Oleh: Asghar Ali Engineer
Judul: Modern Muslim Intelectual and the Qur’an.
Editor: Suha Taji-Farouki.
Penerbit: Oxford University Press 2004.
Tebal: 342 halaman.
ISBN 0-19-720002-8.
Telah muncul perbedaan antara ulama, sarjana atau intelektual muslim modern dalam menafsirkan dan memahami al-Qur'an. Perbedaan-perbedaan ini cenderung mendasar dan oleh kerena perbedaan tersebut sarjana Islam atau intelektual modern ini diperlakukan tidak adil di sejumlah negara Islam.
Dalam negara-negara tersebut, berbeda dengan ulama resmi (negara) berarti heretik (bid’ah) dan harus dihukum. Intoleransi ini lebih bersifat manusia ketimbang Islami. Ulama-ulama resmi (negara) tersebut khawatir jika apa yang dikatakan oleh para intelektual muslim lebih diterima ketimbang dogma-dogma mereka dan mereka juga khawatir kalau-kalau jalur berpikir mereka akan tersingkirkan. Sesungguhnya kekhawatiran tersebut hanya ketakutan belaka. Tingkat intelektual secera umum di hampir semua negara Islam tidak cukup tinggi untuk mengubah penyimpangan ulama tradisional tersebut.
Cukup menarik untuk dicatat bahwa di sampaing perbedaan-perbedaan dan perlakuan yang tidak adil (presekusi) tersebut, sesorang akan menjumpai intelektual-intelektual modern dan sarjana-sarjana muslim di negara Islam yang menantang pemikiran tradisional dan bahkan mengundang persekusi bagi diri mereka sendiri. Akhir-akhir ini Suha Taji-Arouki telah mengedit sebuah buku yang menarik tentang subjek ini. Dia memasukkan sejumlah artikel yang ditulis oleh sejumlah intelektual modern dari berbagai negara dari Indonesia hingga Algeria. Buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press, London, atas nama Institute of Ismaili Studies di London. Buku ini sangat menarik untuk dibaca sebab artikel-artikel dalam buku ini membahas tentang para intelektual dan para sarjana yang telah menulis tentang al-Qur'an. Buku ini adalah kontribusi penting dari Institute of Ismaili Studies. Seseorang berharap lebih bahwa Institute semacam ini—yang mengedepankan pendekatan yang terbuka terhadap al-Qur'an—bisa muncul lebih banyak lagi.
Bab pertama buku ini membicarakan Prof. Fazlur Rahman dari Pakistan yang dipaksa pindah dari Pakistan karena pandangan-pandangannya tentang al-Qur'an dan pewahyuan al-Qur'an. Fazlur Rahman adalah anak seorang alim. Ia belajar di USA dan dibawa ke Pakistan atas perintah Presiden Pakistan Ayub Khan. Namun Rahman dipaksa untuk meninggalkan Pakistan dengan tuduhan bahwa pandangan ia bertentangan dengan ulama tradisional.
Bab mengenai Rahman ini ditulis oleh Abdullah Saeed. "Rahman", menurut Saeed, "memandang bahwa alasan utama kemunduran masyarakat Muslim berakar pada warisan intelektual Islam." Namun kemunduran ini sebagaimana sering diklaim oleh banyak reformis modern bukan dimulai karena adanya gangguan dari Barat terhadap masyarakat muslim dari abad 18 hingga sekarang. Menurut Saeed, "Bagi Rahman, kemuduran dikarenakan adanya ossification dan pergantian intelektual dan pergantian dari kesarjanaan yang mendadasarkan pada pemikiran orisinal menuju kesarjanaan yang mendasarkan pada komentar-komentar dan komentar atas komentar, tertutupnya pintu ijtihad dan kesarjanaan yang mendasarkan metode Islam murni pada taqlid (taklid buta)."
Kemudian Fazlur Rahman menulis di dalam bukunya Islam and Modernity, "Kritik sejarah terhadap perkembangan teologi Islam merupakan langkah awal menuju sebuah rekontruksi teologi Islam. Kritik ini akan menyingkap lebih jauh kesalahan posisi antara world view al-Qur'an dan berbagai spekulasi aliran teologi dalam Islam, dan menunjukkan jalan menuju sebuah teologi yang baru." Pendapat ini merupakan saran penting yang harus dipertimbangkan secara serius dan ini akan bermanfaat bagi dunia Islam secara luas.
Teologi Mu'tazilah telah memberikan kontribusi signifikan untuk arah ini dalam awal sejarah Islam. Namun sayangnya, teologi meraka dianggap tidak ada oleh pandangan ortodoksi. Banyak pemikir Islam modern berikutnya yang dipengaruhi teologi ini. Muhammad Abduh atau Syed Ahmad menerima elemen-elemen rasional teologi Mu'tazilah. Tafsir Syed Ahamd secara gamblang menunjukkan pengaruh teologi Mu'tazilah dan oleh karana itu, ulama-ulama ortodoks pada masanya sengit memusuhinya dan memaksa dia untuk berhenti menulis tafsir al-Qur'an.
Fazlur Rahman juga dipengaruhi oleh Mu'tazilah, sebagaimana ditunjukkan oleh Abdullah Saeed. Dia mengatakan, "Rahman juga memiliki ketertarikan yang kuat dengan ide-ide Mu'tazilah tentang 'ke-makhluk-an' al-Qur'an. Namun, hal ini tidak mencegah Rahman untuk tetap kritis terhadap posisi-posisi rasionalis yang terlalu ekstrim." Tidak ada pemikir murni yang sepenuhnya mengesahkan semua posisi para pendahulu mereka meskipun mereka bisa menerima elemen-elemen dari pemikiran mereka atau gagasan-gagasan umum tertentu mereka.
Seseorang pasti setuju dengan Saeed bahwa "Tujuan Rahman adalah menilai kembali tradisi intelektual muslim dan memberikan jalan untuk masa depan umat Islam. Dalam pandangannya, pengujian kembali atas metodologi Islam di bawah cahaya al-Qur'an merupakan sebuah pra-syarat (pre-requisite) bagi setiap perbaikan atau reformasi dalam pemikiran Islam." Rahman secara tegas juga menyatakan aspek etis al-Qur'an. Teologi tradisional lebih mempusatkan dirinya pada aspek-aspek ritualistik ketimbang etik, meskipun tidak mengacuhkan seluruhnya.
Rahman mengatakan: "Sarjana-sarjana Muslim tidak pernah berusaha memunculkan nilai-nilai etis al-Qur'an secara sistematis atau sebaliknya. Belum ada seorangpun yang melakukan kajian al-Qur'an secara hati-hati dapat gagal terpesona oleh semangat etisnya. Sesungguhnya nilai-nilai etis itu adalah esensi al-Qur'an dan tampaknya juga perlu untuk menghubungkan antara teologi dan hukum. Benar bahwa al-Qur'an cenderung untuk concretise hal-hal yang bersifat etis, mengungkapkan keumuman dalam paradigma yang partikular dan cenderung untuk menerjemahkan nilai-nilai etis ke dalam perintah-perintah legal atau quasi-legal. Namun, ini secara tepat adalah tanda etik al-Qur’an bahwa tidak hanya isi dengan preposisi-preposisi etis yang dapat digeneralisir, namun juga ketajaman dalam menterjemahkannya dalam paradigma-paradigma aktual. Bagaimanapun juga al-Qur'an selalu explicates tujuan atau prinsip yang merupakan esensi dari hukum al-Qur'an."
Jadi, gagasan Rahman adalah kontribusi yang berkaitan dengan masa depan dalam mengembangan pemikiran Islam dan mengembangkannya dengan cara yang rasional dan sitematis. Sayangnya, dunia Islam masih belum siap merespon gagasan-gagasan Rahman.
Asma Barlas telah menuliskan sebuah bab tentang hermeneutika Amina Wadud dari perspektif perempuan. Bab ini tepatnya bertajuk “Hermeneutika al-Qur'an Amina Wadud: Pembacaan Perempuan atas Teks-teks Suci." Rasanya tidak ada gunanya mengatakan dunia Islam itu jauh dari munculnya nilai-nilai patriarkhi dan ulama tradisional masih membenamkan dirinya sedalam-dalamnya di dalam nilai-nilai ini. Setiap perselisihan dengan mereka dianggap sebagai bid’ah yang tidak bisa diampuni. Sayangnya, hanya ada sedikit usaha untuk melakukan 'geresy' ini. Dunia Islam masih jarang melahirkan perempuan yang membaca teks suci dari sudut pandang mereka sendiri.
Amina Wadud adalah salah satu dari perempuan-perempuan tersebut yang sedang berusaha menegaskan pembacaan perempuan terhadap teks suci. Dia bukan berasal dari negara muslim tetapi dari USA. Dia adalah muslimah ketururan Afrika-Amerika meskipun dia dididik di Islamic University of Malaysia untuk beberapa tahun. Namun kontroversi-kontroversi mengikutinya juga di sana. Sebuah metodologi yang definitif diperlukan untuk membaca al-Qur'an dari perspektif perempuan. Dan Amina Wadud benar-benar mengembangkan metodologinya dalam membaca atau menafsirkan al-Qur'an.
Asma menyatakan bahwa "Wadud mempercayai bahwa membaca al-Qur'an secara sepotong-sepotong dan dengan cara tanpa dikontektualisasikan tidak hanya akan mengacuhkan koherensi internaم al-Qur'an atau nazm, namun juga akan menggagalkan dalam merengkuh prinsip-prinsip utama yang digariskan oleh ajaran-ajaran al-Qur'an sebagaimana juga pendapat Rahman. Sebagai hasilnya, kebanyakan penafsiran diakhiri dengan perintah-perintah khusus yang sifatnya mengeneralisir, sebuah praktik yang Wadud percayai bersifat menindas khususnya kepada perempuan dalam sejumlah pembatasan yang membahayakan mereka dari 'penafsirkan solusi-solusi al-Qur'an untuk masalah-masalah partikular yang seolah-olah dianggap sebagai masalah univesal." Wadud memberikan contoh bagaimana para mufasir tradisional menafsirkan ketentuan-ketentuan al-Qur'an mengenai berpakaian.
Amina Wadud menjelaskan, "..al-Qur'an mengusung sebuah gagasan universal berkaitan dengan persoalan Pakaian dan menilai bahwa 'pakaian kesalehan adalah yang paling baik'. Namun, Shari'ah (Islamic law) menggunakan rujukan-rujukan al-Qur'an untuk menunjuk partikularitas gaya pakaian Arab abad ke-7 sebagai basis dari kesimpulan hukum berkaitan dengan kesopanan atau kepantasan. Konsekuensinya, mengenakan sebuah item tertentu dari pakaian (misalnya, penutup kepala) dianggap atau dinilai sebagai sebuah perbuatan yang sesuai dengan kesopanan."
Wadud kemudian menyatakan bahwa me-universal-kan jilbab berarti juga juga me-universal-kan 'perbuatan-perbuatan kesopanan yang dibentuk secara kultural dan ekonomis' pada masyarakat Arab abad ke-7, dengan demikian menanamkan sebuah kekhususan kultural ke dalam aharan-aharan al-Qur’an. Bagi Wadud, hal ini sesungguhnya membatasi aplikasi ajaran-ajaran tersebut lantaran sebagai budaya tidak semata-mata memiliki gagasan yang sama tentang standar kesopanan. Wadud kemudian berargumen bahwa apa yang al-Qur'an ajarkan adalah prinsip kesopanan bukan jilbab dan menutup diri (dengan jilbab) merupakan manifestasi partikular konteks [Arab] pada saat itu.
Namun, di dalam dunia Islam saat ini, berjibab dengan cara Arab dianggap sebagai sebuah prinsip universal Islam dan hampir sebagian besar negara muslim non-Arab merasakan hal tersebut sebagai kewajiban untuk mengenakan jilbab dan mempertimbangkan jenis jilbab ini sebagai satu-satunya cara untuk menujukkan kesopanan seseorang. Apa yang lebih, ini juga menjadi untuk peerempuan sebagai simbol yang tampak dari identitas keislaman, khususnya in the alien western culture. Amina scara tegas berpikir bahwa ini merupakan tantangan bagi setiap generasi baru 'untuk memahami prinsip-prinsip yang dimaksudkan oleh pertikular-partikular [sebab] prinsip-prinsip itu adalah abadi dan bisa diaplikasikan dalam bermacam konteks.'
Seseorang juga harus memahami bahwa al-Qur'an diwahyukan di dalam sebuah sejarah dan kondisi sosial-budaya tertentu dan al-Qur'an merupakan respon atas keadaan-keadaan tersebut di samping berlaku sebagai petunjuk yang universal bagi seluruh umat manusia. Jadi, seseorang harus bisa memisahkan hal-hal yang partikular dari yang universal, sebagaimana dinyatakan oleh Amina Wadud dan juga oleh sejumlah pemikir Islam lainnya. Setiap generasi baru harus melaksanakan tanggung jawab ini dengan cara yang kreatif.
Amina mengatakan, 'al-Qur'an adalah respon Tuhan melalui akal Muhammad, faktor ini berikutnya telah secara radikal dimainkan oleh ortodoksi Islam kepada sebuah situasi historis (sebuah faktor yang secara drastis dibatasi oleh ortodoksi Islam di dalam sebuah pemahaman terhadap al-Qur'an yang nyata.)'
Amina juga merasakan bahwa ada 'bahasa yang ter-gender-kan' yang digunakan untuk menunjuk Tuhan. Tuhan biasanya dirujuk dengan kata He, Huwa (dia laki-laki), sebuah gender maskulin, meskipun bahasa tidak bisa mengungkapkan 'apa yang tidak bisa diucapkan’ di dalam bahasa dan meskipun al-Qur'an secara ekspresif melarang penggunaan penyamaan untuk Tuhan. Kemudian Wadud menyatakan agar orang-orang Islam harus menyadari bahwa bahasa tentang Tuhan 'tidak bisa ditafsirkan secara empiris dan literal'. Tetapi sepanjang abad, gender laki-laki telah digunakan oleh Tuhan dalam semua tema agama-agama dunia. Sekarang sejumlah aktivis feminis memunculkan pertanyaan ini, apakah seseorang dapat menggunakan gender maskulin atau bahasa yang tergenderkan sama sekali untuk menunjuk Tuhan. Sejumlah aktivis feminis bahkan menggunakan kata ganti She, hiya untuk menyebut Tuhan. Namun Amina ingin melampaui bahasa yang ter-gender-kan itu untuk menunjuk kata ganti Tuhan. Melampaui bahasa yang ter-gender-kan dalam kasus kata ganti Tuhan ini merupakan sebuah poin penting.
Wadud menyatakan argumen kisah lainnya untuk persamaan jenis kelamin. Dia mempertahankan bahwa tujuan "penciptaan manusa diwahyukan adalah ketika Tuhan mengatakan, Sungguh Aku akan menciptakan seorang khalifah di atas bumi' [Q. 2:38] Khilafah di atas bumi adalah tanggung jawab bagi setiap manusia. Dalam pandangan dunia al-Qur'an, pemenuhan kepercayaan ini merupakan raison d'etre eksistensi manusia. Oleh karena itu mengingkari sepenuhnya akan kemanusiaan perempuan berarti mengingkari mereka, kapasitas penuh dari pemenuhan mereka atas tanggung jawab dasar yang diputuskan oleh Allah untuk semua manusia."
Kemudian Amina membaca al-Qur'an untuk mengembangkan argumen-argumen yang mendukung perempuan dan persamaan mereka dengan laki-laki. Dialah satu-satunya perempuan yang membaca al-Qur'an secara advanced dengan argumen semacam itu karena dia membaca dari sudut pandangnya dan beberapa abad laki-lakilah yang telah menguasai untuk membaca dan menafsirkan teks al-Qur’an. Jadi ini menjadi kebutuhan mendasar bahwa al-Qur’an dibaca dari berbagai perspektif yang berbeda-beda untuk memahami maknanya secara penuh bagi sebagian masyarakat yang berbeda.
Bab keenam dari buku ini adalah catatan tentang sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd yang juga harus hengkang dari Mesir karena pandangannya mengenai teks al-Qur’an yang tidak diterima oleh ortodoksi Islam. Bab ini ditulis oleh Navid Kermani. Navid mengatakan "Dalam pandangan Abu Zayd, peradaban peran al-Qur'an yang menonjol menjadikan budaya Arab sebagai ‘sebuah tradisi teks’' (hadarat alnass). Memang, dia beranjak lebih jauh untuk menggambarkan budaya Arab sebagai peradaban teks par excellence.
Menurut Nasr, kebudayaan Arab dihasilkan oleh konfrontasi 'manusia' (jadal) terhadap realitas, dan dialognya (hiwar) dengan teks. Nasr juga mempertahankan pendapatnya bahwa untuk mendefinisikan peradaban Islam-Arab sebagai sebuah budaya teks memberikan implikasi bahwa peradaban Islam Arab juga sebuah budaya interpretasi (hadrat al-ta'wil). Nasr, sebagaimana intelektual Muslim lainnya yang dibahas di dalam buku ini menyatakan bahwa bahasa al-Qur’an sebagaimana teks-teks lainnya bukanlah penjelasan-diri dan maknanya tergantung pada intelektual dan horizon budaya pembaca (intaj dalalatihi). Oleh sebab itu, pesan teks hanya bisa dikuak melalui penafsirnya
Ada sejumlah penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda, dan sekte-sekte Islam yang utama muncul juga karena perbedaan penafsiran. Jika pada awal Islam sudah ada begitu banyak penafsiran, bagaimana bisa seseorang menghindari penafsiran-penafsiran yang lebih baru dewasa ini karena kondisi-kondisi sosio-kultural dan politik yang berubah secara drastis? Abu Zayd melangkah lebih jauh lagi dan membuat sebuah poin yang menarik.
Teks [Qur'ani] berubah dari pertama kali yakni, ketika Nabi membacanya pada saat peristiwa pewahyuan al-Qur’an, dari eksistensinya sebagai teks Tuhan (nass ilahi), dan menjadi sesuatu yang bisa dipahami; sebuah teks manusia (nass insani), sebab al-Qur’an berubah dari sejak pewahyuan menuju masa penafsiran (l-annahu tahawwala min al-tanzil ila a-ta'wil).
Pemahaman Nabi terhadap teks merupakan salah satu fase pertama pergerakan yang dihasilksn dari hubungan teks dengan akal manusia.
Kemudian Abu Zayd menyandarkan tekanan yang besar mengenai pemahaman atau penafsiran teks. Bahkan latar belakang personal akan sangat mempengaruhi pemahaman ini. Jika teks yang sama dibaca oleh sebuah kelompok manusia dari latar belakang ruang dan waktu yang sama maka teks mungkin dipahami dengan cara yang berbeda oleh setiap individu dari anggota kelompok tersebut jika perkembangan intelektual mereka berbeda. Tranformasinya dari pewahyuan ilahi menuju pemahaman manusia memainkan peran penting dalam beraksi menurut teks.
Abu Zayd membuat poin lain tentang pemahaman Nabi terhadap teks al-Qur’an. Menurutnya, kita tidak bisa mengabsolutkan "Klaim semacam itu [bahwa pemahaman Nabi adalah sakral] mengantarkan kepada sebuah jenis politeisme, sebab yang demikian itu menyamakan yang Absolut dengan yang relatif dan yang konstan dengan yang sementara, dan lebih khusus lagi, sebab yang demikian itu menyamakan Maksud Ilahiyah dengan pemahaman Manusia tentang Maksud al-Qur’an, meskipun dalam kasus pemahaman para Rasul.. Ini merupakan sebuah klaim yang mengakibatkan sebuah idolisasi dari sebuah konferral dari kesucian atas Nabi, dengan menyembunyikan Kebenaran bahwa dia adalah seorang manusia dan dengan membiarkan memberikan fakta secara cukup jelas bahwa dia hanyalah seorang Nabi."
Tentu ini merupakan pendapat yang radikal yang berlawanan dengan pendapat yang banyak diterima Muslim secara umum. Literatur hadis memainkan peran penting dalam penafsiran al-Qur’an di dunia Islam. Pemahaman Nabi terhadap teks al-Qur’an benar-benar dianggap sakral dan absolut oleh Muslim. Yang lebih penting lagi adalah untuk menantang pemahaman teks oleh sahabat Nabi. Namun ironisnya adalah bahwa bahkan pemahaman terhadap al-Qur’an oleh sahabat Nabi dianggap hampir absolut sebagaimana pemahaman Nabi terhadap al-Qur’an. Sahabat-sahabat Nabi secara radikal memiliki latar belakang yang berbeda dari orang-orang Badui yang buta huruf dan sederhana hingga mereka yang sudah berkembang dan memiliki latar belakang intelektual yang pintar.
Dan juga, seseorang mestinya membedakan antara ‘ibadah dan muamalah di dalam tafsir al-Qur’an. Ibadah seharusnya ditinggalkan tak tersentuh dan ibadah dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang tetap sementara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan interpersonal (mu'amalat) dapat diarahkan menjadi penafsiran yang berbeda-beda. Persoalan-persoalan yang menyinggung hak-hak perempuan dianggap menjadi penting akhir-akhir ini dan perintah-perintah al-Qur’an di dalam dan aspek-aspek lain dari hal ini dapat dibuka untuk membaca ulang dan menafsirkan ulang.
Meskipun hal ini merupakan sebuah perjuangan yang sulit, namun berharga berperang untuk penyadaran potensi universal Islam. Orang-orang Islam pada masa sekarang hampir semuanya ‘menyembah’ tidak hanya para sahabat Nabi tetapi juga para sahabat sahabat (tab'a tabi'in and tab'a tab'a tabiin) dan pemahaman mereka terhadap al-Qur'an diabslutkan. Orang-orang Islam harus keluar dari hal tersebut paling tidak dalam masalah muamalah. Jika hal tersebut terjadi, maka akan ada sebuah pencapaian yang besar untuk dunia Islam.
Bab penting lainya dalam buku ini mengkisahkan tentang Mohammad Mojtahed Shabestari dari post-revolutionary Iran yang ditulis oleh Farzin Vahdat. Menurutnya, "Post-revolutionary pemikiran Islam di Iran terbentuk oleh sebuah pendekatan hermeneutis. Namun hermeneutik yang masuk dalam pemikiran ini adalah hermeneutik dari sebuah hakikat yang berbeda dengan hermeneutika para pendahulu-pendahulunya, yakni wacana-wacana revolutionary Islam tahun 1960-an dan 1970-an.
Menurut Shabestari keimanan adalah imitasi buta (taqlid buta). Iman itu sebuah aksi pilihan dan komitmen yang serius. Mereka yang secara buta mengikuti, tidak bisa menjadi serius dengan keimanan mereka.. Iman, sebaik-baiknya adalah sebuah aksi mekanis tanpa komitmen yang bernafsu. Kebebasan memilih dan kebebasan menyuarakan suara hati adalah bagian penting dari keimanan yang hidup. Kemudian Shabestari menulis:
"Iman adalah suatu aksi memilih, sebuah aksi yang amat penting. Pertanyaannya adalah kapan seorang manusia dihadapkan pada sebuah dilema dan memilih jenis gaya hidup yang dia ingin hidup dengan gaya tersebut, langkah apa yang harus dia ambil? Masyarakat yang ideal untuk keimanan [agar berjalan dengan baik] dan amat baik adalah masyarakat yang di dalamnya [syarat-syarat untuk membuat] pilihan ini harus tersedia secara luas?. Kebenaran Iman adalah sebuah aksi bebas pilihan untuk menyuaran suara hati. Semua ahli mistik kita ('rafa') menyerukan akan meninggalkan keimanan yang taqlid dan mengambil keimanan dari suara hati."
Bagi Shabestari kebebasan berpikir adalah kebutuhan mutlak untuk keimanan. Aksi tanggung jawab Mu'tazaliah merupakan hal penting dan ini tergantung pada penalaran manusia yang inheren dan ini akan berimplikasi pada kebebasan berpikir. Para filsuf menekankan pengetahuan (ma'rifah/knowledge) dan ini tidak mungkin terjadi tanpa upaya-upaya melampaui dogma-dogma dan membebaskan pikiran darinya melalui kebebasan berpikir. Jalan manapun yang seseorang pilih, kebebasan merupakan kebutuhan dan keimanan yang kemudian memiliki hubungan secara langsung dengan kebebasan berpikir. Keimanan dan aksi yang bertanggung jawab (iman dan 'amal salih) tidak mungkin terwujud tanpa adanya kebebasan berpikir.
Shabestari juga berbicara tentang 'discontent of modernity' (kehampaan dalam modernitas) dan lebih jauh mengelaborasinya. Beberapa abad sebelum abad-abad modern merupakan abad 'certitude' (kepastian/kepercayaan). Orang-orang percaya pada dogma-dogma yang pasti dan menyakinkan mereka. Mereka tidak merasa perlu untuk mengevaluasi dogma-dogma tersebut atau memberikan sikap kritiks terhadapnya. Di sisi lain, orang-orang modern kekurangan kepercayaan semacam itu karena mereka tidak percaya terhadap dogma-dogma seperti itu. Kenyataannya mereka memiliki daya evaluasi yang kritis atas keimanan mereka, lagi dan lagi. Sehingga mereka mendapatkan sikap tidak yakin dan kurang permanen dan Shabestari merasakan para teolog modern harus mengajukan masalah ini. Sementara kekebasan berpikir juga penting, kekurangan perasaan permanen juga harus diperhatikan.
Buku ini juga memiliki bab yang membahasa tentang Mohammad Arkoun, Nurcholis Majid, Mohammad Talbi, Huseyin Atay dan Sadiq Nayhum. Jadi, buku ini membahasa banyak intelektual muslim dari negara-negara yang berbeda dan pendekatan mereka terhadap al-Qur’an. karena terbatasnya ruang, rasanya tidak mungkin untuk membahas semua tokoh tersebut di sini. Tak diragukan lagi buku ini merupakan kontribusi penting yang dilakukan oleh Saha Taji-Farouki dari Institute of Ismaili Studies. Institute ini telah memberikan kontribusi penting kepada literatur moder Islam.
Buku ini juga menolak pandangan sejumlah sarjana Barat yang menyatakan bahwa ada homogenitas pemikiran dalam persoalan teologis di dunia Islam. Ini jauh dari tuduhan tersebut. Ada gagasan yang melawan dan pendekatan ortodok di bawah tantangan meskipun ortodoksi bisa berlaku menang. Namun kemudian, inilah sebuah kisah yang berbeda.
* Book Review ini pernah dimuat di Jurnal Future Islam dan diterjemahkan oleh Hamam Faizin, Peserta Program Pascasarjana Kosentrasi Ulumul Qur’an/Tafsir Institut Ilmu al-Qur’an Jakarta. Artikel ini bisa diakses silakan klik di sini

Editor: Suha Taji-Farouki.
Penerbit: Oxford University Press 2004.
Tebal: 342 halaman.
ISBN 0-19-720002-8.
Telah muncul perbedaan antara ulama, sarjana atau intelektual muslim modern dalam menafsirkan dan memahami al-Qur'an. Perbedaan-perbedaan ini cenderung mendasar dan oleh kerena perbedaan tersebut sarjana Islam atau intelektual modern ini diperlakukan tidak adil di sejumlah negara Islam.
Dalam negara-negara tersebut, berbeda dengan ulama resmi (negara) berarti heretik (bid’ah) dan harus dihukum. Intoleransi ini lebih bersifat manusia ketimbang Islami. Ulama-ulama resmi (negara) tersebut khawatir jika apa yang dikatakan oleh para intelektual muslim lebih diterima ketimbang dogma-dogma mereka dan mereka juga khawatir kalau-kalau jalur berpikir mereka akan tersingkirkan. Sesungguhnya kekhawatiran tersebut hanya ketakutan belaka. Tingkat intelektual secera umum di hampir semua negara Islam tidak cukup tinggi untuk mengubah penyimpangan ulama tradisional tersebut.
Cukup menarik untuk dicatat bahwa di sampaing perbedaan-perbedaan dan perlakuan yang tidak adil (presekusi) tersebut, sesorang akan menjumpai intelektual-intelektual modern dan sarjana-sarjana muslim di negara Islam yang menantang pemikiran tradisional dan bahkan mengundang persekusi bagi diri mereka sendiri. Akhir-akhir ini Suha Taji-Arouki telah mengedit sebuah buku yang menarik tentang subjek ini. Dia memasukkan sejumlah artikel yang ditulis oleh sejumlah intelektual modern dari berbagai negara dari Indonesia hingga Algeria. Buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press, London, atas nama Institute of Ismaili Studies di London. Buku ini sangat menarik untuk dibaca sebab artikel-artikel dalam buku ini membahas tentang para intelektual dan para sarjana yang telah menulis tentang al-Qur'an. Buku ini adalah kontribusi penting dari Institute of Ismaili Studies. Seseorang berharap lebih bahwa Institute semacam ini—yang mengedepankan pendekatan yang terbuka terhadap al-Qur'an—bisa muncul lebih banyak lagi.
Bab pertama buku ini membicarakan Prof. Fazlur Rahman dari Pakistan yang dipaksa pindah dari Pakistan karena pandangan-pandangannya tentang al-Qur'an dan pewahyuan al-Qur'an. Fazlur Rahman adalah anak seorang alim. Ia belajar di USA dan dibawa ke Pakistan atas perintah Presiden Pakistan Ayub Khan. Namun Rahman dipaksa untuk meninggalkan Pakistan dengan tuduhan bahwa pandangan ia bertentangan dengan ulama tradisional.
Bab mengenai Rahman ini ditulis oleh Abdullah Saeed. "Rahman", menurut Saeed, "memandang bahwa alasan utama kemunduran masyarakat Muslim berakar pada warisan intelektual Islam." Namun kemunduran ini sebagaimana sering diklaim oleh banyak reformis modern bukan dimulai karena adanya gangguan dari Barat terhadap masyarakat muslim dari abad 18 hingga sekarang. Menurut Saeed, "Bagi Rahman, kemuduran dikarenakan adanya ossification dan pergantian intelektual dan pergantian dari kesarjanaan yang mendadasarkan pada pemikiran orisinal menuju kesarjanaan yang mendasarkan pada komentar-komentar dan komentar atas komentar, tertutupnya pintu ijtihad dan kesarjanaan yang mendasarkan metode Islam murni pada taqlid (taklid buta)."
Kemudian Fazlur Rahman menulis di dalam bukunya Islam and Modernity, "Kritik sejarah terhadap perkembangan teologi Islam merupakan langkah awal menuju sebuah rekontruksi teologi Islam. Kritik ini akan menyingkap lebih jauh kesalahan posisi antara world view al-Qur'an dan berbagai spekulasi aliran teologi dalam Islam, dan menunjukkan jalan menuju sebuah teologi yang baru." Pendapat ini merupakan saran penting yang harus dipertimbangkan secara serius dan ini akan bermanfaat bagi dunia Islam secara luas.
Teologi Mu'tazilah telah memberikan kontribusi signifikan untuk arah ini dalam awal sejarah Islam. Namun sayangnya, teologi meraka dianggap tidak ada oleh pandangan ortodoksi. Banyak pemikir Islam modern berikutnya yang dipengaruhi teologi ini. Muhammad Abduh atau Syed Ahmad menerima elemen-elemen rasional teologi Mu'tazilah. Tafsir Syed Ahamd secara gamblang menunjukkan pengaruh teologi Mu'tazilah dan oleh karana itu, ulama-ulama ortodoks pada masanya sengit memusuhinya dan memaksa dia untuk berhenti menulis tafsir al-Qur'an.
Fazlur Rahman juga dipengaruhi oleh Mu'tazilah, sebagaimana ditunjukkan oleh Abdullah Saeed. Dia mengatakan, "Rahman juga memiliki ketertarikan yang kuat dengan ide-ide Mu'tazilah tentang 'ke-makhluk-an' al-Qur'an. Namun, hal ini tidak mencegah Rahman untuk tetap kritis terhadap posisi-posisi rasionalis yang terlalu ekstrim." Tidak ada pemikir murni yang sepenuhnya mengesahkan semua posisi para pendahulu mereka meskipun mereka bisa menerima elemen-elemen dari pemikiran mereka atau gagasan-gagasan umum tertentu mereka.
Seseorang pasti setuju dengan Saeed bahwa "Tujuan Rahman adalah menilai kembali tradisi intelektual muslim dan memberikan jalan untuk masa depan umat Islam. Dalam pandangannya, pengujian kembali atas metodologi Islam di bawah cahaya al-Qur'an merupakan sebuah pra-syarat (pre-requisite) bagi setiap perbaikan atau reformasi dalam pemikiran Islam." Rahman secara tegas juga menyatakan aspek etis al-Qur'an. Teologi tradisional lebih mempusatkan dirinya pada aspek-aspek ritualistik ketimbang etik, meskipun tidak mengacuhkan seluruhnya.
Rahman mengatakan: "Sarjana-sarjana Muslim tidak pernah berusaha memunculkan nilai-nilai etis al-Qur'an secara sistematis atau sebaliknya. Belum ada seorangpun yang melakukan kajian al-Qur'an secara hati-hati dapat gagal terpesona oleh semangat etisnya. Sesungguhnya nilai-nilai etis itu adalah esensi al-Qur'an dan tampaknya juga perlu untuk menghubungkan antara teologi dan hukum. Benar bahwa al-Qur'an cenderung untuk concretise hal-hal yang bersifat etis, mengungkapkan keumuman dalam paradigma yang partikular dan cenderung untuk menerjemahkan nilai-nilai etis ke dalam perintah-perintah legal atau quasi-legal. Namun, ini secara tepat adalah tanda etik al-Qur’an bahwa tidak hanya isi dengan preposisi-preposisi etis yang dapat digeneralisir, namun juga ketajaman dalam menterjemahkannya dalam paradigma-paradigma aktual. Bagaimanapun juga al-Qur'an selalu explicates tujuan atau prinsip yang merupakan esensi dari hukum al-Qur'an."
Jadi, gagasan Rahman adalah kontribusi yang berkaitan dengan masa depan dalam mengembangan pemikiran Islam dan mengembangkannya dengan cara yang rasional dan sitematis. Sayangnya, dunia Islam masih belum siap merespon gagasan-gagasan Rahman.
Asma Barlas telah menuliskan sebuah bab tentang hermeneutika Amina Wadud dari perspektif perempuan. Bab ini tepatnya bertajuk “Hermeneutika al-Qur'an Amina Wadud: Pembacaan Perempuan atas Teks-teks Suci." Rasanya tidak ada gunanya mengatakan dunia Islam itu jauh dari munculnya nilai-nilai patriarkhi dan ulama tradisional masih membenamkan dirinya sedalam-dalamnya di dalam nilai-nilai ini. Setiap perselisihan dengan mereka dianggap sebagai bid’ah yang tidak bisa diampuni. Sayangnya, hanya ada sedikit usaha untuk melakukan 'geresy' ini. Dunia Islam masih jarang melahirkan perempuan yang membaca teks suci dari sudut pandang mereka sendiri.
Amina Wadud adalah salah satu dari perempuan-perempuan tersebut yang sedang berusaha menegaskan pembacaan perempuan terhadap teks suci. Dia bukan berasal dari negara muslim tetapi dari USA. Dia adalah muslimah ketururan Afrika-Amerika meskipun dia dididik di Islamic University of Malaysia untuk beberapa tahun. Namun kontroversi-kontroversi mengikutinya juga di sana. Sebuah metodologi yang definitif diperlukan untuk membaca al-Qur'an dari perspektif perempuan. Dan Amina Wadud benar-benar mengembangkan metodologinya dalam membaca atau menafsirkan al-Qur'an.
Asma menyatakan bahwa "Wadud mempercayai bahwa membaca al-Qur'an secara sepotong-sepotong dan dengan cara tanpa dikontektualisasikan tidak hanya akan mengacuhkan koherensi internaم al-Qur'an atau nazm, namun juga akan menggagalkan dalam merengkuh prinsip-prinsip utama yang digariskan oleh ajaran-ajaran al-Qur'an sebagaimana juga pendapat Rahman. Sebagai hasilnya, kebanyakan penafsiran diakhiri dengan perintah-perintah khusus yang sifatnya mengeneralisir, sebuah praktik yang Wadud percayai bersifat menindas khususnya kepada perempuan dalam sejumlah pembatasan yang membahayakan mereka dari 'penafsirkan solusi-solusi al-Qur'an untuk masalah-masalah partikular yang seolah-olah dianggap sebagai masalah univesal." Wadud memberikan contoh bagaimana para mufasir tradisional menafsirkan ketentuan-ketentuan al-Qur'an mengenai berpakaian.
Amina Wadud menjelaskan, "..al-Qur'an mengusung sebuah gagasan universal berkaitan dengan persoalan Pakaian dan menilai bahwa 'pakaian kesalehan adalah yang paling baik'. Namun, Shari'ah (Islamic law) menggunakan rujukan-rujukan al-Qur'an untuk menunjuk partikularitas gaya pakaian Arab abad ke-7 sebagai basis dari kesimpulan hukum berkaitan dengan kesopanan atau kepantasan. Konsekuensinya, mengenakan sebuah item tertentu dari pakaian (misalnya, penutup kepala) dianggap atau dinilai sebagai sebuah perbuatan yang sesuai dengan kesopanan."
Wadud kemudian menyatakan bahwa me-universal-kan jilbab berarti juga juga me-universal-kan 'perbuatan-perbuatan kesopanan yang dibentuk secara kultural dan ekonomis' pada masyarakat Arab abad ke-7, dengan demikian menanamkan sebuah kekhususan kultural ke dalam aharan-aharan al-Qur’an. Bagi Wadud, hal ini sesungguhnya membatasi aplikasi ajaran-ajaran tersebut lantaran sebagai budaya tidak semata-mata memiliki gagasan yang sama tentang standar kesopanan. Wadud kemudian berargumen bahwa apa yang al-Qur'an ajarkan adalah prinsip kesopanan bukan jilbab dan menutup diri (dengan jilbab) merupakan manifestasi partikular konteks [Arab] pada saat itu.
Namun, di dalam dunia Islam saat ini, berjibab dengan cara Arab dianggap sebagai sebuah prinsip universal Islam dan hampir sebagian besar negara muslim non-Arab merasakan hal tersebut sebagai kewajiban untuk mengenakan jilbab dan mempertimbangkan jenis jilbab ini sebagai satu-satunya cara untuk menujukkan kesopanan seseorang. Apa yang lebih, ini juga menjadi untuk peerempuan sebagai simbol yang tampak dari identitas keislaman, khususnya in the alien western culture. Amina scara tegas berpikir bahwa ini merupakan tantangan bagi setiap generasi baru 'untuk memahami prinsip-prinsip yang dimaksudkan oleh pertikular-partikular [sebab] prinsip-prinsip itu adalah abadi dan bisa diaplikasikan dalam bermacam konteks.'
Seseorang juga harus memahami bahwa al-Qur'an diwahyukan di dalam sebuah sejarah dan kondisi sosial-budaya tertentu dan al-Qur'an merupakan respon atas keadaan-keadaan tersebut di samping berlaku sebagai petunjuk yang universal bagi seluruh umat manusia. Jadi, seseorang harus bisa memisahkan hal-hal yang partikular dari yang universal, sebagaimana dinyatakan oleh Amina Wadud dan juga oleh sejumlah pemikir Islam lainnya. Setiap generasi baru harus melaksanakan tanggung jawab ini dengan cara yang kreatif.
Amina mengatakan, 'al-Qur'an adalah respon Tuhan melalui akal Muhammad, faktor ini berikutnya telah secara radikal dimainkan oleh ortodoksi Islam kepada sebuah situasi historis (sebuah faktor yang secara drastis dibatasi oleh ortodoksi Islam di dalam sebuah pemahaman terhadap al-Qur'an yang nyata.)'
Amina juga merasakan bahwa ada 'bahasa yang ter-gender-kan' yang digunakan untuk menunjuk Tuhan. Tuhan biasanya dirujuk dengan kata He, Huwa (dia laki-laki), sebuah gender maskulin, meskipun bahasa tidak bisa mengungkapkan 'apa yang tidak bisa diucapkan’ di dalam bahasa dan meskipun al-Qur'an secara ekspresif melarang penggunaan penyamaan untuk Tuhan. Kemudian Wadud menyatakan agar orang-orang Islam harus menyadari bahwa bahasa tentang Tuhan 'tidak bisa ditafsirkan secara empiris dan literal'. Tetapi sepanjang abad, gender laki-laki telah digunakan oleh Tuhan dalam semua tema agama-agama dunia. Sekarang sejumlah aktivis feminis memunculkan pertanyaan ini, apakah seseorang dapat menggunakan gender maskulin atau bahasa yang tergenderkan sama sekali untuk menunjuk Tuhan. Sejumlah aktivis feminis bahkan menggunakan kata ganti She, hiya untuk menyebut Tuhan. Namun Amina ingin melampaui bahasa yang ter-gender-kan itu untuk menunjuk kata ganti Tuhan. Melampaui bahasa yang ter-gender-kan dalam kasus kata ganti Tuhan ini merupakan sebuah poin penting.
Wadud menyatakan argumen kisah lainnya untuk persamaan jenis kelamin. Dia mempertahankan bahwa tujuan "penciptaan manusa diwahyukan adalah ketika Tuhan mengatakan, Sungguh Aku akan menciptakan seorang khalifah di atas bumi' [Q. 2:38] Khilafah di atas bumi adalah tanggung jawab bagi setiap manusia. Dalam pandangan dunia al-Qur'an, pemenuhan kepercayaan ini merupakan raison d'etre eksistensi manusia. Oleh karena itu mengingkari sepenuhnya akan kemanusiaan perempuan berarti mengingkari mereka, kapasitas penuh dari pemenuhan mereka atas tanggung jawab dasar yang diputuskan oleh Allah untuk semua manusia."
Kemudian Amina membaca al-Qur'an untuk mengembangkan argumen-argumen yang mendukung perempuan dan persamaan mereka dengan laki-laki. Dialah satu-satunya perempuan yang membaca al-Qur'an secara advanced dengan argumen semacam itu karena dia membaca dari sudut pandangnya dan beberapa abad laki-lakilah yang telah menguasai untuk membaca dan menafsirkan teks al-Qur’an. Jadi ini menjadi kebutuhan mendasar bahwa al-Qur’an dibaca dari berbagai perspektif yang berbeda-beda untuk memahami maknanya secara penuh bagi sebagian masyarakat yang berbeda.
Bab keenam dari buku ini adalah catatan tentang sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd yang juga harus hengkang dari Mesir karena pandangannya mengenai teks al-Qur’an yang tidak diterima oleh ortodoksi Islam. Bab ini ditulis oleh Navid Kermani. Navid mengatakan "Dalam pandangan Abu Zayd, peradaban peran al-Qur'an yang menonjol menjadikan budaya Arab sebagai ‘sebuah tradisi teks’' (hadarat alnass). Memang, dia beranjak lebih jauh untuk menggambarkan budaya Arab sebagai peradaban teks par excellence.
Menurut Nasr, kebudayaan Arab dihasilkan oleh konfrontasi 'manusia' (jadal) terhadap realitas, dan dialognya (hiwar) dengan teks. Nasr juga mempertahankan pendapatnya bahwa untuk mendefinisikan peradaban Islam-Arab sebagai sebuah budaya teks memberikan implikasi bahwa peradaban Islam Arab juga sebuah budaya interpretasi (hadrat al-ta'wil). Nasr, sebagaimana intelektual Muslim lainnya yang dibahas di dalam buku ini menyatakan bahwa bahasa al-Qur’an sebagaimana teks-teks lainnya bukanlah penjelasan-diri dan maknanya tergantung pada intelektual dan horizon budaya pembaca (intaj dalalatihi). Oleh sebab itu, pesan teks hanya bisa dikuak melalui penafsirnya
Ada sejumlah penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda, dan sekte-sekte Islam yang utama muncul juga karena perbedaan penafsiran. Jika pada awal Islam sudah ada begitu banyak penafsiran, bagaimana bisa seseorang menghindari penafsiran-penafsiran yang lebih baru dewasa ini karena kondisi-kondisi sosio-kultural dan politik yang berubah secara drastis? Abu Zayd melangkah lebih jauh lagi dan membuat sebuah poin yang menarik.
Teks [Qur'ani] berubah dari pertama kali yakni, ketika Nabi membacanya pada saat peristiwa pewahyuan al-Qur’an, dari eksistensinya sebagai teks Tuhan (nass ilahi), dan menjadi sesuatu yang bisa dipahami; sebuah teks manusia (nass insani), sebab al-Qur’an berubah dari sejak pewahyuan menuju masa penafsiran (l-annahu tahawwala min al-tanzil ila a-ta'wil).
Pemahaman Nabi terhadap teks merupakan salah satu fase pertama pergerakan yang dihasilksn dari hubungan teks dengan akal manusia.
Kemudian Abu Zayd menyandarkan tekanan yang besar mengenai pemahaman atau penafsiran teks. Bahkan latar belakang personal akan sangat mempengaruhi pemahaman ini. Jika teks yang sama dibaca oleh sebuah kelompok manusia dari latar belakang ruang dan waktu yang sama maka teks mungkin dipahami dengan cara yang berbeda oleh setiap individu dari anggota kelompok tersebut jika perkembangan intelektual mereka berbeda. Tranformasinya dari pewahyuan ilahi menuju pemahaman manusia memainkan peran penting dalam beraksi menurut teks.
Abu Zayd membuat poin lain tentang pemahaman Nabi terhadap teks al-Qur’an. Menurutnya, kita tidak bisa mengabsolutkan "Klaim semacam itu [bahwa pemahaman Nabi adalah sakral] mengantarkan kepada sebuah jenis politeisme, sebab yang demikian itu menyamakan yang Absolut dengan yang relatif dan yang konstan dengan yang sementara, dan lebih khusus lagi, sebab yang demikian itu menyamakan Maksud Ilahiyah dengan pemahaman Manusia tentang Maksud al-Qur’an, meskipun dalam kasus pemahaman para Rasul.. Ini merupakan sebuah klaim yang mengakibatkan sebuah idolisasi dari sebuah konferral dari kesucian atas Nabi, dengan menyembunyikan Kebenaran bahwa dia adalah seorang manusia dan dengan membiarkan memberikan fakta secara cukup jelas bahwa dia hanyalah seorang Nabi."
Tentu ini merupakan pendapat yang radikal yang berlawanan dengan pendapat yang banyak diterima Muslim secara umum. Literatur hadis memainkan peran penting dalam penafsiran al-Qur’an di dunia Islam. Pemahaman Nabi terhadap teks al-Qur’an benar-benar dianggap sakral dan absolut oleh Muslim. Yang lebih penting lagi adalah untuk menantang pemahaman teks oleh sahabat Nabi. Namun ironisnya adalah bahwa bahkan pemahaman terhadap al-Qur’an oleh sahabat Nabi dianggap hampir absolut sebagaimana pemahaman Nabi terhadap al-Qur’an. Sahabat-sahabat Nabi secara radikal memiliki latar belakang yang berbeda dari orang-orang Badui yang buta huruf dan sederhana hingga mereka yang sudah berkembang dan memiliki latar belakang intelektual yang pintar.
Dan juga, seseorang mestinya membedakan antara ‘ibadah dan muamalah di dalam tafsir al-Qur’an. Ibadah seharusnya ditinggalkan tak tersentuh dan ibadah dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang tetap sementara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan interpersonal (mu'amalat) dapat diarahkan menjadi penafsiran yang berbeda-beda. Persoalan-persoalan yang menyinggung hak-hak perempuan dianggap menjadi penting akhir-akhir ini dan perintah-perintah al-Qur’an di dalam dan aspek-aspek lain dari hal ini dapat dibuka untuk membaca ulang dan menafsirkan ulang.
Meskipun hal ini merupakan sebuah perjuangan yang sulit, namun berharga berperang untuk penyadaran potensi universal Islam. Orang-orang Islam pada masa sekarang hampir semuanya ‘menyembah’ tidak hanya para sahabat Nabi tetapi juga para sahabat sahabat (tab'a tabi'in and tab'a tab'a tabiin) dan pemahaman mereka terhadap al-Qur'an diabslutkan. Orang-orang Islam harus keluar dari hal tersebut paling tidak dalam masalah muamalah. Jika hal tersebut terjadi, maka akan ada sebuah pencapaian yang besar untuk dunia Islam.
Bab penting lainya dalam buku ini mengkisahkan tentang Mohammad Mojtahed Shabestari dari post-revolutionary Iran yang ditulis oleh Farzin Vahdat. Menurutnya, "Post-revolutionary pemikiran Islam di Iran terbentuk oleh sebuah pendekatan hermeneutis. Namun hermeneutik yang masuk dalam pemikiran ini adalah hermeneutik dari sebuah hakikat yang berbeda dengan hermeneutika para pendahulu-pendahulunya, yakni wacana-wacana revolutionary Islam tahun 1960-an dan 1970-an.
Menurut Shabestari keimanan adalah imitasi buta (taqlid buta). Iman itu sebuah aksi pilihan dan komitmen yang serius. Mereka yang secara buta mengikuti, tidak bisa menjadi serius dengan keimanan mereka.. Iman, sebaik-baiknya adalah sebuah aksi mekanis tanpa komitmen yang bernafsu. Kebebasan memilih dan kebebasan menyuarakan suara hati adalah bagian penting dari keimanan yang hidup. Kemudian Shabestari menulis:
"Iman adalah suatu aksi memilih, sebuah aksi yang amat penting. Pertanyaannya adalah kapan seorang manusia dihadapkan pada sebuah dilema dan memilih jenis gaya hidup yang dia ingin hidup dengan gaya tersebut, langkah apa yang harus dia ambil? Masyarakat yang ideal untuk keimanan [agar berjalan dengan baik] dan amat baik adalah masyarakat yang di dalamnya [syarat-syarat untuk membuat] pilihan ini harus tersedia secara luas?. Kebenaran Iman adalah sebuah aksi bebas pilihan untuk menyuaran suara hati. Semua ahli mistik kita ('rafa') menyerukan akan meninggalkan keimanan yang taqlid dan mengambil keimanan dari suara hati."
Bagi Shabestari kebebasan berpikir adalah kebutuhan mutlak untuk keimanan. Aksi tanggung jawab Mu'tazaliah merupakan hal penting dan ini tergantung pada penalaran manusia yang inheren dan ini akan berimplikasi pada kebebasan berpikir. Para filsuf menekankan pengetahuan (ma'rifah/knowledge) dan ini tidak mungkin terjadi tanpa upaya-upaya melampaui dogma-dogma dan membebaskan pikiran darinya melalui kebebasan berpikir. Jalan manapun yang seseorang pilih, kebebasan merupakan kebutuhan dan keimanan yang kemudian memiliki hubungan secara langsung dengan kebebasan berpikir. Keimanan dan aksi yang bertanggung jawab (iman dan 'amal salih) tidak mungkin terwujud tanpa adanya kebebasan berpikir.
Shabestari juga berbicara tentang 'discontent of modernity' (kehampaan dalam modernitas) dan lebih jauh mengelaborasinya. Beberapa abad sebelum abad-abad modern merupakan abad 'certitude' (kepastian/kepercayaan). Orang-orang percaya pada dogma-dogma yang pasti dan menyakinkan mereka. Mereka tidak merasa perlu untuk mengevaluasi dogma-dogma tersebut atau memberikan sikap kritiks terhadapnya. Di sisi lain, orang-orang modern kekurangan kepercayaan semacam itu karena mereka tidak percaya terhadap dogma-dogma seperti itu. Kenyataannya mereka memiliki daya evaluasi yang kritis atas keimanan mereka, lagi dan lagi. Sehingga mereka mendapatkan sikap tidak yakin dan kurang permanen dan Shabestari merasakan para teolog modern harus mengajukan masalah ini. Sementara kekebasan berpikir juga penting, kekurangan perasaan permanen juga harus diperhatikan.
Buku ini juga memiliki bab yang membahasa tentang Mohammad Arkoun, Nurcholis Majid, Mohammad Talbi, Huseyin Atay dan Sadiq Nayhum. Jadi, buku ini membahasa banyak intelektual muslim dari negara-negara yang berbeda dan pendekatan mereka terhadap al-Qur’an. karena terbatasnya ruang, rasanya tidak mungkin untuk membahas semua tokoh tersebut di sini. Tak diragukan lagi buku ini merupakan kontribusi penting yang dilakukan oleh Saha Taji-Farouki dari Institute of Ismaili Studies. Institute ini telah memberikan kontribusi penting kepada literatur moder Islam.
Buku ini juga menolak pandangan sejumlah sarjana Barat yang menyatakan bahwa ada homogenitas pemikiran dalam persoalan teologis di dunia Islam. Ini jauh dari tuduhan tersebut. Ada gagasan yang melawan dan pendekatan ortodok di bawah tantangan meskipun ortodoksi bisa berlaku menang. Namun kemudian, inilah sebuah kisah yang berbeda.
* Book Review ini pernah dimuat di Jurnal Future Islam dan diterjemahkan oleh Hamam Faizin, Peserta Program Pascasarjana Kosentrasi Ulumul Qur’an/Tafsir Institut Ilmu al-Qur’an Jakarta. Artikel ini bisa diakses silakan klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar