini, menunjukkan kepada kita semua bahwa dari sudut teknologi komunikasi, betapa komunikatifnya hubungan antara manusia dengan manusia.

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar walillahil hamd
Jamaa’ah shalat Idul Fitri yang berbahagia
Pertanyaan yang kemudian patut diajukan, terkait dengan sudah begitu canggihnya teknologi komunikasi sehingga hubungan antara manusia bisa dibangun dengan baik adalah sudah berapa komunikatif hubungan kita dengan Allah selama ini?

Membangun hubungan yang komunikatif dengan Allah bukan berarti bicara langsung empat mata dengan Allah, tetapi mencoba merespons dan sensitif terhadap Amr (kehendak) Allah dalam artian yang seluas-luasnya. Sebab memang manusia tidak mungkin mampu berhadapan dan berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Nabi Musa saja jatuh pingsan ketika melihat cahaya Allah yang berada di balik gunung, ketika Allah berkomunikasi dengannya.

Pertama-tama harus kita sadari terlebih dahului bahwa cara komunikasi kita dengan dengan Allah berbeda dengan cara komunikasi kita dengan sesama. Allah berbeda dengan makluknya. Kalau kamunikasi antar sesama tidak terjaling dengan baik, itu berarti ada banyak kemungkinan yang salah, pertama orang yang berkomunikasi tidak mampu menyampaikan pesan, kedua orang yang diajak berkomunikasi tidak mampu memahami pesan dan ketiga karena perantaranya tidak sanggup membawa pesan sehingga pesan itu tidak tersampaikan. Hal ini berbeda dengan komunikasi antara manusia dengan Allah. Apabila komunikasi antara manusia dan Allah tidak tercipta dengan baik, pasti yang salah adalah manusianya. Manusia tidak mampu merespons amar Allah.
Bagiamana membangun komunikasi yang baik dengan Allah? Salah satunya adalah dengan berpuasa.
Jamaa’h Shalat ‘Id yang berbahagia
Secara normatif, tujuan manusia hidup adalah mengabdi kepada Allah demi mencapai ridha-Nya, yang dinyatakan dalam sikap santun, ramah, menghormati dan saling mengasihi kepada sesama dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dalam skala apapun (sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama). Sebagaimana yang difirmankan di dalam surah ad-Dzariyat 56: artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Mengabdi atau beribadah kepada Allah merupakan sifat alamiyah atau sifat fitri manusia, yakni sifat yang melekat ketika pertama kali manusia diciptakan. Ketika pertama kali manusia diciptakan Allah bertanya kepada ruh-ruh manusia: Artinya: "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi".Tidak ada satu manusiapun di dunia yang tidak mengakui bahwa pencipta dunia adalah Allah. Watak dasar manusia adalah beriman dan diciptakan sebagai makhluk yang beribada kepada Allah. Namun kenapa ada manusia yang tidak loyal kepada Allah, padahal ia telah memiliki piotensi makhluk yang beriman.

Karakter manusia ketika masih sebagai ruh mamang demikian halnya. Namun ketika ruh sudah dipertemukan dengan jasad, kemudian menghirup udara dunia, masalahnya menjadi lain. sebab ruh masih tetap dalam watak asli (fitrah), sementara jasad mulai tergoda dengan tuntutan kenikmatan dunia yang bersifat sesaat. Disinilah mulai terjadi tarik menarik antara kepentingan ruhani dan jasmani, antara kepentingan ukhrawi dan duniawi. Pergulatan dua kutub kepentingan ini akan tetap berlanjut samapai manusia meninggal dunia.
Manusia memang diberi hak kebebasan oleh Allah untuk menentukan pilihan mana yang dia kehendakai. Ia dapat memiliki kepentingan ruhani atau jasmani. Dalam kaitan ini Allah berfimran: Dua jalan ini adalah jalan kebajikan (ruhani) dan jalan kejahatan (jasmani). Apabila manusia mampu mengalahkan kepentingan jasmaninya, maka karekater ruhaninya akan mendominasi hidup kesehariannnya hingga ia akan tampil sebagai sosok manusia dengan segala watak kemanusiaannuya. Tapi manakala ia tidak mampu mematahkan kepentingan jasmanisnya, sirnalah segala watak kemausniaannya. Ia lebih didominasi oleh watak kebinatangan yang hanya memiliki watak jasmani daripada sebagai manusia.

Perjalanan panjang menuju ridha dan takwa atau perjalanan ruhani amatlah jauh dan melelahkan untuk ditapaki dengan hitungan ruang (locus) dan waktu (tempus) bagi manusia. Akumulasi umur manusia terlalu pendek untuk menggapainya. Maka, diperlukan siasat dan strategi, yakni waktu yang efisien yang memungkinkan manusia melakukan transendensi-transendensi (lompatan-lompatan).

Salah satu bentuk transendensi itu adalah sebuah pengambilan jarak terhadap diri (self) dan bumi. Pengambilan jarak terhadap diri sendiri dan bumi yang dimaksud di sini adalah ibadah puasa.
Ibadah puasa sebenarnya ibadah yang netral. Puasa berorientasi mengantarkan pelakunya pada kebenaran atau sebaliknya, yakni hanya 30 hari cerita kelaparan dan kehausan saban siang. Tak lebih dari itu. Oleh karena itu, maka belum tentu jika puasa benar-benar menjadikan pelakunya bertakwa, kecuali jika shoim (pelaku puasa) memiliki niat dan tujuan yang benar terlebih dahulu. Tanpa niat dan tujuan yang benar, yang didapat hanyalah kenyataan-kenyataan yang naif. Yakni sebagaimana kita saksikan selama ini, sikap beragama yang anarkis, cara beribadah yang pilih-pilih, setengah-setengah, perilaku bergaul dengan masyarakat yang mau menang sendiri, etika berpolitik yang menghalalkan segala cara, sikap bersosial yang merendahkan orang lain (the other), cara berekonomi yang rakus tanpa perhitungan, cara berbudaya yang tanpa muatan nilai sema sekali (meaningless).

Ini sama sekali bukan "buah" dari puasa. Ini semua akibat dari tidak menginternalnya ibadah puasa dalam diri kita, sehingga tak sanggup diejawantahkan dalam perilaku dan sikap sehari-hari. Mungkin dari sinilah, apa yang Nabi Muhammad katakan sebagai sebuah kritik kepada umatnya menjadi kenyataan, yakni bahwa "banyak di antara umatKu yang melakukan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga" (Kam min shoimin laisa lahu min shiyaihi illa l-juu' wal athos).
Manusia tidak akan menyerap dan menyadari nilai apa pun tanpa sebelum dia bersedia mengambil jarak dengannya. Puasa adalah ibadah dalam rangka mengambil jarak dengan diri (self distance) dan bumi. Dan, ini adalah penghangusan ego, supaya yang sujud tidak hanya dahi, tetapi juga jiwa, hati dan kesadaran. Dengan begitu kita bisa menyadari tentang nilai diri (mengenal dan mengendalikan diri) dan nilai sumber daya alam, sebagai medan operasionalnya. Di sinilah latihan mengasah ketajaman rasa dimulai. Berpuasa berarti berhenti melayani tuntutan jiwa dan raga dalam waktu tertentu dan berhenti menguras hasil bumi. Di sini, shoim (pelaku puasa) akan mengenal betapa lemah dirinya dan betapa tingginya nilai sumber daya alam (bumi) bagi pertumbuhan energi manusia. Dan lemah merupakan sifat fitri manusia sebagaimana difirmankan di dalam surah an-Nisa ayat 28: artinya: dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Tanpa puasa, manusia tidak akan pernah terasah ketajaman rasanya kalau dirinya itu lemah. Sehingga, tak heran, jika manusia sering membusungkan dada dan merasa lebih tinggi dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Ini menyebabkan tiada henti-hentinya manusia mengekploitasi sesama manusia ataupun menguras isi bumi tanpa memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi jauh ke depan (tamak). Perlakuan-perlakuan anarkis, kekerasan dan amoral pun akhirnya terjadi: korupsi, penghancuran, pemboman, illegal logging, ekploitasi sumber daya bumi tanpa perhitungan pemeliharaannya dan keseimbangan ekologinya dan sebagainya. Di sini, menjadi sensitif terhadap Amar Allah merupakan pokok ibadah.

Puasa bermakna membuat seseorang menjadi peka (sensitif), sebab hanya jiwa yang sensitiflah yang dapat menghadapi dan melawan ketidakbenaran dan ketidakadilan.

Kesadaran mengetahui dan merasakan diri yang lemah (dhaif) ini akan memberikan pelajaran dan bimbingan kepada shoim untuk tidak mendholimi, menganiaya dan mencampakkan orang lain, tetapi sebaliknya memberikan perlakuan yang baik dan menyenangkan berupa apapun. Makanya, di bulan Ramadan ini sangat dianjurkan untuk, misalnya ber-shadaqoh, beramal saleh, menghindari konflik; apabila diajak orang lain untuk berkonflik maka -- sebagaimana ajaran Nabi -- berkatalah kepadanya bahwa inni shoimun (saya sedang berpuasa). Begitu juga perlakuan kepada alam semesta. Mempergunakan sumber daya alam cukup seperlunya, tanpa harus berlebihan apalagi sampai ditimbun-timbun hingga terjadi kelangkaan, sebagaimana kenyataan yang kita lihat selama ini, dan kemudian melestarikan dan merawatnya untuk anak cucu kita mendatang. Bukankan pada hakikatnya alam adalah warisan dari anak cucu kita? Oleh karenanya itu, pada bulan suci ini, umat Islam diperintahkan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok dari hasil bumi ini (zakat fitrah) untuk diberikan kepada mereka yang berhak.

Transendensi yang terjadi pada saat manusia berjarak dengan diri dan alamnya adalah bahwa mereka sedang berada dalam "situasi komunikatif" dengan Tuhan. Atau, dengan kata lain, mereka sudah memiliki kelayakan untuk berdialog dengan-Nya. Mungkin di sinilah -- apa yang orang-orang sering menyebutnya -- telah mendapatkan Lailatul Qadar.
Situasi komunikatif ini memang menjadi kebutuhan dasar manusia sebagai khalifah Allah, supaya manusia mengetahui secara persis apa sebenarnya kehendak Tuhan dengan menurunkan berbagai macam "ayat-ayat" atau tanda-tanda baik-buruk, salah-benar, senang-sedih, seperti apa yang selama ini kita saksikan bersama. Dengan begitu, perjalanan hidup ini bisa dihikmahi secara arif tanpa perlu ada keputusasaan dan frustasi.

Terkait dengsn situasi komunikatif dengan Allah itu, pernah dikisahkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi mencoba merespons tanda-tanda yang diberikan Allah kepada-Nya. Kisah ini dalam suatu riwayat terjadi sebelum Nabi berangkat Shalat ‘Id dan diriwayat yang lain mengatakan kisah ini terjadi sesudah shalat ‘Id.

Pernah diriwayatkan bahwa usai menunaikan salat Id dan bersalaman dengan para jemaah, Rasulullah saw bergegas pulang. Di jalan pulang, Rasul melihat anak-anak sedang bermain di halaman rumah penduduk. Mereka tampak riang gembira menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Pakaian mereka pun baru. Rasulullah saw mengucap salam kepada mereka, dan serentak mereka langsung mengerubuti Rasul untuk bersalaman. Sementara itu, tak jauh dari sana, di pojok halaman yang tak terlampau luas, tampak seorang anak kecil duduk sendirian sambil menahan tangis. Matanya lebam oleh air mata, tangisnya sesenggukan. Ia mengenakan pakaian bekas yang sudah sangat kotor penuh tambalan di sana-sini, compang-camping. Melihat anak kecil yang tampak tak terurus itu, Rasulullah saw segera bergegas menghampirinya. Dengan nada suara pelan penuh kebapakan, Rasulullah saw mencoba bertanya, ”Hai anak kecil, mengapa engkau menangis, tidak bermain bersama teman-temanmu?” Rupanya anak itu belum tahu bahwa yang menyapanya adalah Rasulullah saw.
Dengan ekspresi wajah tanpa dosa, ia menjawab sambil menangis, ”Wahai tuan, ayahku telah meninggal dunia di hadapan Rasulullah saw dalam sebuah peperangan. Lalu ibuku menikah lagi dan merebut semua harta warisan. Ayah tiriku sangat kejam. Ia mengusirku dari rumah. Sekarang aku kelaparan, tidak punya makanan, minuman, pakaian, dan rumah. Dan hari ini aku melihat teman-teman berbahagia, karena semua mempunyai ayah. Aku teringat musibah yang menimpa Ayah. Oleh karena itu, aku menangis.”
Seketika itu Rasulullah saw tak kuasa menahan haru mendengar cerita sedih itu. Bulir-bulir air matanya membasahi mukanya yang suci dan putih bersih penuh kelembutan itu. Rasulullah saw pun lalu memeluknya, tanpa memedulikan bau dan kotornya pakaian anak itu, sambil mengusap-usap dan menciumi ubun-ubun kepala anak itu. Lalu Rasul berkata: ”Hai anak kecil, maukah engkau sebut aku sebagai ayahmu, dan Aisyah sebagai ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husein sebagai saudara laki-lakimu, Fatimah sebagai saudara perempuanmu?” Seketika raut wajah anak itu berubah cerah. Meski agak kaget, ia tampak sangat bahagia. ”Mengapa aku tidak mau, ya Rasulullah? Rasulullah saw pun lalu membawanya pulang. Disuruhnya anak itu mandi, lalu diberikannya pakaian yang bagus dengan minyak wangi harum. Setelah itu, Rasulullah mengajaknya makan bersama. Lambat laun, kesedihan anak itu berubah menjadi kebahagiaan. Dan tak lama kemudian ia keluar dari rumah Rasul sembari tertawa-tawa gembira. Dan ia pun bermain bersama teman-teman sebayanya.
Sebelumnya kamu selalu menangis. Mengapa sekarang kamu sangat gembira?” tanya teman-temannya. Dengan gembira anak itu menjawab, “Aku semula lapar, tapi sekarang sudah kenyang, dan sekarang berpakaian bagus. Sebelumnya aku yatim, sekarang Rasulullah adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Nah, bagaimana aku tidak bergembira?”
Seandainya ayah kami gugur di jalan Allah dalam peperangan itu, niscaya kami menjadi seperti dia,” kata beberapa kawannya. Namun, kebahagiaan anak yatim itu tidak berlangsung lama. Tak lama berselang beberapa waktu setelah menunaikan haji wada’, Rasulullah saw wafat.
Sekarang aku menjadi anak yatim lagi,” katanya ambil keluar dari rumah Rasulullah dan menaburkan debu di kepalanya karena merasa sedih. Kata-kata anak itu kebetulan terdengar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang berada tak jauh dari sana. Maka ia pun lalu ditampung di rumah Abu Bakar.

Ketika hubungan antara sesama manusia dibangun dengan baik dan ketika hubungan antara manusia dengan Allah dibangun secara komunikatif, yakni merespion s dan sensitif atas kehendak atau perintah Allah, maka sebenarnya perjalanan manusia akan sampai pada titik fitri kembali (Idul Fitri), yakni sebuah peleburan atau totalitas pengabdian dan nikmatnya pasrah kepada-Nya. Di sinilah terjadinya akselerasi (percepatan)perkembangan mental dan spritual manusia yang semakin matang secara horizontal dan vertikal.

Semoga, usai Ramadan kali ini dan di awal Syawwal ini, kita semua bisa mewujudkan harapan-positif terbut bagi kebaikan di masa depan. Sebab keberhasilan manusia dalam menjalankan ibadah selama ramadhan banyak ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melestarikan nilai-nilai atau pesan moral yang terkandung di dalam bulan ramadahn pada bulan-bulan lain. Ramadhan bukanlah untuk Ramahdan, melainkan Ramahdan untuk bulan-bulan yang bukan Ramadhan. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang berhasil (minal Faizin), diterima amal-amal kita (minal Maqbulin) dan termasuk golongan orang yang bersyukur. Amin amin ya Rabbal Alamin.

Read more»»

Menguji Ketajaman Rasa Usai Puasa

Dimuat di koran Suara Karya Rabu, 2 November 2005.

Bulan Ramadan sudah hampir kita lewati. Tetapi, apakah setelah bulan Ramadan kali ini selesai, maka kemudian "puasa" kita juga selesai? Belum, sebab puasa itu harus berkelanjutan dan abadi. Di tengah perjalanan Ramadan kali ini, pernahkan kita sedikit iseng bertanya mengenai tujuan puasa; apa sebenarnya yang didapat dari ritual puasa?

Secara normatif, tujuan manusia hidup adalah mengabdi kepada Allah demi mencapai ridha-Nya, yang dinyatakan dalam sikap santun, ramah, menghormati dan saling mengasihi kepada sesama dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dalam skala apapun (sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama). Perjalanan panjang menuju ridha dan takwa amatlah jauh dan melelahkan untuk ditapaki dengan hitungan ruang (locus) dan waktu (tempus) bagi manusia. Akumulasi umur manusia terlalu pendek untuk menggapainya. Maka, diperlukan siasat dan strategi, yakni waktu yang efisien yang memungkinkan manusia melakukan transendensi-transendensi (lompatan-lompatan).

Salah satu bentuk transendensi itu adalah sebuah pengambilan jarak terhadap diri (self) dan bumi. Dan, ibadah puasa adalah pengambilan jarak itu sendiri. Puasa adalah ibadah temporal, yang dilaksanakan sebulan dalam setahun, dimulai dari fajar dan diakhiri hingga bedug maghrib.

Ibadah puasa sebenarnya ibadah yang netral. Puasa berorientasi mengantarkan pelakunya pada kebenaran atau sebaliknya, yakni hanya 30 hari cerita kelaparan dan kehausan saban siang. Tak lebih dari itu. Oleh karena itu, maka belum tentu jika puasa benar-benar menjadikan pelakunya bertakwa, kecuali jika shoim (pelaku puasa) memiliki niat dan tujuan yang benar terlebih dahulu. Tanpa niat dan tujuan yang benar, yang didapat hanyalah kenyataan-kenyataan yang naif. Yakni sebagaimana kita saksikan selama ini, sikap beragama yang anarkis, cara beribadah yang pilih-pilih, setengah-setengah, perilaku bergaul dengan masyarakat yang mau menang sendiri, etika berpolitik yang menghalalkan segala cara, sikap bersosial yang merendahkan orang lain (the other), cara berekonomi yang rakus tanpa perhitungan, cara berbudaya yang tanpa muatan nilai sema sekali (meaningless).

Ini sama sekali bukan "buah" dari puasa. Ini semua akibat dari tidak menginternalnya ibadah puasa dalam diri kita, sehingga tak sanggup diejawantahkan dalam perilaku dan sikap sehari-hari. Mungkin dari sinilah, apa yang Nabi Muhammad katakan sebagai sebuah kritik kepada umatnya menjadi kenyataan, yakni bahwa "banyak di antara umatKu yang melakukan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga" (Kam min shoimin laisa lahu min shiyaihi illa l-juu' wal athos).

Manusia tidak akan menyerap dan menyadari nilai apa pun tanpa sebelum dia bersedia mengambil jarak dengannya. Puasa adalah ibadah dalam rangka mengambil jarak dengan diri (self distance) dan bumi. Dan, ini adalah -- meminjam istilah Miranda Risang Ayu -- penghangusan ego, supaya yang sujud tidak hanya dahi, tetapi juga jiwa, hati dan kesadaran. Dengan begitu kita bisa menyadari tentang nilai diri (mengenal dan mengendalikan diri) dan nilai sumber daya alam, sebagai medan operasionalnya. Di sinilah latihan mengasah ketajaman rasa dimulai. Berpuasa berarti berhenti melayani tuntutan jiwa dan raga dalam waktu tertentu dan berhenti menguras hasil bumi. Di sini, shoim (pelaku puasa) akan mengenal betapa lemah dirinya dan betapa tingginya nilai sumber daya alam (bumi) bagi pertumbuhan energi manusia.

Tanpa puasa, manusia tidak akan pernah terasah ketajaman rasa-nya kalau dirinya itu lemah. Sehingga, tak heran, jika manusia sering membusungkan dada dan merasa lebih tinggi dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ini menyebabkan tiada henti-hentinya manusia mengekploitasi sesama manusia ataupun menguras isi bumi tanpa memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi jauh ke depan (tamak). Perlakuan-perlakuan anarkis, kekerasan dan amoral pun akhirnya terjadi: korupsi, penghancuran, pemboman, illegal logging, ekploitasi sumber daya bumi tanpa perhitungan pemeliharaannya dan keseimbangan ekologinya dan sebagainya. Di sini, bagi Asghar Ali Engineer -- dalam bukunya On Deveolping Theology of Peace -- menjadi sensitif merupakan pokok ibadah. Puasa bermakna membuat seseorang menjadi peka (sensitif), sebab hanya jiwa yang sensitiflah yang dapat menghadapi dan melawan ketidakbenaran dan ketidakadilan.

Kesadaran mengetahui dan merasakan diri yang lemah (dhaif) ini akan memberikan pelajaran dan bimbingan kepada shoim untuk tidak mendholimi, menganiaya dan mencampakkan orang lain, tetapi sebaliknya memberikan perlakuan yang baik dan menyenangkan berupa apapun. Makanya, di bulan Ramadan ini sangat dianjurkan untuk, misalnya ber-shadaqoh, beramal saleh, menghindari konflik; apabila diajak orang lain untuk berkonflik maka -- sebagaimana ajaran Nabi -- berkatalah kepadanya bahwa inni shoimun (saya sedang berpuasa).

Begitu juga perlakuan kepada alam semesta. Mempergunakan sumber daya alam cukup seperlunya, tanpa harus berlebihan apalagi sampai ditimbun-timbun hingga terjadi kelangkaan, sebagaimana kenyataan yang kita lihat selama ini, dan kemudian melestarikan dan merawatnya untuk anak cucu kita mendatang. Bukankan pada hakikatnya alam adalah warisan dari anak cucu kita? Oleh karenanya itu, pada bulan suci ini, umat Islam diperintahkan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok dari hasil bumi ini (zakat fitrah) untuk diberikan kepada mereka yang berhak.

* * *

Menurut Muhammad Zuhri -- salah seorang ahli tasawuf -- transendensi yang terjadi pada saat manusia berjarak dengan diri dan alamnya adalah bahwa mereka sedang berada dalam "situasi komunikatif" dengan Tuhan. Atau, dengan kata lain, mereka sudah memiliki kelayakan untuk berdialog dengan-Nya. Mungkin di sinilah -- apa yang orang-orang sering menyebutnya -- telah mendapatkan Lailatul Qadar.

Situasi komunikatif ini memang menjadi kebutuhan dasar manusia sebagai khalifah Allah, supaya manusia mengetahui secara persis apa sebenarnya kehendak Tuhan dengan menurunkan berbagai macam "ayat-ayat" atau tanda-tanda baik-buruk, salah-benar, senang-sedih, seperti apa yang selama ini kita saksikan bersama. Sebut saja tragedi yang tiada henti-hentinya (dari bencana tsunami, tanah longsor, kecelakaan, pemboman dan lain-lain). Dengan begitu, perjalanan hidup ini bisa dihikmahi secara arif tanpa perlu ada keputus-asaan dan frustasi.

Di sinilah sebenarnya perjalanan manusia akan sampai pada titik fitri kembali (Idul Fitri). Sebuah titik terjadinya akselerasi perkembangan mental dan spritual manusia yang semakin matang. Semoga, usai Ramadan kali ini, kita semua bisa mewujudkan harapan-positif bagi kebaikan di masa depan. Amin.

Read more»»

Memaknai Simbol-Simbol Haji

Tabliod Khalifah, edisi 77/Th III/20 Desember – 2 Januari 2007/10-23 Dzulhijjah 1428 H.

Setiap agama memiliki sistem ritual dan sistem nilai, tak terkecuali Islam. Kedua sistem ini merupakan dua hal penting dalam agama. Agama yang hanya dibangun di atas sistem ritual hanya akan menjadikan agama hampa dan semu. Sebab sistem nilai itulah yang pada hakikatnya akan menentramkan dan menunjukkan ‘jalan yang benar’ bagi pemeluk agama.

Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam Islam. Pelaksanaan haji tanpa menyelami nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku haji tersebut. Maka janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji, tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil, masih suka mendhalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya penghayatan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam ritual haji.

Singkatnya, haji diharapkan dapat membekas di dalam jiwa pelakunya melalui upaya-upaya peresapan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. Tetapi, nilai-nilai yang diresapi itu juga bisa melahirkan dampak positif dalam bentuk hasil nyata yang diaktualisasikan ke dalam bentuk amaliah positif kehidupan nyata.

Sebab, kata Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan ke Makah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu di padang Arafah, yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan surga. Akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah.

***
Hampir setiap jenis ritual memuat simbol-simbol, begitu juga dengan ibadah haji. Untuk menyelami dan menghayati nilai-nilai haji, pelaku haji mau tidak mau harus mampu menyingkap makna di balik simbol-simbol haji. Di antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah, ihram, sa’i, wukuf di ‘Arafah.

Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran jika Gus Mus sering menyebut haji sebagai gladi resik kematian.

Apa sebenarnya makna pakaian ihram warna putih itu ? Para pelaku haji (hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Meraka mendatangi baitullah (Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya harus dilandasi kesucian hati dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun kecuali hanya memenuhi panggilan Allah. Semua hujjah diharuskan menggunakan pakaian ihram yang berwarna putih. Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, tama-tamu itu diperlakukan sama, tidak ada perbedaan. Semuanya berpakaian putih, kaya-miskin, tua-muda, semuanya berstatus sama.

Di dalam berpakaian ihram, hujjaj pun dikenai peraturan yang ketat, misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh, tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain. Larangan-larangan itu pada hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna batas, larangan atau tabu.

Sa’i, atau lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa merupakan dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan hidup, sebagaimana Hajar ketika kehauasan dan tidak menemukan adanya tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya mendapatkan sumber mata air.

Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit Safa—Safa artinya cinta kasih kepada sesame dan diakhiri di bukit Marwa (Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya Sa’I mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyanyangi sesama hingga muncullah kedamaian kemanudiaan yang ideal.

Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Mahaesa. Tidak ada perbedaan sama sekali. Yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.

Di Arafah, hujjaj dianjurkan untuk berdoa seharian penuh pada hari ke sembilan bulan Dzulhijjah. Arafah berarti pengetahuan (ma’rifah). Saat wukuf di Arafah adalah saat musyahadah atau ma’rifah, yakni suatu kondisi keimanan yang sempurna dan kehangatan cinta yang membara kepada-Nya. Dengan keterbakaran cinta, Hujjaj akan mengalami fana' (lebur dirinya dan hilang sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang dicintainya. Hujjaj akan iri kepada segala sesuatu, walaupun kepada matanya sendiri. Berangkat menuju Arafah berarti berangkat menuju keasyikan berdialog dengan Allah. di sinilah komunikasi terbangun antara hujjah dan Allah sehingga hujjaj bisa mengetahui ‘kehendak-kehendak’ Allah yang kemudian dijalankan di muka bumi.

***

Itulah sebagian dari simbol-simbol haji yang penting untuk dikuak maknanya. Islam bukanlah agama ritual belaka tetapi Islam adalah agama keimanan, yang memiliki nilai-nilai pengabdian dan amal. Nilai-nilai pengabdian dan amal yang diambilkan dari pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut harus diekspresikan dalam konteks bermasyarakat di mana setiap individu terlibat di dalamnya. Apabila hujjaj mampu melakukan hal ini, kiranya dalam setiap tahun akan lahir reformis-reformis sejati untuk menegakkan ‘kehendak-kehendak’ Tuhan di muka bumi. Semoga.

Read more»»