SELAMAT DATANG DI WEBSITE HAMAM FAIZIN. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA..... Naja, Naila dan Akma...anak-anak lucu dan mungil: Idul Fitri Meningkatkan Komunikasi dengan Tuhan

Idul Fitri Meningkatkan Komunikasi dengan Tuhan

Jama’ah Shalat ‘Idul Fitri yang berbahagia.
pertama-tama marilah kita panjatkan rasa syukur alhamdulillah kita kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat iman, islam dan kesehatan kepada kita semua, sehingga pada pagi hari yang cerah ini, kita semua bisa berkumpul di musholla dalam suasana yang bahagia, guna menunaikan ibadah shalat idul fithri dan mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil.

Seiring ditabuhnya bedug maghrib sore kemarin, umat Islam di seluruh dunia menyambut kedatangan ‘Idul Fitri. Penyambutan ini sekaligus menandai selesainya ibadah puasa Ramadhan. Kalimat takbir, tahmid dan tahlil telah bergema, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid, dari musholla ke musholla.

Bahkan secara tidak sengaja batin kita yang paling dalampun terpanggil untuk ikut bergumam melantuntan takbir, tahmid dan tahlil di sela-sela kesibukan kita mengurusi persiapan merayakan idul fitri

Hari ini, takbir pengangungan Allah berkumandang di seluruh dunia, di seluruh pelosok tanah dimana muslim berada, semuanya mengagungkan Allah, satu milyar seperempat muslim di dunia ini semuanya mengumandangkan takbir bersyukur kepada Allah.

Perintah untuk membesarkan nama Allah ini termaktub di dalam berfirman-Nya: (QS Al-Baqarah : 185) “Dia menghendaki agar kalian menyempurnakan hari puasa yang telah ditentukan, dan bertakbirlah, mengagungkan nama Allah atas petunjuk-Nya, dan kiranya kalian bersyukur.”

Kedua, sholawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallah yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya, menuntun kita menjadi sebaik-baiknya umat manusia, maka sepatutnyalah kita selalu bersholawat dan memanjatkan salam kepada beliau, sebagaimana Allah dan para malaikatnya pun selalu bersholawat kepada beliau:”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”


Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar Walillahil hamd
Jama'ah sholat ‘Idul fitri yang dimuliakan Allah.

Pagi hari ini umat Islam di seluruh dunia sedang merayakan hari kemenangan, yakni hari raya ‘idul fitri. Hari Raya Idul Fitri ini akan benar-benar menjadi kemenangan, tidak hanya ketika umat Islam lulus dalam manahan makan dan segala yang membetalkan puasa selama 30 hari di bulan Ramadhan, tetapi lebih dari pada itu, yakni merenungi dan menghayati pesan moral yang terkandung di dalam rangkaian kegiatan selama Ramadhan. Dengan begitu, puncak kemenangan pada hari Raya Idul fitri ini bisa dijadikan momentum refleksi demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Tanpa adanya perenungan dan penghayatan untuk mengambil pesan moral hari Raya Idul fitri, rasa-rasanya idul fitri hanya menjadi perayaan ritual-formalitas tahunan belaka, tanpa menyentuh aspek-aspek spiritual-ilahiyah. Oleh sebab itu, khutbah pada bagi hari ini, akan mencoba mengajak para jamaah untuk memasuki pesan-pesan moral tersebut.

Jama’ah shalat ‘Idul Fitri Rahimakumullah

Coba kita perhatikan secara saksama, hari raya Idul Fitri kali ini memang berbeda dengan hari Raya Idul Fitri 10 atau 20 tahun yang lalu. ‘Idul Fitri yang diramaikan dengan kegiatan saling memaafkan, halal menghalalkan, saling meleburkan dosa di antara satu dengan yang lainnya, menjadi hal yang mudah dilakukan. Hal ini paling tidak disebabkan dengan canggihnya teknologi komunikasi antara manusia.

Mulai dari telepon hingga internet yang menawarkan dengan berbagai vasilitasnya. Telpon seluler dengan berbagai jaringannya yang luas menawarkan kepada kita semua akan kecanggihannnya. Hanya dengan biaya yang sedikit, kita bisa berkomunikasi berjam-jam. Jarak sudah tidak menjadi halangan bagi lancarnya komunikasi antara sesama manusia. Walhasil, setelah didukung dengan teknologi, kegiatan saling memafkan, yang menjadi bagian dari tradisi di dalam Idul Fitri, sudah tidak menjadi halangan lagi. Dengan mengirimkan sms (short message service) ataupun dengan email, kepada orang yang kita tuju, kegiatan saling memafkan dan melebur segala dosa antar semsa dengan mudah bisa berjalan. Fenomena ini, menunjukkan kepada kita semua bahwa dari sudut teknologi komunikasi, betapa komunikatifnya hubungan antara manusia dengan manusia.

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar walillahil hamd
Jamaa’ah shalat Idul Fitri yang berbahagia
Pertanyaan yang kemudian patut diajukan, terkait dengan sudah begitu canggihnya teknologi komunikasi sehingga hubungan antara manusia bisa dibangun dengan baik adalah sudah berapa komunikatif hubungan kita dengan Allah selama ini?

Membangun hubungan yang komunikatif dengan Allah bukan berarti bicara langsung empat mata dengan Allah, tetapi mencoba merespons dan sensitif terhadap Amr (kehendak) Allah dalam artian yang seluas-luasnya. Sebab memang manusia tidak mungkin mampu berhadapan dan berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Nabi Musa saja jatuh pingsan ketika melihat cahaya Allah yang berada di balik gunung, ketika Allah berkomunikasi dengannya.

Pertama-tama harus kita sadari terlebih dahului bahwa cara komunikasi kita dengan dengan Allah berbeda dengan cara komunikasi kita dengan sesama. Allah berbeda dengan makluknya. Kalau kamunikasi antar sesama tidak terjaling dengan baik, itu berarti ada banyak kemungkinan yang salah, pertama orang yang berkomunikasi tidak mampu menyampaikan pesan, kedua orang yang diajak berkomunikasi tidak mampu memahami pesan dan ketiga karena perantaranya tidak sanggup membawa pesan sehingga pesan itu tidak tersampaikan. Hal ini berbeda dengan komunikasi antara manusia dengan Allah. Apabila komunikasi antara manusia dan Allah tidak tercipta dengan baik, pasti yang salah adalah manusianya. Manusia tidak mampu merespons amar Allah.
Bagiamana membangun komunikasi yang baik dengan Allah? Salah satunya adalah dengan berpuasa.
Jamaa’h Shalat ‘Id yang berbahagia
Secara normatif, tujuan manusia hidup adalah mengabdi kepada Allah demi mencapai ridha-Nya, yang dinyatakan dalam sikap santun, ramah, menghormati dan saling mengasihi kepada sesama dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dalam skala apapun (sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama). Sebagaimana yang difirmankan di dalam surah ad-Dzariyat 56: artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Mengabdi atau beribadah kepada Allah merupakan sifat alamiyah atau sifat fitri manusia, yakni sifat yang melekat ketika pertama kali manusia diciptakan. Ketika pertama kali manusia diciptakan Allah bertanya kepada ruh-ruh manusia: Artinya: "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi".Tidak ada satu manusiapun di dunia yang tidak mengakui bahwa pencipta dunia adalah Allah. Watak dasar manusia adalah beriman dan diciptakan sebagai makhluk yang beribada kepada Allah. Namun kenapa ada manusia yang tidak loyal kepada Allah, padahal ia telah memiliki piotensi makhluk yang beriman.

Karakter manusia ketika masih sebagai ruh mamang demikian halnya. Namun ketika ruh sudah dipertemukan dengan jasad, kemudian menghirup udara dunia, masalahnya menjadi lain. sebab ruh masih tetap dalam watak asli (fitrah), sementara jasad mulai tergoda dengan tuntutan kenikmatan dunia yang bersifat sesaat. Disinilah mulai terjadi tarik menarik antara kepentingan ruhani dan jasmani, antara kepentingan ukhrawi dan duniawi. Pergulatan dua kutub kepentingan ini akan tetap berlanjut samapai manusia meninggal dunia.
Manusia memang diberi hak kebebasan oleh Allah untuk menentukan pilihan mana yang dia kehendakai. Ia dapat memiliki kepentingan ruhani atau jasmani. Dalam kaitan ini Allah berfimran: Dua jalan ini adalah jalan kebajikan (ruhani) dan jalan kejahatan (jasmani). Apabila manusia mampu mengalahkan kepentingan jasmaninya, maka karekater ruhaninya akan mendominasi hidup kesehariannnya hingga ia akan tampil sebagai sosok manusia dengan segala watak kemanusiaannuya. Tapi manakala ia tidak mampu mematahkan kepentingan jasmanisnya, sirnalah segala watak kemausniaannya. Ia lebih didominasi oleh watak kebinatangan yang hanya memiliki watak jasmani daripada sebagai manusia.

Perjalanan panjang menuju ridha dan takwa atau perjalanan ruhani amatlah jauh dan melelahkan untuk ditapaki dengan hitungan ruang (locus) dan waktu (tempus) bagi manusia. Akumulasi umur manusia terlalu pendek untuk menggapainya. Maka, diperlukan siasat dan strategi, yakni waktu yang efisien yang memungkinkan manusia melakukan transendensi-transendensi (lompatan-lompatan).

Salah satu bentuk transendensi itu adalah sebuah pengambilan jarak terhadap diri (self) dan bumi. Pengambilan jarak terhadap diri sendiri dan bumi yang dimaksud di sini adalah ibadah puasa.
Ibadah puasa sebenarnya ibadah yang netral. Puasa berorientasi mengantarkan pelakunya pada kebenaran atau sebaliknya, yakni hanya 30 hari cerita kelaparan dan kehausan saban siang. Tak lebih dari itu. Oleh karena itu, maka belum tentu jika puasa benar-benar menjadikan pelakunya bertakwa, kecuali jika shoim (pelaku puasa) memiliki niat dan tujuan yang benar terlebih dahulu. Tanpa niat dan tujuan yang benar, yang didapat hanyalah kenyataan-kenyataan yang naif. Yakni sebagaimana kita saksikan selama ini, sikap beragama yang anarkis, cara beribadah yang pilih-pilih, setengah-setengah, perilaku bergaul dengan masyarakat yang mau menang sendiri, etika berpolitik yang menghalalkan segala cara, sikap bersosial yang merendahkan orang lain (the other), cara berekonomi yang rakus tanpa perhitungan, cara berbudaya yang tanpa muatan nilai sema sekali (meaningless).

Ini sama sekali bukan "buah" dari puasa. Ini semua akibat dari tidak menginternalnya ibadah puasa dalam diri kita, sehingga tak sanggup diejawantahkan dalam perilaku dan sikap sehari-hari. Mungkin dari sinilah, apa yang Nabi Muhammad katakan sebagai sebuah kritik kepada umatnya menjadi kenyataan, yakni bahwa "banyak di antara umatKu yang melakukan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga" (Kam min shoimin laisa lahu min shiyaihi illa l-juu' wal athos).
Manusia tidak akan menyerap dan menyadari nilai apa pun tanpa sebelum dia bersedia mengambil jarak dengannya. Puasa adalah ibadah dalam rangka mengambil jarak dengan diri (self distance) dan bumi. Dan, ini adalah penghangusan ego, supaya yang sujud tidak hanya dahi, tetapi juga jiwa, hati dan kesadaran. Dengan begitu kita bisa menyadari tentang nilai diri (mengenal dan mengendalikan diri) dan nilai sumber daya alam, sebagai medan operasionalnya. Di sinilah latihan mengasah ketajaman rasa dimulai. Berpuasa berarti berhenti melayani tuntutan jiwa dan raga dalam waktu tertentu dan berhenti menguras hasil bumi. Di sini, shoim (pelaku puasa) akan mengenal betapa lemah dirinya dan betapa tingginya nilai sumber daya alam (bumi) bagi pertumbuhan energi manusia. Dan lemah merupakan sifat fitri manusia sebagaimana difirmankan di dalam surah an-Nisa ayat 28: artinya: dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Tanpa puasa, manusia tidak akan pernah terasah ketajaman rasanya kalau dirinya itu lemah. Sehingga, tak heran, jika manusia sering membusungkan dada dan merasa lebih tinggi dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Ini menyebabkan tiada henti-hentinya manusia mengekploitasi sesama manusia ataupun menguras isi bumi tanpa memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi jauh ke depan (tamak). Perlakuan-perlakuan anarkis, kekerasan dan amoral pun akhirnya terjadi: korupsi, penghancuran, pemboman, illegal logging, ekploitasi sumber daya bumi tanpa perhitungan pemeliharaannya dan keseimbangan ekologinya dan sebagainya. Di sini, menjadi sensitif terhadap Amar Allah merupakan pokok ibadah.

Puasa bermakna membuat seseorang menjadi peka (sensitif), sebab hanya jiwa yang sensitiflah yang dapat menghadapi dan melawan ketidakbenaran dan ketidakadilan.

Kesadaran mengetahui dan merasakan diri yang lemah (dhaif) ini akan memberikan pelajaran dan bimbingan kepada shoim untuk tidak mendholimi, menganiaya dan mencampakkan orang lain, tetapi sebaliknya memberikan perlakuan yang baik dan menyenangkan berupa apapun. Makanya, di bulan Ramadan ini sangat dianjurkan untuk, misalnya ber-shadaqoh, beramal saleh, menghindari konflik; apabila diajak orang lain untuk berkonflik maka -- sebagaimana ajaran Nabi -- berkatalah kepadanya bahwa inni shoimun (saya sedang berpuasa). Begitu juga perlakuan kepada alam semesta. Mempergunakan sumber daya alam cukup seperlunya, tanpa harus berlebihan apalagi sampai ditimbun-timbun hingga terjadi kelangkaan, sebagaimana kenyataan yang kita lihat selama ini, dan kemudian melestarikan dan merawatnya untuk anak cucu kita mendatang. Bukankan pada hakikatnya alam adalah warisan dari anak cucu kita? Oleh karenanya itu, pada bulan suci ini, umat Islam diperintahkan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok dari hasil bumi ini (zakat fitrah) untuk diberikan kepada mereka yang berhak.

Transendensi yang terjadi pada saat manusia berjarak dengan diri dan alamnya adalah bahwa mereka sedang berada dalam "situasi komunikatif" dengan Tuhan. Atau, dengan kata lain, mereka sudah memiliki kelayakan untuk berdialog dengan-Nya. Mungkin di sinilah -- apa yang orang-orang sering menyebutnya -- telah mendapatkan Lailatul Qadar.
Situasi komunikatif ini memang menjadi kebutuhan dasar manusia sebagai khalifah Allah, supaya manusia mengetahui secara persis apa sebenarnya kehendak Tuhan dengan menurunkan berbagai macam "ayat-ayat" atau tanda-tanda baik-buruk, salah-benar, senang-sedih, seperti apa yang selama ini kita saksikan bersama. Dengan begitu, perjalanan hidup ini bisa dihikmahi secara arif tanpa perlu ada keputusasaan dan frustasi.

Terkait dengsn situasi komunikatif dengan Allah itu, pernah dikisahkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi mencoba merespons tanda-tanda yang diberikan Allah kepada-Nya. Kisah ini dalam suatu riwayat terjadi sebelum Nabi berangkat Shalat ‘Id dan diriwayat yang lain mengatakan kisah ini terjadi sesudah shalat ‘Id.

Pernah diriwayatkan bahwa usai menunaikan salat Id dan bersalaman dengan para jemaah, Rasulullah saw bergegas pulang. Di jalan pulang, Rasul melihat anak-anak sedang bermain di halaman rumah penduduk. Mereka tampak riang gembira menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Pakaian mereka pun baru. Rasulullah saw mengucap salam kepada mereka, dan serentak mereka langsung mengerubuti Rasul untuk bersalaman. Sementara itu, tak jauh dari sana, di pojok halaman yang tak terlampau luas, tampak seorang anak kecil duduk sendirian sambil menahan tangis. Matanya lebam oleh air mata, tangisnya sesenggukan. Ia mengenakan pakaian bekas yang sudah sangat kotor penuh tambalan di sana-sini, compang-camping. Melihat anak kecil yang tampak tak terurus itu, Rasulullah saw segera bergegas menghampirinya. Dengan nada suara pelan penuh kebapakan, Rasulullah saw mencoba bertanya, ”Hai anak kecil, mengapa engkau menangis, tidak bermain bersama teman-temanmu?” Rupanya anak itu belum tahu bahwa yang menyapanya adalah Rasulullah saw.
Dengan ekspresi wajah tanpa dosa, ia menjawab sambil menangis, ”Wahai tuan, ayahku telah meninggal dunia di hadapan Rasulullah saw dalam sebuah peperangan. Lalu ibuku menikah lagi dan merebut semua harta warisan. Ayah tiriku sangat kejam. Ia mengusirku dari rumah. Sekarang aku kelaparan, tidak punya makanan, minuman, pakaian, dan rumah. Dan hari ini aku melihat teman-teman berbahagia, karena semua mempunyai ayah. Aku teringat musibah yang menimpa Ayah. Oleh karena itu, aku menangis.”
Seketika itu Rasulullah saw tak kuasa menahan haru mendengar cerita sedih itu. Bulir-bulir air matanya membasahi mukanya yang suci dan putih bersih penuh kelembutan itu. Rasulullah saw pun lalu memeluknya, tanpa memedulikan bau dan kotornya pakaian anak itu, sambil mengusap-usap dan menciumi ubun-ubun kepala anak itu. Lalu Rasul berkata: ”Hai anak kecil, maukah engkau sebut aku sebagai ayahmu, dan Aisyah sebagai ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husein sebagai saudara laki-lakimu, Fatimah sebagai saudara perempuanmu?” Seketika raut wajah anak itu berubah cerah. Meski agak kaget, ia tampak sangat bahagia. ”Mengapa aku tidak mau, ya Rasulullah? Rasulullah saw pun lalu membawanya pulang. Disuruhnya anak itu mandi, lalu diberikannya pakaian yang bagus dengan minyak wangi harum. Setelah itu, Rasulullah mengajaknya makan bersama. Lambat laun, kesedihan anak itu berubah menjadi kebahagiaan. Dan tak lama kemudian ia keluar dari rumah Rasul sembari tertawa-tawa gembira. Dan ia pun bermain bersama teman-teman sebayanya.
Sebelumnya kamu selalu menangis. Mengapa sekarang kamu sangat gembira?” tanya teman-temannya. Dengan gembira anak itu menjawab, “Aku semula lapar, tapi sekarang sudah kenyang, dan sekarang berpakaian bagus. Sebelumnya aku yatim, sekarang Rasulullah adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Nah, bagaimana aku tidak bergembira?”
Seandainya ayah kami gugur di jalan Allah dalam peperangan itu, niscaya kami menjadi seperti dia,” kata beberapa kawannya. Namun, kebahagiaan anak yatim itu tidak berlangsung lama. Tak lama berselang beberapa waktu setelah menunaikan haji wada’, Rasulullah saw wafat.
Sekarang aku menjadi anak yatim lagi,” katanya ambil keluar dari rumah Rasulullah dan menaburkan debu di kepalanya karena merasa sedih. Kata-kata anak itu kebetulan terdengar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang berada tak jauh dari sana. Maka ia pun lalu ditampung di rumah Abu Bakar.

Ketika hubungan antara sesama manusia dibangun dengan baik dan ketika hubungan antara manusia dengan Allah dibangun secara komunikatif, yakni merespion s dan sensitif atas kehendak atau perintah Allah, maka sebenarnya perjalanan manusia akan sampai pada titik fitri kembali (Idul Fitri), yakni sebuah peleburan atau totalitas pengabdian dan nikmatnya pasrah kepada-Nya. Di sinilah terjadinya akselerasi (percepatan)perkembangan mental dan spritual manusia yang semakin matang secara horizontal dan vertikal.

Semoga, usai Ramadan kali ini dan di awal Syawwal ini, kita semua bisa mewujudkan harapan-positif terbut bagi kebaikan di masa depan. Sebab keberhasilan manusia dalam menjalankan ibadah selama ramadhan banyak ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melestarikan nilai-nilai atau pesan moral yang terkandung di dalam bulan ramadahn pada bulan-bulan lain. Ramadhan bukanlah untuk Ramahdan, melainkan Ramahdan untuk bulan-bulan yang bukan Ramadhan. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang berhasil (minal Faizin), diterima amal-amal kita (minal Maqbulin) dan termasuk golongan orang yang bersyukur. Amin amin ya Rabbal Alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar