Hatim Gazali under Artikel
Seorang tokoh termuka dalam Gereja Protestan, Hendrik Kraemer, mengemukakan bahwa agama sudah memasuki periode krisis. Pandangan semacam ini tidak saja dikemukakan oleh oleh Henderik. Juga Dr. Malachi Martin, Guru Besar Pontifical Biblical Institute, Roma, dalam penelitiannya penelitian selama bertahun-tahun terhadap tiga agama besar (Abrahamic Religion; Yahudi, Kristen, Islam) yang dikemukakan dalam bukunya The Encounter dengan sub judul Religions in Crisis, menyimpulkan bahwa agama telah memasuki daerah yang sangat kering baik sebagai personal concern maupun sebagai communal community. Zaman keberhasilan agama sudah berakhir. Ungkapan semacam itu tidak serta merta tanpa alasan yang rasional. Hal ini disebabkan karena agama das solen dengan das sein-nya tidak sejalan. Agama yang sejatinya sebagai way of live (hudan), kohesi sosial (Auguste Comte), to humanize human being (memanusiakan manusia) justru dijadikan untuk alat menindas, legitimasi penguasa untuk menjalankan otoritas dan kekuasannya, menimbulkan konflik sosial. Konflik agama yang terjadi di Situbondo, Aceh, Ambon dan dibeberapa daerah lainnya pada beberapa tahun yang lalu merupakan bukti kuat bahwa agama telah kehilangan daya kritisnya. Karena agama, manusia siap dan mempertaruhkan darah, nyawa dan harta. Fungsi agama sebagai pembebasan, keselamatan telah sirna. Ketika itulah, menurut Robert Ackermann (1991) merupakan lonceng kematian agama.
Maka dari itu, merevisi agama sebagai upaya mengembalikan nilai-nilai profetiknya adalah niscaya. Inilah yang dibahasakan oleh Toynbee sebagai agama masa depan. Baginya, karena agama yang ada sekarang terbukti tidak lagi memuaskan, maka agama masa depan, versi baru dari agama lama, merupakan kebutuhan yang urgen (mendesak). Agama masa depan ini dalam pandangan Toynbee harus melawan segala bentuk keserakahan, ketidakadilan sosial, peperangan. Dengan kata lain, agama harus bisa menghantarkan penganutnya kepada kesejahteraan, berperan efektif di dalam melakukan perubahan-perubahan sosial, penegakan keadilan, pembebasan terhadap kelompok-kelompok yang tertindas (al-mustadh’afin). Agama menjadi jalan ke arah mana transformasi sosial itu ditujukan. Agama tidak saja melampirkan ajaran mengenai ketuhanan dan aspek eskatologi lainnya, melainkan juga fungsional dalam merekayasa perubahan sosial. Dus, agama harus muncul sebagai kekuatan revolusioner dan liberatif.
***
Agama kehilangan fungsionalnya ditengah arus perubahan zaman ini disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua aspek. Pertama, agama telah disalahgunakan oleh penguasa negara dan para pimpinan organisasi keagamaan. Agama digunakan untuk membius masyarakat (to opiate), sehingga masyarakat kehilangan kesadaran diskriminasi, ketidakadilan menimpa dirinya. Baik penguasa negara ataupun pimpinan organiasasi keagamaan seringkali menggunakan legitimasi agama untuk menyokong kebijakan-kebijakan politiknya. Di pundak para penguasa, agama mengalami proses politisasi yang tidak ketulungan, hanya untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Padahal, sekali sebuah agama diseret untuk memasuki wilayah struktur formal kehidupan politik, maka ia akan berhadapan dengan agama lain yang direbut lahan aktualisasi politiknya.
Para agamawan dan fungsionaris agama acap terlibat dalam upaya penampilan wajah agama yang garang, keras, dan sangar. Tafsir eksklusif dan retorika “panas” yang lazim dikeluarkan oleh agamawan adalah indikatornya yang cukup mencolok. Kolaborasi agama dan negara (kekuasaan) sepanjang sejarah manusia selalu menyisakan banyak persoalan. Misalnya, Buddha di India saat Caisar Asoka, Kristen di Eropa pada masa Konstantinus Agung, Kong Hu Cu di bawah kekuasaan dinasti Han (206-221 SM) dan agama-agama lainnya. Kesemuanya, menjadikan agama sebagai kekuatan para penguasa.
Kedua, kurang memadainya tafsir dan upaya untuk menyelaraskan antara yang das solen dengan das sein. Agama diposisikan dan diyakini sebagai sekumpulan doktrin yang sudah sempurna, final, karenanya ia bersifat a-histroris dan a-sosiologis. Doktrin agama harus langsung dilaksanakan tanpa perlu berfikir tentang apa dan mengapa. Padahal, agama merupakan kenyataan sejarah yang berproses dan menyatu dalam perkembangan sejarah manusia. Ketika agama sudah masuk dalam runagan sejarah manusia, ia tidak berada dalam keadaan hampa budaya tetapi ia masuk dalam arus pergumulan sosial-budaya dengan segala akar latar bekalang dan setting historis yang digerakkan oleh pemahaman dan penafsiran umatnya.
***
Melihat fenomena diatas, maka mengembalikan nilai-nilai dan peran-fungsi agama adalah niscaya. Sebab, bagaimanapun agama –dalam pengertian Weber a spiritual being—adalah inhern dalam diri manusia. Namun, karena arus globalisasi dan semakin kuatnya cengkraman kuku kapitalisme, diakui atau tidak, telah menyingkirkan posisi agama didalam masyarakat. Agama, setidak-tidaknya bagi Karen Amstrong, ketika tidak bisa memberikan makna bagi manusia maka ia telah mati. Kematian agama ini lebih banyak dikarenakan tidak tersambungnya ajaran-doktrin agama dengan realitas dan keutuhan manusia kekinian.
Masyarakat modern yang di set-up oleh dunia sebagai manusia yang pragmatis, telah memandang agama secara reduktif dan simplifikatif. Akibatnya, agama dipandang sebagai sesuatu yang profan sebagaimana halnya astrologi, kimia. Karenanya dapat ditangani secara ilmiyah. Tidak ada nilai sakralitas dalam agama. Semuanya rasional. Berbeda halnya dengan masyarakat primitif yang memandang bahwa agama itu terlalu suci untuk ditangani manusia secara ilmiah.
Agama edisi revisi ini berupaya menempatkan dan mengembalikan nilai-nilai sakral dari agama ke dalam kehidupan manusia. Artinya, dua pandangan diatas tidak boleh tidak harus dikompromikan dengan memadukan unsur baik dan membuang unsur negatifnya. Unsur baiknya adalah penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap agama dan membedakannya dengan benda-benda biasa, dan juga mungkinnya dikelola secara ilmiah. Jeleknya, menyamakan agama dengan benda-benda lain, juga tiadanya sikap berani untuk menggarap agama secara ilmiah, karenanya ia tak tersentuh oleh manusia.
Atas semua hal itu, agama harus disterilkan dalam batas yang sangat minimal dari tujuan pencapaian target-target ekonomi-politik oleh para penguasa agama dan negara. Dalam konteks inilah, maka kontrol dan kritik secara terus-menerus terhadap para penguasa tersebut menjadi signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar